Polemik sumbangan Rp 2 triliun atas nama Akidy menjadi peringatan agar pejabat tidak terlena dengan iming-iming sumbangan bernilai besar. Kepercayaan publik menjadi taruhannya.
Heboh sumbangan dalam jumlah besar dari masyarakat kerap membuat kalangan pejabat terlena. Padahal, iming-iming dana sumbangan tersebut belum jelas asal muasalnya. Saat dana triliunan rupiah itu tidak jelas keberadaannya, mereka harus menerima konsekuensi kegaduhan publik.
Inilah yang terjadi dengan skandal sumbangan Rp 2 triliun untuk penanganan pandemi Covid-19 dari pengusaha Palembang, almarhum Akidy, dan keluarga besarnya kepada Kepala Polda Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Eko Indra Heri pada 26 Juli 2021. Mulanya Heryanty, anak bungsu mendiang Akidy, meminta dokter Hardi Darmawan menjembatani pemberian sumbangan kepada Eko.
Hardi lalu menghubungi Kepala Dinas Kesehatan Sumsel Lesty Nurainy. Baik Lesty maupun Eko menerima tawaran sumbangan atas dasar rasa percaya pada sosok Hardi yang merupakan dokter senior sekaligus anggota Satgas Covid-19 Sumsel.
”Mengenai bantuan (Rp 2 triliun) itu, kami hanya berpikir positif tidak ada prasangka lain. Apalagi rencana itu disampaikan oleh Prof Hardi yang merupakan dokter senior di Sumsel,” ujar Lesty, Kamis (5/8/2021).
Seiring dengan ramainya kabar berseliweran, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) turut menyelidiki keberadaan dana tersebut. Ketua PPATK Dian Ediana Rae meragukan profil penyumbang yang bukan dari kalangan konglomerat ataupun orang terpandang di Sumsel. ”Belum ada transaksi seperti itu, belum ada penyerahan uang dalam format dan cara apa pun,” ujar Dian.
Mengenai bantuan Rp 2 triliun itu, kami hanya berpikir positif tidak ada prasangka lain. Apalagi rencana itu disampaikan oleh Prof Hardi yang merupakan dokter senior di Sumsel.
Belakangan, Eko juga meminta maaf kepada publik karena tidak cermat saat menerima sumbangan Rp 2 triliun. ”Saya berharap, dengan saya minta maaf, saya sadar kesalahan saya. Sudah, salahkan saya. Tapi tidak perlu berdebat lagi. Saya sudah ngaku salah. Ayo, terus kita benahi,” tuturnya.
Mantan Kepala PPATK yang juga dosen di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Yunus Husein memandang, pejabat sudah sepatutnya menggunakan akal sehat dan kritis sebelum menerima sumbangan bernilai fantastis. Asas kecurigaan harus selalu melekat mengenai asal muasal uang sumbangan tersebut.
Jika perlu, pejabat bahkan dapat meminta bantuan PPATK untuk menelusuri asal uang sumbangan. PPATK dapat mengakses seluruh informasi dari penyedia jasa keuangan untuk memastikan uang sumbangan aman.
Yunus mengingatkan, pejabat perlu mewaspadai kemungkinan adanya penipuan atau pencucian uang dengan modus pemberian sumbangan. Sebab, praktik yang dikenal dengan istilah advance fee fraud ini pernah terjadi di luar negeri.
Pelaku biasanya menawarkan hibah dengan syarat penerima perlu membuka rekening untuk melakukan self-financing. Namun, setelah melakukan self-financing, sumbangan itu tidak pernah terjadi.
Saya berharap, dengan saya minta maaf, saya sadar kesalahan saya. Sudah, salahkan saya. Tapi tidak perlu berdebat lagi. Saya sudah ngaku salah. Ayo, terus kita benahi.
Selain itu, Yunus juga mencermati proses pemindahbukuan melalui bilyet giro dengan nominal triliunan rupiah merupakan sesuatu yang tidak lazim dilakukan di bank-bank Indonesia. Yunus, yang juga Ketua PPATK periode 2002-2012, mengaku sempat mengonfirmasi langsung dana tersebut kepada sejumlah bank.
Dosen Hukum Keuangan Publik Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dian Puji Nugraha Simatupang, mengatakan, dana hibah yang diterima pemerintah harus melalui mekanisme yang taat aturan dan patut. Dana tersebut harus masuk melalui prosedur APBN dan kas negara.
Sebelum menerima dana hibah, pejabat juga perlu berkonsultasi dulu dengan menteri keuangan. Bagi pejabat daerah, konsultasi bisa dilakukan melalui Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang ada di provinsi.
Proses itu untuk menjelaskan profil pemberi hibah melalui metode asesmen. Sebab, negara tidak boleh menerima uang, surat berharga, atau barang dari proses yang tidak halal, misalnya dari hasil pencucian uang atau transaksi narkoba.
”Jika memenuhi syarat kepatutan, maka dapat diajukan permohonan register hibah terlebih dahulu sebelum diterima atau dipublikasikan. Jadi, tidak bisa membuka rekening dulu dan menyatakan menerima uang itu. Rekeningnya harus rekening seizin menteri keuangan,” ujar Dian.
Jika melanggar ketentuan tersebut, hal ini bisa dianggap sebagai penyimpangan kebijakan yang dapat dipidana sesuai Pasal 34 Ayat 1 UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Proses penerimaan dana hibah tanpa mekanisme kepatutan tersebut dapat mencoreng reputasi pemerintah. Polemik sumbangan dari Akidy menjadi pelajaran penting bagi para pejabat agar lebih skeptis dalam menerima sumbangan dari masyarakat, termasuk berani mengecek asal-usul sumbangan tersebut.