Ritual "bebalai” tak lagi dapat berjalan sempurna karena bunga-bunga menghilang dalam rimba Bukit Duabelas. Kepercayaan Orang Rimba akan tano bedewo, tano suban, hingga pasoron pun nyaris tergusur.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·5 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Setelah menanti lama, baru pada 2021 ini Orang Rimba di Jambi dicatatkan data kependudukannya secara masif oleh negara. Pencatatan administratif itu menandai pengakuan negara atas kepercayaan non agama pada komunitas pedalaman tersebut. Mengkebul (70) menunggu pembagian bantuan sosial tunai dari negara, di wilayah Terab, Kabupaten Batanghari, Jambi, Sabtu 22/5/2021).
Peristiwa 30 tahun silam tak dapat lepas dari ingatan Ngelembo. Dirinya yang masih belia ketakutan menyaksikan para orangtua di kelompoknya meraung panik tatkala alat-alat berat akan menggilas tano bedewo, tanah suci Orang Rimba.
Situasi genting itu dihadapi masyarakat dengan bertahan menghadang. Berhari-hari mereka berupaya menghalangi masuknya alat berat. Para operator pun akhirnya mengalah mundur.
Namun, di sekeliling hamparan itu telanjur habis digilas alat berat. Menyisakan sehamparan kecil tano bedewo. Di situlah makam-makam nenek puyang, tempat tersuci yang dikeramatkan Orang Rimba di penyangga Bukit Duabelas, Jambi.
Ngelembo bercerita, di tano bedewo, tak sembarangan orang dapat masuk. Seseorang wajib berdoa untuk memohon izin jika akan mendekat. Kalau sampai alat-alat berat itu masuk menggilas hamparan dan menumbangkan pohon-pohon besar sama artinya dengan mengusir dewo. “Pelanggaran adat berat. Hukumannya nyawo ganti nyawo,”jelas Ngelembo. Hukuman nyawa ganti nyawa berarti membayar denda terberat dalam adat, yakni kain sebanyak 500 helai.
Di tengah peradaban yang kian modern, keyakinan Orang Rimba akan “Bedewo” masih sama. Namun, tak mungkin lagi berjalan dengan cara yang sama karena alam yang telah berubah.
Orang Rimba tak hanya menyembah leluhur, tetapi juga pohon dan sejumlah jenis binatang karismatik seperti harimau dan gajah. Sejumlah jenis pohon bertajuk luas diyakini sebagai dewa pelindung kehidupan bagi mereka sejak dilahirkan ke dunia.
KOMPAS/ NUR HIDAYATI
Pemilang Laman (11), seorang Anak Rimba yang tinggal di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Provinsi Jambi, memandangi pembukaan lahan yang terus dilakukan penduduk di batas kawasan lindung itu. Pembabatan hutan membuat masyarakat suku Anak Dalam yang menyebut diri mereka "orang rimba" semakin tersingkir.
Setiap bayi yang lahir, ari-arinya dikubur dan diberi tanda atau pagar dari ranting pohon sentubung. Pohon itu dihormati sebagai pelindung sehingga tidak boleh dipotong, apalagi ditebang. Yang melanggar akan kena sanksi adat “sebangun”. Dendanya pun masuk kategori terberat, nyawo ganti nyawo, 500 lembar kain.
Setelah sang bayi berumur lebih dari 1 minggu, ubun-ubunnya diolesi bubuk kulit kayu senggeris. Tujuannya agar ubun-ubun si bayi cepat keras.
Lewat tradisi itulah, setiap bayi akan memiliki dua pohon pelindung, yakni sentubung dan senggeris. Seiring waktu, mereka setia menjaga pohon-pohon pelindung. Jangan sampai ditebang. Lewat kepercayaan itulah ikatan Orang Rimba pada alam menandai peran penting menjaga rimba.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Anak-anak rimba nyaman bermain dalam hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi.
Dalam hutan yang lebat, beragam jenis tumbuhan dan bunga-bungaan menyempurnakan ritual kepercayaan Orang Rimba. Turun temurun diwariskan satu seloka “Ado rimbo ado bungo. Ado bungo ado dewo.” Hutan dan seluruh isinya menjadi alat menjalankan ritual kepercayaan.
Akan tetapi, karena hutan semakin habis, bunga-bunga makin menghilang. Di masa kini, ibadah yang mereka sebut “bebalai” tak lagi dapat berjalan sempurna. Itu barulah satu sisi hilangnya kesempatan menjalankan ibadah kepercayaan. Beragam kebijakan negara serta kehidupan di masyarakat telah mencerminkan satu ketidakadilan dan pengabaian atas kehidupan Orang Rimba.
Sebagai komunitas yang tidak memeluk agama, Orang Rimba kerap dianggap tak beradab. Bagai terasing. Kerap diejek dan dilecehkan. “Orang terang sering mengejek. Memang yang kami sembah dewo,” kata Ngelembo.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Taman Nasional Bukit Duabelas di Jambi tidak hanya menyediakan sumber pangan melimpah bagi komunitas adat Orang Rimba atau Suku Anak Dalam. Ratusan jenis tanaman dan satwa diolah menjadi bahan baku obat-obatan masyarakat pedalaman ini. Meramu obat tradisional itu telah diturunkan dari generasi ke generasi. Orang RImba kelompok Kedundung Muda, Kabupaten Sarolangun, Rabu (13/8).
Antropolog Orang Rimba, Robert Aritonang, yang mendampingi komunitas itu sejak 1997, mengisahkan beratnya hidup sebagai Orang Rimba. Melekat stigma sebagai komunitas “tak bertuhan.” Dianggap kotor dan bau, sehingga ditempatkan sebagai kelas sosial terendah.
Akibatnya, komunitas ini sering tak terurus. Pengabaian kerap dialami dalam pelayanan negara. Ia masih ingat rentetan wabah penyakit yang berbuntut kematian beruntun telah berlangsung dua kali, pada tahun 1999 dan tahun 2014. Pada 1999, wilayah itu mengalami paceklik diperparah pembukaan hutan menjadi kebun dan hutan tanaman industri. ”Pada masa itu, sekitar 30.000 hektar hutan yang menjadi sumber pangan Orang Rimba lenyap,” ujarnya. Kematian beruntun mengorbankan nyawa 13 orang.
Sementara pada paceklik yang melanda di penghujung 2013 hingga 2014 menyebabkan 14 warga meninggal. Gelombang kelaparan itu berlangsung setidaknya berlangsung enam bulan.
Kompas
Kondisi Orang Rimba yang tinggal dalam hunian darurat di sekitar Jalan Lintas Sumatera, Kabupaten Merangin, Jambi. Karena tak punya lahan lagi, mereka kini menumpang hidup di bawah kebun sawit atau karet swasta dan warga sekitar. Kondisi lingkungan dan sanitasi yang buruk kerap memicu berbagai jenis penyakit.
Kedua peristiwa besar itu mengungkap fakta Orang Rimba belum terdaftar sebagai warga negara dan tak memiliki data kependudukan. Sehingga, mereka tak menerima bantuan sosial, apalagi jaminan kesehatan.
Benteng terakhir
Kepala Balai Taman Nasional bukit Duabelas (TNBD), Haidir, sebagian warga komunitas Orang Rimba masih menjalankan tradisinya dalam kawasan TNBD. Taman nasional itu menjadi benteng terakhir bagi komunitas adat untuk mempertahankan keluhuran nilai yang telah diwariskan turun temurun.
Pihaknya menyadari betapa pentingnya peran Orang Rimba sebagai penjaga lingkungan. Karena itulah, dalam revisi zonasi TNBD, aturan adat dan negara coba diselaraskan. Penyelarasan zonasi dan tata ruang adat dalam pengelolaan Bukit Duabelas dikukuhkan tahun 2019. Zonasi yang melibatkan keselarasan dengan adat Orang Rimba ternyata berhasil membawa TNBD kian terjaga.
Haidir mencontohkan, tempat-tempat penting yang dipercaya sebagai tempat dewa bersemayam, Orang Rimba menyebutnya “tano bedewo, tano suban, benteng atau kleko”. Lalu, tempat meletakkan jenazah setelah diupacarakan secara adat disebut “pasoron”. Penetapan wilayah itu selaras dengan zonasi TNBD yang masuk dalam zona religi.
Begitu pula punggung-punggung bukit dengan kelerengan yang terjal dan menjadi sumber mata air mereka sebut ruang adat “tali bukit.” Tanamannya tidak boleh ditebang atau dibuka. Itu ternyata selaras dengan penetapan zona inti TNBD. Jika dihitung keseluruhan, setidaknya ada 14 jenis yang peruntukan wilayahnya yang sesuai zonasi, dan terbukti selaras dengan prinsip-prinsip kelestarian alam.
Kawasan TNBD seluas 54.780 menjadi ruang hidup 718 keluarga dan 2.960 jiwa. Setiap kelompok memiliki teritori yang telah dibagi habis menjadi 13 wilayah adat atau kelompok.
Keyakinan dan ikatan Orang Rimba yang harmonis dengan alam, kata Haidir, selayaknya mendapatkan tak hanya pengakuan tetapi juga penghormatan negara. Setidak-tidaknya dimulai dari bagaimana kebijakan dibuat. Jangan sampai ikatan itu terputus.
Setelah menanti lama, tahun 2021 ini Orang Rimba dicatatkan data kependudukannya secara masif oleh negara yang diikuti masuknya layanan dan bantuan sosial.