Kekayaan laut Natuna menjadi ironi berkelanjutan. Nelayan lokal seperti dibiarkan sendiri berhadapan dengan ganasnya laut dan kekuatan asing yang intimidatif.
Oleh
Pandu Wiyoga
·5 menit baca
Nelayan tradisional di Natuna, Kepulauan Riau, menghadapi dua ancaman sekaligus. Pertama, mereka terintimidasi kehadiran kapal-kapal China. Kedua, mereka harus bertahan hidup di tengah praktik penangkapan ikan berlebih oleh kapal pukat dari luar dan dalam negeri.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, Jumat (24/9/2021), mengatakan, para nelayan masih merasa waswas untuk melaut di tengah situasi Laut Natuna Utara (LNU) yang terus memanas. Sebelumnya, pada 13 September, empat nelayan tradisional Natuna bertemu empat kapal militer dan dua kapal penjaga pantai China. Pemberitaan ini disambut reaktif TNI AL yang bernada bantahan.
”Sekitar tiga hari lalu, nelayan lain juga mengatakan bertemu dengan kapal aparat asing lagi. Namun, mereka tidak sempat mencari tahu jenis dan bendera kapal itu. Mereka buru-buru menjauh karena ketakutan,” kata Hendri saat dihubungi.
Peneliti Indonesia Ocean Justice (IOJI) Imam Prakoso menyebutkan, sejak akhir Agustus kapal survei China, Haiyang Dizhi-10, terdeteksi berlayar di dekat wilayah kerja minyak dan gas Blok Tuna. Kapal survei itu berlayar dikawal dua kapal penjaga pantai China secara bergantian, yakni CCG-5202 dan CCG-5305.
Pada 11 September, kapal militer lintas benua Amerika Serikat, USS Carl Vinson, terdeteksi berlayar di dekat lintasan Haiyang Dizhi-10. Menurut Imam, kehadiran kapal induk AS tersebut direspons China dengan mengirimkan kapal militer mereka. Kapal militer China itulah yang dilihat nelayan Natuna pada 13 September lalu.
Haiyang Dizhi-10 diketahui menggendong berbagai peralatan untuk mengambil dan meneliti sampel makhluk hidup, sedimen, dan gambar dari bawah laut. Selain itu, Haiyang Dizhi-10 juga memiliki peralatan seismic wave detection untuk memetakan kontur dasar laut.
Sampai saat ini, Haiyang Dizhi-10 masih terpantau berlayar dengan lintasan zig-zag di LNU. Hal itu mengindikasikan kapal tersebut tengah melakukan survei bawah laut. Imam menduga, China menggunakan kapal riset tersebut untuk memperkuat klaim sembilan garis putus-putus mereka di perairan Indonesia.
Kapal serupa, Haiyang Dizhi-8, pernah membuat Pemerintah Malaysia geram karena menggelar survei eksplorasi di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Malaysia selama satu bulan pada April 2020. Sama dengan kejadian di LNU, kapal tersebut juga melakukan riset di perairan Malaysia yang kaya migas.
Menurut Imam, Kementerian Luar Negeri perlu mengirimkan nota diplomatik kepada pemerintah China terkait aktivitas Haiyang Dizhi-10. Adapun Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) perlu melakukan penelitian ilmiah di LNU untuk mengetahui potensi sumber daya alam yang menarik minat Pemerintah China.
Awal tahun 2020, Rabu (1/1), Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia tegas menolak klaim China atas perairan teritorial dan zona ekonomi eksklusif di Laut Natuna. Klaim itu tidak punya dasar hukum dan tidak diakui Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982.
Sepanjang Desember 2019, kapal-kapal Badan Keamanan Laut RI juga mengusir kapal-kapal penjaga laut dan pantai China dari ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara. Kapal-kapal itu diketahui mengawal kapal nelayan China yang mencuri ikan di sana (Kompas.id, 2 Januari 2020).
Indonesia juga menegaskan tak pernah mengakui ”Sembilan Garis Putus” yang dipakai China mengklaim sebagian Laut Natuna Utara. Klaim itu tak berdasarkan hukum dan pernah ditolak Mahkamah Internasional pada 2016. Sebagai mitra strategis, China diingatkan menghormati dan membangun hubungan saling menguntungkan dengan Indonesia.
Wilayah ZEE Indonesia di LNU tumpang-tindih dengan klaim ZEE Vietnam dan klaim ZEE Malaysia. Peningkatan aktivitas di perairan tersebut selalu direspons negara-negara terkait dengan mengirim kapal aparat serta kapal ikan berukuran besar. Hal itu akhirnya justru meminggirkan masyarakat setempat.
Pasal 51 dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 menyebutkan, negara kepulauan harus mengakui hak-hak nelayan tradisional untuk melakukan penangkapan ikan yang sudah dilakukan turun-temurun. Meski demikian, persetujuan bilateral antarnegara tetap diperlukan untuk mengatur aktivitas tersebut.
Menurut Hendri, sejak dulu nelayan tradisional Natuna terbiasa berinteraksi nelayan tradisional dari Vietnam atau Malaysia ketika melaut. Bahkan, mereka tidak jarang saling berbagi perbekalan atau bahan bakar.
”Dulu nelayan Vietnam juga memakai alat tangkap yang sama dengan kami, yakni pancing ulur. Namun, sekarang sudah jarang yang seperti itu, kebanyakan sudah beralih memakai pukat harimau,” ucap Hendri.
Peralihan alat tangkap nelayan Vietnam dari pancing ke pukat harimau memicu negara lain di sekitar Laut China Selatan berlomba mengirimkan armada kapal pukat dalam ukuran besar dan jumlah banyak. Hal ini kemudian memicu penangkapan ikan berlebih dan saling sikut nelayan dari tiga negara tersebut.
Pada awal 2020, Indonesia juga menggerakkan nelayan cantrang dari pantura Jawa untuk mengusir kapal pukat harimau Vietnam di Laut Natuna Utara. Alih-alih mengusir kapal Vietnam, kehadiran kapal cantrang itu justru memicu konflik dengan nelayan tradisional di Natuna.
”Dampak penggunaan cantrang itu sama dengan pukat harimau yang merusak terumbu karang. Hal itu tentu merugikan nelayan tradisional yang menggunakan pancing ulur untuk menangkap ikan karang,” kata Hendri.
Menurut dia, pemerintah tidak perlu mengirimkan kapal cantrang jika memang ingin mengisi kekosongan LNU untuk mencegah penangkapan ikan secara ilegal. Yang bisa dilakukan pemerintah adalah membekali nelayan tradisional dengan kapal-kapal berukuran 10 groston (GT) sampai 15 GT agar nelayan Natuna bisa melaut sampai ke wilayah sengketa antara Indonesia dan Vietnam.
”Kami tidak mau menggunakan pukat atau cantrang karena itu akan merusak lingkungan. Kami ingin tetap menggunakan pancing ulur yang ramah lingkungan. Yang kami perlu hanya kapal berukuran lebih besar agar melaut lebih jauh,” ucap Hendri.
Di tengah rentetan temuan dan laporan nelayan, pantauan pengamat, atau pemerintah mengenai kesewenangan pihak asing, saatnya memastikan kehadiran negara di kawasan perbatasan yang kaya sumber daya alam itu. Hentikan reaksi berlebih yang hanya menakut-nakuti nelayan, anak bangsa sendiri yang sepatutnya dilindungi.