Gurita Bisnis Rokok Ilegal di Balik Dugaan Korupsi Bupati Bintan
Penyelundupan rokok tanpa cukai sudah berlangsung lama dan masif di Kepri. Penangkapan Bupati Bintan terkait kasus pengaturan barang kena cukai diharapkan bisa membongkar dalang di balik gurita bisnis rokok ilegal itu.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) di Kepulauan Riau adalah surga barang gelap. Bahkan, seringkali para pelancong berkelakar bahwa barang selundupan adalah oleh-oleh khas dari Kepri. Harga barang elektronik, pakaian impor, minuman beralkohol, sampai rokok jauh lebih murah karena barang gelap tak mengenal pajak.
Di Kepri terdapat empat FTZ, yaitu Batam, Bintan, Tanjung Pinang, dan Karimun. Berbagai insentif fiskal, termasuk di antaranya dokumen bebas cukai (CK-FTZ), diberikan untuk meningkatkan daya tarik empat daerah itu di mata investor dan wisatawan asing. Ironisnya, insentif fiskal kerap kali justru dimanfaatkan untuk memuluskan penyelundupan.
Reputasi FTZ di Kepri sebagai surga barang gelap membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati geram. Pada 18 Maret 2021, ia meminta aparat menindak tegas kegiatan ilegal, terutama penyelundupan, yang marak di Selat Malaka dan sepanjang pesisir timur Pulau Sumatera.
Permintaan Sri Mulyani itu direspons aparat yang bergegas bergerak melaksanakan kewajibannya. Selang 10 hari setelah kunjungan Sri Mulyani ke Batam, TNI Angkatan Laut menangkap Kapal Motor (KM) Karya Sampurna yang mengangkut kontainer berisi rokok ilegal dari Singapura.
Kapal kayu itu memuat rokok ilegal sebanyak 1.673 kardus. Satu kardus berisi sekitar 300 bungkus rokok dengan merek KTV, U2, dan Kopona. Muatan rokok ilegal KM Karya Sampurna itu nilainya diperkirakan lebih dari Rp 5 miliar.
Dua bulan sebelumnya, petugas Bea dan Cukai di Riau menembak mati penyelundup paling terkenal di Batam, yakni Jumhan (63) alias Haji Permata. Ia ditembak saat akan menyelundupkan rokok ilegal dengan speedboat dari Batam ke Riau. Tindakan petugas yang berani itu mengejutkan masyarakat mengingat Haji Permata bukanlah penyelundup kacangan.
Pada November 2014, Haji Permata mengerahkan 180 orang dari Batam dengan perahu untuk menyerang Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Khusus Kepri di Kabupaten Karimun. Penyerbuan itu dilakukan untuk merebut Kapal Motor Jembar Hati yang disita petugas karena membawa ratusan ton barang selundupan.
Masifnya penyelundupan rokok ilegal di Kepri memancing sejumlah pertanyaan dari para pengamat ekonomi. Siapa dalang di balik bisnis rokok ilegal itu? Dari mana asal rokok ilegal itu? Lalu mengalir ke mana rokok ilegal dari Kepri itu?
Sejak lama, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti kuota rokok dan minuman beralkohol bebas cukai di empat FTZ Kepri. Pada Mei 2019, ekonom senior Indef, Enny Sri Hartati (almarhum), memaparkan kajiannya mengenai kuota rokok bebas cukai yang jauh melebihi kebutuhan masyarakat di Kepri.
Tiga FTZ di Kepri, selain Batam, bersifat enclave yang berarti dalam satu pulau terdapat wilayah FTZ dan wilayah pemukiman biasa yang tidak dibatasi secara khusus. Barang bebas cukai tidak boleh beredar di luar wilayah FTZ. Namun, Enny menilai pengelolaan barang bebas cukai di FTZ model enclave ini rawan bocor.
Pengajuan kuota rokok bebas cukai di setiap FTZ didasarkan pada jumlah penduduk dan tingkat konsumsi rokok warga. Masalahnya, penentuan tingkat konsumsi rokok di masing-masing wilayah FTZ itu tidak memiliki dasar hitungan yang pasti.
Pada 2018, Badan Pengusahaan (BP) Bintan sebagai pengelola FTZ Bintan mengajukan kuota rokok bebas cukai sebanyak 1,82 miliar batang rokok per tahun. Padahal, jumlah penduduk di FTZ Bintan hanya 78.029 orang. Artinya BP Bintan mengestimasikan setiap penduduk FTZ Bintan, termasuk anak-anak dan balita, mengonsumsi rokok 64 batang per hari.
Pada tahun yang sama, BP Tanjung Pinang mengajukan kuota rokok bebas cukai sebanyak 904 juta batang per tahun. Padahal, jumlah penduduk di FTZ Tanjung Pinang sekitar 7.000 orang. Artinya BP Tanjung Pinang mengestimasikan setiap penduduk, termasuk anak-anak dan balita, mengonsumsi rokok 354 batang per hari.
Hal itu tidak mungkin mengingat rata-rata konsumsi rokok nasional per hari "hanya" 12 batang. Yang lebih mungkin terjadi, kuota rokok bebas cukai sengaja dilebihkan pihak tertentu untuk kemudian diedarkan ke daerah di luar FTZ.
Survei rokok ilegal yang dilakukan Universitas Gadjah Mada pada 2018 menunjukkan, sebanyak 2,4 persen dari rokok polos ilegal yang beredar di Jambi merupakan rembesan dari kawasan FTZ. Rokok ilegal itu dijual lebih murah Rp 300 hingga Rp 600 per batang dari harga rokok legal.
Pada 17 Mei 2019, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai akhirnya menghentikan penerbitan CK-FTZ di seluruh kawasan FTZ di Indonesia. Pencabutan bebas cukai terhadap minuman beralkohol dan rokok itu dilakukan untuk menindaklanjuti rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Hasil Kajian Optimalisasi Penerimaan Negara di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas tahun 2018.
Dalang penyelundupan
Kecurigaan Enny mengenai dalang di balik gurita bisnis rokok bebas cukai khusus kawasan FTZ akhirnya terbukti. Pada 12 Agustus 2021, KPK menetapkan Bupati Bintan Apri Sujadi dan Pelaksana Tugas Kepala BP Bintan Saleh Umar sebagai tersangka dalam perkara pengaturan barang kena cukai.
Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, sejak Februari 2021, KPK telah mengumpulkan berbagai informasi, data, dan menemukan bukti permulaan yang cukup dalam kasus dugaan korupsi terkait pengaturan barang kena cukai dalam pengelolaan FTZ Bintan tahun 2016-2018.
Pada periode itu, BP Bintan diduga melakukan penggelembungan penetapan kuota rokok yang menguntungkan PT Tirta Anugerah Sukses. Apri diduga menerima uang sekitar Rp 6,3 miliar untuk mengatur pengajuan kuota barang bebas cukai. Adapun Saleh diduga menerima uang sekitar Rp 800 juta.
Menurut Alexander, perbuatan Apri dan Saleh merugikan negara sekitar Rp 250 miliar. Mereka dijerat Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, mengatakan, peredaran rokok ilegal di Indonesia mencapai 4,9 persen pada 2020. Peredaran rokok ilegal itu diperkirakan membuat negara kehilangan potensi penerimaan cukai sekitar Rp 8,6 triliun.
Menurut Bhima, kenaikan cukai hasil tembakau 12,5 persen pada Februari 2021 akan memicu peningkatan peredaran rokok ilegal. Oleh karena itu, pemerintah harus memperketat pengawasan di daerah FTZ dan daerah perbatasan seperti Kepri untuk mencegah rembesan rokok bebas cukai juga penyelundupan rokok ilegal dari luar negeri.
"Pemerintah juga harus menjatuhkan hukuman yang memberikan efek jera kepada pelaku yang bermain di bisnis rokok ilegal karena keuntungan yang mereka dapatkan dari cukai rokok itu sangat besar," kata Bhima dihubungi dari Batam, Jumat (13/8/2021).
Ia berharap KPK dapat mengungkap kasus pengaturan kuota barang kena cukai di FTZ Bintan hingga tuntas. Selain itu, aparat penegak hukum juga perlu menyelidiki potensi terjadinya kasus serupa di tiga kawasan FTZ lain di Kepri.