Bupati Kena OTT, Roda Pemerintahan Kuantan Singingi Diklaim Tidak Terganggu
Pemerintahan Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, tetap berjalan seperti biasa seusai Bupati Andi Putra terjerat operasi tangkap tangan KPK.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Penangkapan Bupati Kuantan Singingi, Riau, Andi Putra, dalam operasi tangkap tangan oleh KPK diklaim tidak mengganggu roda pemerintahan kabupaten. Bupati berusia 34 tahun itu diduga terlibat kasus perizinan perkebunan.
”Pemerintahan berjalan biasa. Tidak ada persoalan,” kata Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Pemkab Kuantan Singingi Agusmandar ketika dihubungi dari Padang, Selasa (19/10/2021).
Agusmandar tidak bersedia menanggapi lebih lanjut penangkapan bupati ini. Ia mengaku tidak paham dengan persoalan tersebut. ”Tidak usahlah sama saya. Langsung saja ke pihak yang berwajib,” ujarnya.
Andi diciduk KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) bersama tujuh orang lainnya di Riau, Selasa. Korupsi itu diduga terkait perizinan perkebunan.
”KPK mengamankan beberapa pihak, sejauh ini ada delapan orang. Di antaranya benar, Bupati Kuansing, ajudan, dan beberapa pihak swasta,” kata Ali Fikri, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK.
Menurut Ali, kedelapan orang tersebut diamankan karena dugaan korupsi penerimaan janji atau hadiah terkait dengan perizinan perkebunan. Hingga saat ini pemeriksaan masih dilakukan KPK.
”Perkembangannya akan kami informasikan lebih lanjut,” ujarnya.
Andi baru empat bulan menjabat Bupati Kuantan Singingi periode 2021-2024. Dia dilantik bersama wakilnya, Suhardiman Amby, oleh Gubernur Riau Syamsuar di Gedung Daerah Pelangi, Pekanbaru, Riau pada 2 Juni 2021.
Sebelum menjabat bupati, Andi pernah menjabat Ketua DPRD Kuantan Singingi periode 2014-2019 dan periode 2019-2024. Di tengah periode kedua, ia mundur untuk mencalonkan diri sebagai bupati. Andi menjadi anggota DPRD Kuantan Singingi sejak 2009 atau pada usia 22 tahun.
Izin perkebunan
Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Made Ali mengatakan, penangkapan bupati terkait dugaan korupsi perizinan perkebunan adalah hal biasa. Menurut dia, mayoritas perusahaan perkebunan sawit di Riau bermasalah dalam perizinan.
Made menjelaskan, dari 513 perusahaan perkebunan sawit di Riau, sebanyak 378 perusahaan berada di dalam kawasan hutan. Rata-rata perusahaan tersebut tidak punya izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
”Tetapi, bupati memberikan mereka izin lokasi dan indikasi IUP (izin usaha perkebunan). Sesungguhnya itu, kan, tidak boleh. Itu jamak terjadi di Riau, termasuk Kuansing. Pola demikian yang paling sering dilakukan perusahaan. Selain itu, ada juga yang izinnya melebihi HGU (hak guna usaha),” kata Made.
Menurut Made, sebenarnya tindakan tersebut termasuk tindak pidana. Tidak boleh ada izin usaha perkebunan di atas kawasan hutan. Namun, banyak bupati yang menerbitkan izinnya. Sejauh ini belum ada tindak lanjut terkait tindakan tersebut.
”Dari kasus yang kami advokasi, (OTT KPK) ini bisa dimaklumi dan hal biasa terjadi di Riau. Cuma, untuk kasus (Bupati Kuantan Singingi) ini, kami belum tahu konteks izin kebunnya apa,” ujar Made.
Izin perkebunan yang bermasalah itu, kata Made, merugikan negara. Temuan panitia khusus DPRD Riau tahun 2015, ada sekitar Rp 78 triliun pajak yang menguap. Perkebunan yang izinnya bermasalah itu tidak ada yang dipungut pajak.
Selain itu, lanjut Made, umumnya perusahaan perkebunan di dalam kawasan hutan membuka lahan dengan cara membakar demi hemat biaya sehingga memicu kebakaran lahan dan hutan yang menimbulkan kabut asap.
”Hutan yang menjadi sawit semua, selain memicu polusi asap, juga berdampak pada terjadinya banjir karena penyangganya sudah tidak ada. Selain itu, juga kerap memicu konflik dengan masyarakat,” ujarnya.