Komunitas adat di pedalaman Bukit Duabelas, Jambi, Orang Rimba, kian sadar untuk semakin melek aksara. Mau belajar demi melepas stigma buta huruf.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Setelah menjalani 114 jam lamanya belajar membaca dan menulis, perjuangan Orang Rimba bermuara di atas lembaran kertas soal. Ujian Keaksaraan Dasar akan mengantar mereka menyandang status baru. Lepas dari buta huruf.
Sargawi (60). Ia kini semakin lancar membaca dan menulis serta berhitung sederhana, seperti pertambahan dan pengurangan.
Kemampuan itu baru ia dapatkan selama mengikuti Program Keaksaraan Dasar dari pemerintah. Program khusus menyasar masyarakat pedalaman. Di komunitas itu, ada 70 warga ikut serta. Semuanya adalah para orangtua.
Di sela kesibukan berburu dan meramu hasil hutan serta mengasuh anak-anak, mereka sisihkan sedikit waktu untuk belajar. Mereka dibimbing oleh sejumlah fasilitator yang rela ikut tinggal di dalam hutan.
Para orangtua itu mengikuti proses belajar lima kali dalam seminggu. Setiap pertemuan memakan waktu hingga 2 jam. Proses belajar dimulai pada Februari lalu, berakhir dengan ujian pada Selasa, (25/5/2021). Jika ditotal, semua pertemuan menghabiskan 114 jam lamanya.
”Kalau awak lahpandaimambaco, hopi dipaloloi orang lain (Kalau saya sudah pandai membaca, tidak akan lagi dibodoh-bodohi orang lain),” kata Sargawi, pimpinan kelompok Orang Rimba wilayah Sungai Pelakar, Kabupaten Sarolangun.
Sewaktu akan mengikuti ujian, Sargawi tampak bersemangat. Namun, sesaat mulai mengerjakan soal, beberapa kali keningnya tampak berkerut. Ia sempat kesulitan menjawab soal-soal.
Satu jam kemudian, ia akhirnya menyelesaikan semua soal. Selain diuji kemampuan untuk membaca dan menulis, ia pun menjawab soal-soal berhitung sederhana.
Ujian keaksaraan dasar digelar oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, bekerja sama dengan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar Kembang Bungo dan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi.
Jika lolos dalam ujian, Sargawi dan anggota kelompoknya akan memperoleh Surat Keterangan Melek Aksara (Sukma). Program Keaksaraan Dasar ini setara dengan level pendidikan kelas IV sekolah dasar.
Selanjutnya, jika mereka mau terus melanjutkan pendidikan pada jenjang keaksaraan lanjutan, akan setara dengan level kelas VI. Mereka pun dapat mengikuti ujian kejar paket.
Program ini merupakan satu terobosan yang memampukan Orang Rimba mengenyam pendidikan tanpa harus keluar hutan. Mereka bisa lulus setara sekolah dasar tanpa dibebani program pendidikan enam tahun lamanya.
Sargawi mengaku ingin semakin pintar membaca, menulis, dan berhitung sebagaimana masyarakat di luar rimba. Tak hanya bagi dirinya sendiri, ia pun berharap warganya memiliki semangat yang sama sekaligus mendapatkan peluang yang sama untuk mengenyam pendidikan.
Fleksibel
Belakangan ini, program-program pendidikan bagi masyarakat pedalaman semakin difasilitasi pemerintah ataupun lembaga swadaya masyarakat. Jika dulu Orang Rimba harus keluar hutan agar dapat belajar di sekolah, kini sejumlah program dikemas lebih ramah bagi mereka.
Kami ikut masuk ke dalam rimba agar belajar mengajar dapat tetap berjalan.
Umumnya kegiatan diselenggarakan dalam bentuk program sekolah berpindah. Tempat penyelenggaraan belajar mengajar lebih fleksibel. Tidak tersekat dinding kelas, tetapi dapat berlangsung di tengah hutan, di bawah pohon rindang, atau di atas rerumputan.
Siswanya pun tak perlu berseragam. Sementara para guru rela mengikuti siswa menetap di hutan untuk waktu tertentu. Pembelajaran berjalan dalam konteks lokalitas.
Namun, selama ini pendidikan tersebut baru menyasar anak-anak. Hingga kini sudah 1.000-an anak mengenyam pendidikan baca tulis. Sementara kebanyakan para orangtua masih buta aksara. Untuk itulah program keaksaraan dasar diberikan.
Untuk menyesuaikan kesibukan para orangtua yang bekerja mencari sumber penghidupan, baik berburu maupun meramu hasil hutan, guru dan pendamping keaksaraan dasar turut masuk ke dalam hutan.
”Karena Orang Rimba memiliki mobilitas yang tinggi dan akses untuk menjangkau mereka juga sulit, kami ikut masuk ke dalam rimba agar belajar mengajar dapat tetap berjalan,” kata Yohana Marpaung, Fasilitator Pendidikan KKI Warsi.
Ia menilai, semangat para orangtua untuk bebas dari buta aksara terbilang tinggi. ”Awalnya kami tanyakan para tumenggung (pimpinan kelompok) dan rerayo (orangtua) apakah mereka mau belajar dan patuh mengikuti pelajaran, ternyata mereka setuju,” imbuhnya.
Pendidikan keaksaraan dasar diikuti tujuh kelompok belajar yang tersebar di Kabupaten Sarolangun. Setiap kelompok belajar didampingi oleh dua fasilitator yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan Sarolangun.
Zulhitmi, Kepala Bidang Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (PAUDNI) Dinas Pendidikan Sarolangun, menyebutkan, program itu diselenggarakan dengan harapan agar warga komunitas pedalaman bisa melek aksara. Setidaknya mereka dapat menulis, membaca, dan berhitung, meski pada tingkatan sederhana.
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas Haidir mengatakan, program pendidikan dalam kawasan taman nasional berlangsung nonformal, yang mereka sebut mobile school. Program menyasar kelompok-kelompok yang masih berpindah.
Saat ada kelompok yang tengah menjalankan tradisi melangun atau pindah tempat karena ada anggota kelompok yang meninggal, petugas pendidikan akan mendekat. Asupan pendidikan di tempat yang baru sekaligus menjadi bagian dari upaya penghiburan.
Penyelenggarakan sekolah nonformal dalam kawasan taman nasional saat ini menyasar 391 siswa atau 34,9 persen warga yang hidup di tengah Bukit Duabelas. Semua upaya itu diharapkan semakin membuka jalan bagi komunitas pedalaman untuk kian berdaya sehingga takkan lagi dibodoh-bodohi, apalagi ditipu orang lain.