Di tengah perayaan kemerdekaan RI, komunitas adat Orang Rimba di Jambi masih menanti kemerdekaan yang seutuhnya. Mereka ingin mendapatkan ruang hidup yang layak, sebagaimana pernah dijanjikan Presiden enam tahun silam.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
Acap kali diingatkan akan kata merdeka, ingatan Orang Rimba selalu kembali pada masa lalunya. Masa di mana rimba raya masih menjadi rumah seutuhnya. Fase ternyaman yang selalu mendatangkan rasa rindu.
Hilang hutan karena beralih fungsi untuk monokultur telah berlalu 20 hingga 30 tahun silam. Meski demikian, kenangan akan nikmat kehidupan dalam rimba raya selalu melekat dalam memori Orang Rimba. Mengapa demikian?
Salah seorang warga komunitas Orang Rimba, Meriau, menceritakan, dua fase kehidupan yang mereka lalui bagaikan berada di dua kutub. Masa kecilnya sarat akan kebahagiaan kala hutan masih lebat.
Buah-buahan dan umbi-umbian melimpah. Begitu pula binatang buruan yang mereka sebut louk godong sangat mudah didapatkan. Apalagi ikan-ikan berlompatan di sungai-sungai berair jernih. ”Merdekanya orang rimbo kalau rimbonya masih ado,” kata Meriau, Sabtu (14/8/2021).
Masuknya alat-alat berat menjelang tahun 90-an telah meruntuhkan berbagai tanaman. Banyak pendatang masuk untuk membuka hutan-hutan perawan Jambi.
Kala itu, Orang Rimba belum paham apa arti dari masuknya para pendatang dan alat-alat beratnya. Setelah hutan dibuka, ternyata kehidupan Orang Rimba turut disapu dari hutannya.
Merdekanya orang rimbo kalau rimbonya masih ado.
”Pohon buah ditumbangkan, disobutnye (disebutkan) pohon sawit berbuah lebih besak (besar), lebih manis. Betunggulah awak (kami menunggu). Manolah (manalah) buah ini. Sekali buah keluar pahit, hopi (tidak) bisa dimakon (makan),” kenang Mariau.
Sejak itu Meriau dan kelompoknya paham akan keberadaan mereka. Kehilangan rumah membawa mereka pada fase baru kehidupan. Segalanya menjadi serba sulit karena pohon buah berangsur menghilang. Binatang buruan semakin langka. Yang lebih menyedihkan, air sungai tak lagi jernih. Ikan-ikannya makin jarang muncul di permukaan.
Kondisi itu melahirkan tekat para orangtua untuk keluar dari nestapa. Di tengah keterbatasan, Mariau menitipkan anak-anaknya bersekolah di SD negeri terdekat.
Tatkala keberadaan mereka diusir pengelola lahan, acap kali Meriau terpaksa membawa anaknya kembali berpindah. Anak-anak pun terpaksa keluar dari sekolahnya.
Pada masa kini, perhatian dunia luar pada komunitas itu memang semakin bertambah. Sudah ada sekolah keliling untuk menjangkau anak-anak. Begitu pula layanan kesehatan dan vaksinasi gratis. Yang terbaru, jangkauan data kependudukan bagi semua warga hingga yang tinggal paling pedalaman sekali pun.
Di tengah meningkatnya perhatian itu, Orang Rimba selalu kembali pada harapannya. Mendapatkan kembali ruang hidup yang layak bagi mereka.
Tengganai Basemen yang masih tinggal dalam Taman Nasional Bukit Duabelas turut merasakan kegelisahan serupa. Ia khawatir jika semakin terdesak atau jika sampai kehilangan hutannya. ”Di dalam rimba kami makan, di dalam rimba kami berpencarian,” katanya.
Manajer Program Komunitas Konservasi Indonesia Warsi Robert Aritonang menilai, Orang Rimba merupakan masyarakat adat yang beridentitaskan hutan. Ketersediaan hutan adalah jaminan bagi kehidupan mereka. Hilangnya hutan adalah hilangnya jati diri.
”Dukungan ini penting, tidak hanya bagi Orang Rimba tetapi juga bagi ekologi. Harapan Orang Rimba akan hutannya seiring dengan keberlanjutan lingkungan,” tuturnya.
Mereka yang terpaksa hidup dalam areal monokultur karena hutannya beralih fungsi, negara perlu merangkul. Mereka juga perlu mendapatkan layanan publik dan bantuan sosial yang memadai. Selain itu, untuk menyelesaikan persoalan Orang Rimba yang kehilangan hutan, perlu ada solusi ruang penghidupan baru.
Presiden Joko Widodo yang datang menemui langsung mereka di Jambi, enam tahun silam, pernah menjanjikan lahan sebagai ruang hidup untuk Orang Rimba. Janji itu masih terus dinantikan hasilnya. ”Tanpa itu, kehidupan Orang Rimba akan semakin marjinal,” lanjutnya.
Seiring momen perayaan Kemerdekaan RI, harapan Meriau dan Basemen sederhana, boleh turut merasakan kemerdekaan yang seutuhnya. Ruang hidup dan kesetaraan hak juga ingin mereka dapatkan, sebagaimana warga lainnya ingin mendapatkan hidup yang layak.