Almarhum Akidy diketahui menggeluti berbagai jenis usaha. Namun, pemeriksaan PPATK terhadap rekening keluarganya menyimpulkan, nilai total uang keluarga tersebut jauh dari Rp 2 triliun.
PALEMBANG, KOMPAS — Sepekan terakhir, Kompas menelusuri jejak Akidy di Langsa Aceh dan Palembang Sumatera Selatan. Dari nisan di Tempat Pemakaman Umum Talang Kerikil Palembang diketahui Akidy lahir tanggal 13 Mei 1920. Leluhurnya berasal dari Haifeng, Provinsi Guangdong, China.
Dari nisan yang sama diketahui Akidy memiliki delapan anak. Lima laki-laki dan tiga perempuan. Heryanty yang memberikan sumbangan Rp 2 triliun secara simbolis ke Kapolda Sumsel Inspektur Jenderal Eko Indra Heri pada 26 Juli lalu adalah anak bungsu Akidy. Sampai sekarang donasi Rp 2 triliun belum bisa dicairkan. Heryanty beberapa kali diperiksa polisi. Eko pun meminta maaf kepada masyarakat Indonesia karena telah membuat kegaduhan dan tak mengecek kebenaran dananya.
Sebelum tahun 1976, Akidy dan anaknya membuka usaha di Langsa. Akidy pernah bertanam sayuran hingga menjadi mandor pemasok tenaga kerja pembukaan lahan milik PT Perkebunan Nusantara I. Anak sulungnya, Chang Pao Fu alias Ahok, membuka usaha pabrik limun rumahan di Jalan Nasional. Di situ pula Akidy pernah tinggal.
Salah seorang warga yang tinggal di dekat pabrik limun, R (52), menuturkan, ayahnya bersama Akidy dulu pernah bekerja dalam pembukaan lahan PTNP I di beberapa daerah di Aceh. Akidy membuka lahan hutan sebelum ditanami sawit atau karet. ”Akidy semacam pemborong dalam pembukaan lahan itu. Ayah saya juga pernah ikut bekerja membuka lahan bersama Akidy,” kata R.
Anak kedua Akidy, Chang Pao Lu, memiliki bengkel motor di Jalan Teuku Umar. Bengkel motor itu kini sudah berubah menjadi ruko berlantai tiga dan menjadi gudang. Dulunya hanya bangunan kayu.
Ayung (76), pemilik salah satu toko emas di Jalan Teuku Umar, menuturkan, semasa masih tinggal di Langsa, orang tidak terlalu mengenal Akidy. ”Saya sendiri tidak ingat betul dengan Akidy, Umurnya mungkin lebih tua beberapa tahun dari saya,” kata Ayung.
Akidy semacam pemborong dalam pembukaan lahan itu. Ayah saya juga pernah ikut bekerja membuka lahan bersama Akidy.
Ayung mengatakan, ekonomi keluarga masyarakat Tionghoa di Langsa di tahun 1970-an sangat sederhana. Sebagian besar bekerja dengan berdagang seperti membuka toko mas, alat tulis kantor, atau grosir. ”Hanya ada beberapa golongan atas, yakni pemilik pabrik kayu lapis dan triplek. Itu pun usaha kongsi,” kata Ayung.
Tahun 1976, Akidy bersama sebagian besar anaknya pindah ke Palembang, menyisakan Ahok di Langsa dengan usaha minuman limun rumahan. Pabrik limun itu berukuran 6 meter x 30 meter. Ahok tinggal di rumah dengan ukuran yang sama di sebelahnya. Sejak Ahok meninggal tahun 2013, tidak ada lagi yang melanjutkan usaha pabrik limun itu. Rumah itu pun dijual oleh keluarga Ahok kepada orang lain.
Di Palembang Akidy pernah tinggal di ruko yang terletak di Jalan Veteran, Kelurahan Kepandean Baru, Kecamatan Ilir Timur I. Ruko ini menghadap ke arah sungai dan berada di depan Kelenteng Kwa Cheng Bio. Saat ini ruko tersebut ditempati dokter gigi Luisa Emy. Namun, Emy mengaku baru tahu jika ruko yang digunakannya sejak 1993 itu pernah dihuni keluarga Akidy.
Tahun-tahun awal di Palembang, Akidy diketahui memiliki lapak permainan bulu ayam di pasar malam. Pemain memasang taruhan pada nomor tertentu dan melempar panah berbulu ayam ke target yang diputar, kemudian mendapatkan hadiah jika panah mengenai angka yang dipilih sebelumnya.
Dari cerita Ahok (66), warga yang tinggal dekat rumah Akidy, di Jalan Veteran, permainan bulu ayam adalah usaha awal Akidy di Palembang. ”Yang main bulu ayam tahun 1970-an. Dia buka join beduo dengan seseorang, sudah tuo galo (Akidy membuka usaha berdua, sudah tua semua),” kata Ahok. Namun, ia lupa siapa mitra bisnis Akidy kala itu.
Tahun 1990-an Akidy beralih menjadi kontraktor. Salah seorang pengusaha Palembang, Arifin, menuturkan, ia pernah bekerja sama dengan Akidy tahun 1992-1993. ”Dia membangun rumah trans (transmigran),” ucapnya.
Arifin kala itu kontraktor pada PT Tania Selatan, lalu diminta oleh direksi untuk membantu pengadaan kebutuhan pembangunan sekitar 500 rumah transmigran di area konsesi perusahaan sawit PT Musi Banyuasin Indah di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel. Akidy adalah pemborongnya.
Arifin bertugas menyuplai, antara lain, kayu, papan, serta makanan untuk pekerja proyek. Ia pun sering datang ke rumah Akidy di Jalan Veteran untuk menagih pembayaran. ”Pembayaran lancar,” ujarnya.
Setelah proyek selesai, Arifin tidak tahu-menahu aktivitas Akidy kemudian. Ia juga tidak tahu apakah Akidy memiliki bisnis sampingan lainnya.
Ahok menambahkan, ia mendengar Akidy membangun ruko di dekat tempatnya tinggal dengan sistem bagi bangun. Akidy mendapat kompensasi berupa ruko dari kompleks ruko yang dia bangun.
Saat dikonfirmasi, suami Heryanty, Rudy Sutadi, membenarkan bahwa mertuanya pernah tinggal di Jalan Veteran. Namun, tentang usaha Akidy, Rudy tidak mau berbicara banyak karena dia baru menikah dengan Heryanty tahun 1997.
Terlalu jauh
Lantas berapa sebenarnya kekayaan Akidy hingga Heryanty berani menjanjikan mau menyumbang Rp 2 triliun? Apa benar Akidy menyimpan uangnya di bank luar negeri?
Salah seorang pengusaha nasional yang ditanya mengenai misteri kekayaan Akidy menuturkan, sangat mungkin seseorang punya kekayaan dalam jumlah besar jika memiliki simpanan di luar negeri sejak lama. Pengusaha ini menuturkan, dia sempat mendapat tambahan kekayaan mendadak pascakrisis moneter tahun 1997 silam.
Lonjakan hartanya berasal dari uang yang dia simpan di salah satu bank di negara Eropa. Simpanan pengusaha tersebut menjadi berlipat nilainya karena nilai tukar rupiah yang turun drastis terhadap dollar Amerika Serikat saat itu.
Di Palembang, Akidy pernah tinggal di ruko yang terletak di Jalan Veteran, Kelurahan Kepandean Baru, Kecamatan Ilir Timur I. Ruko ini menghadap ke arah sungai dan berada di depan Kelenteng Kwa Cheng Bio.
Saat ditanya kemungkinan soal uang Rp 2 triliun itu disimpan di Singapura, Rudy tidak mau komentar karena merasa bukan uangnya. Padahal sebelumnya, Rudy pernah mengatakan uang Rp 2 triliun itu warisan Akidy yang diamanatkan untuk diserahkan kepada warga Palembang saat menghadapi situasi genting. ”Kalau tidak disampaikan nanti kami kena karma,” kata Rudy.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menuntaskan pemeriksaan rekening serta riwayat transaksi para anggota keluarga almarhum Akidy. Kesimpulannya, nilai total uang keluarga tersebut masih terlalu jauh dari angka Rp 2 triliun, nominal sumbangan yang dijanjikan Heryanty.
”Total rekening yang diperiksa sebanyak 25 rekening,” ucap Kepala PPATK Dian Ediana Rae, Kamis (12/8/2021).
PPATK telah menuntaskan pemeriksaan rekening serta riwayat transaksi para anggota keluarga almarhum Akidy. Kesimpulannya, nilai total uang keluarga tersebut masih terlalu jauh dari angka Rp 2 triliun.
PPATK belum menemukan ada rekening anggota keluarga Akidy di luar negeri, termasuk Singapura. ”Soal dana di luar negeri masih belum jelas karena hanya sebatas rumor dari yang bersangkutan,” ujar Dian.
Pengusaha Sofjan Wanandi juga tak percaya Akidy dan keluarganya mampu menyumbang Rp 2 triliun. ”Orang kalau menyumbang biasanya berasal dari sebagian harta dia. Kami sebagai pebisnis yang tiap hari berkompetisi dengan dalam dan luar negeri, enggak mungkin hokinya tiba-tiba begitu, dan you nyumbang sebegitu besar. Enggak ada logikanya kalau pebisnis begitu, kecuali uangnya turun dari langit,” katanya.