Satu kabar gembira di tengah pandemi Covid-19 membuat geger seantero negeri. Ada pengusaha di Palembang menjanjikan donasi Rp 2 triliun untuk membantu menangani pandemi.
Awalnya, dokter Hardi Darmawan menerima telepon dari Heryanty yang menjanjikan bantuan Rp 2 triliun kepada masyarakat Sumatera Selatan yang terdampak pandemi. Tak ingin menyimpan kabar sukacita sendiri, salah satu dokter terpandang di Palembang ini menghubungi Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan Lesty Nurainy.
Agar berjalan lancar, kabar ini pun langsung disampaikan kepada Kepala Kepolisian Daerah Sumsel Inspektur Jenderal Eko Indra Heri. Ketiganya bersepakat bertemu di Rumah Dinas Kapolda Sumsel. Hardi dan Lesty bercerita, ada keluarga pengusaha yang ingin menyumbangkan Rp 2 triliun untuk membantu menangani pandemi Covid-19 di Sumsel.
Atas permintaan keluarga, Hardi menyatakan bantuan tersebut diserahkan kepada Eko sebagai pribadi. Petimbangannya, Eko sudah lama mengenal keluarga Akidy, sang pemberi sumbangan.
Atas dasar rasa saling percaya itulah ketiganya pun menyambut baik niat mulia dari keluarga Akidy. Tidak sedikit pun rasa curiga tebersit sehingga penelusuran lebih lanjut tentang kebenaran sumbangan senilai setengah dari APBD Kota Palembang tahun 2021 itu pun dianggap tidak perlu.
Supaya pemberian sumbangan tidak menumbuhkan kecurigaan, Hardi menyarankan agar pelaksanaannya disaksikan beberapa orang penting. Eko segera mengundang sejumlah pejabat Sumsel, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.
Pemberian bantuan secara simbolis pun digelar sederhana. Sebuah stirofoam merah bertuliskan ”Sumbangan untuk Penanggulangan Covid-19 dan Kesehatan di Palembang Sumsel. Dari Almarhum Bapak Akidy Tio dan Keluarga Besar Sebesar Rp 2 triliun” diserahkan Heryanty kepada Eko. Foto Akidy pun disematkan di stirofoam tersebut. Sebuah bilyet giro yang akan cair satu pekan lagi menambah keyakinan bahwa dana itu ada.
Setelah pemberian bantuan secara simbolis itu beredar, beragam pandangan bermunculan. Banyak pihak menelisik sosok Akidy. Ada yang memberi pujian dan tak sedikit pula yang masih meragukan.
Satu pekan setelah penyerahan simbolis telah berlalu, tetapi dana yang dijanjikan tak kunjung cair. Spekulasi pun bermuculan. Ada yang menilai dananya tersedia hanya terkendala sejumlah masalah teknis. Sebaliknya banyak pihak yakin donasi itu fiktif belaka.
Polemik yang kian santer membuat polisi menyelidiki. Bilyet giro tidak bisa dicairkan karena saldo yang ada di rekening Heryanty kurang. Sebagai kapolda sekaligus penerima donasi Eko yang menjadi tokoh yang paling disorot. Eko pun menyampaikan permintaan maafnya kepada publik. Dia mengakui, kejadian ini muncul karena ketidakhatian-hatiannya dalam mengambil keputusan. ”Saya tidak memeriksa lebih lanjut kebenaran dana tersebut,” aku Eko.
Riwayat janji
Bukan hanya Eko yang pernah dijanjikan Heryanty. Dokter kandungan dan ginekologi terkemuka di Palembang, Siti Mirza Nuria, sudah lebih dulu mencecap janji Heryanty. Siti kemungkinan besar tidak bisa mendapatkan kembali uang yang dipinjam Ahong, sapaan karib Heryanty.
Dari total Rp 3 miliar yang dipinjam, Rp 2,3 miliar di antaranya belum jelas pengembaliannya. Siti masih menyisakan sedikit asa. ”Dia untuk bisnis ekspedisi, tapi dia enggak bisa bayar. Dia bilang dia akan bayar kalau uang warisannya itu sudah ada,” ucapnya ketika dijumpai pada Jumat (6/8/2021).
Dia untuk bisnis ekspedisi, tapi dia enggak bisa bayar. Dia bilang dia akan bayar kalau uang warisannya itu sudah ada.
Tidak ada jaminan atau agunan dari Heryanty ketika meminjam uang kepada Siti. Dia percaya karena mendiang suaminya, dokter Emir Rasyid, pernah berbisnis dengan kakak Heryanty. Siti sudah lupa siapa namanya. ”Konstruksi, ayam goreng, apa, restoran, pengadaan,” ujar Siti menjelaskan bisnis suaminya dengan saudara Heryanty.
Emir sudah kenal dengan saudara Heryanty sejak sekitar 30 tahun lalu, tetapi Siti baru mengenal Heryanty setidaknya 10 tahun terakhir. Menurut dia, Heryanty menghabiskan masa kecil di Langsa, Aceh, dan besar di Hong Kong.
Siti menuturkan, pada 2020 Heryanty datang hendak berutang padanya, dengan iming-iming berupa sebagian keuntungan bisnis. Sebab, dana pinjaman akan dipakai untuk operasional usaha pengadaan barang dan ekspedisi. ”Ya, jadi saya pinjamkan mula-mula murni karena bisnis pengadaan barang dan ekspedisi, dengan janji kapan pun saya perlu bisa diambil kembali,” katanya.
Selama enam bulan, memang betul Heryanty membayarkan ”persenan” keuntungan bisnis per bulan. Siti pernah mendapat 10 persen, 5 persen, tetapi juga pernah nol persen karena tidak ada untung sama sekali.
”Suka-suka dia mau kasih berapa saya juga terima-terima dan percaya-percaya saja, tapi cuma enam bulan pertama saja. Sudah itu macet terus pembayarannya,” ucap Siti. Ia pun meminta uangnya dikembalikan saja.
Heryanty terus berkelit. Awalnya, ia belum mengungkit soal keberadaan uang warisan ayahnya. Ia meminta Siti bersabar karena dia mengaku memiliki sejumlah sumber dana yang totalnya Rp 220 miliar dan nantinya bakal bisa digunakan. Sebanyak Rp 140 miliar berupa deposit dana kerja ekspedisi, sisanya hasil penukaran mata uang dollar AS yang kedaluwarsa.
Siti menyebutkan bahwa Heryanty punya bisnis ekspedisi dengan rute Singapura-China-Hong Kong. Suami Heryanty, Rudy Sutadi, juga pernah mengaku memiliki bisnis ekspedisi pada tahun 1998, tapi sekarang tidak lagi. Setelah berkali-kali ingkar janji, Heryanty baru bercerita ke Siti bahwa ia sudah lama jungkir balik mengurus pencairan warisan dari ayahnya. Totalnya Rp 16 triliun!
Menurut Siti, Heryanty mengaku ada surat pernyataan keberadaan warisan yang ditujukan kepadanya secara pribadi. Selain itu, lanjut Siti, Heryanty bercerita, kakak-kakaknya di depan notaris sudah menandatangani surat bertulisan tangan bahwa tidak mau ikut campur soal warisan orangtua mereka. ”Saya berulang kali minta ditunjukkan (surat pernyataan keberadaan warisan), tapi katanya disimpan dengan notaris,” ujar Siti.
”Sebulan sebelum peristiwa 2 T, saya bilang kalau kamu enggak bayar-bayar juga, akan saya laporkan polisi,” kata Siti. Tiba-tiba, seusai melayangkan somasi kedua, Siti didatangi Heryanty yang memberikan kabar gembira, mau membayar utang dan bahkan hendak menyumbang ke masyarakat melalui kapolda Sumsel.
Saat dikonfirmasi soal utang istrinya ke Siti, Rudy mengatakan terserah Siti mau bicara apa pun tentang istrinya. ”Kita tunggu pembuktiannya saja,” uiar Rudy.
Suka-suka dia mau kasih berapa saya juga terima-terima dan percaya-percaya saja, tapi cuma enam bulan pertama saja. Sudah itu macet terus pembayarannya.
Laporan polisi
Berutang atau menawarkan investasi kerja sama bisnis dengan janji imbalan pembagian keuntungan, tidak hanya dilakukan Heryanty ke Siti. Seorang perempuan di Jakarta, Ju Bang Kioh, juga jadi sasaran. Bahkan, nilai uangnya lebih besar, yakni Rp 7,9 miliar. Heryanty pun sempat dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena diduga melakukan penipuan dan penggelapan.
Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus, Heryanty sekitar Desember 2018 datang pada Ju Bang Kioh, mengajaknya berbisnis. ”Ada tiga item bisnis, mulai dari kerja sama untuk pesanan songket, ada pesanan AC, dan juga pengerjaan interior,” kata Yusri.
Namun, hingga lebih dari setahun, janji pembagian keuntungan tidak kunjung ditepati. Ju Bang Kioh akhirnya melaporkan Heryanty ke polisi pada 14 Februari 2020. Belakangan, pelapor bersurat ke Polda Metro Jaya tanggal 28 Juli lalu, atau dua hari setelah pernyataan komitmen sumbangan Rp 2 triliun di Sumsel. Isinya, dia mencabut laporan pengaduannya terhadap Heryanty.