Harapan Penyintas Covid-19 soal Stigma
Stigma negatif masih membebani keluarga korban Covid-19. Di tengah dukacita mendalam, keluarga masih harus menghadapi ”labelling” sebagai sumber virus.
Duka belum lagi berlalu dari kediaman Ria, sepeninggal sang ayah selang lima hari terinfeksi Covid-19, stigma baru melekat di keluarga itu. Alih-alih memperoleh solidaritas, malah pergunjingan tetangga yang didapat.
Ria hingga kini tak dapat memastikan dari mana ayahnya terinfeksi. Sang ayah yang biasanya sehat dan bugar tiba-tiba tampak lemas. Badannya demam dan berlanjut sesak napas keesokan harinya. Karena khawatir, keluarga pun membawanya ke rumah sakit.
Selama perawatan medis, saturasi oksigennya terus menurun. Hasil uji usab mengonfirmasi sang ayah positif Covid-19. Nyawanya tak tertolong setelah beberapa hari dirawat.
Kepergian orangtua tercinta membawa kesedihan berlipat. Sebab, selepas berpulangnya sang ayah, keluarga itu dikucilkan masyarakat. Para tetangga mengira semua anggota keluarga telah tertular virus. Upaya untuk memberikan penjelasan tak menuai respons.
”Padahal, satu hari setelah meninggalnya ayah, semua anggota keluarga yang berkontak erat langsung menjalani uji swab. Hasilnya semua negatif (Covid-19), kecuali satu orang kakak saya yang langsung menjalani isolasi,” tuturnya, Minggu (25/7/2021).
Baca Juga: Potensi Depresi dan Kecemasan Kian Tinggi Saat Pandemi Covid-19
Karena diketahui positif Covid-19, sang kakak yang juga dalam kondisi hamil menjalani isolasi mandiri di rumah yang berbeda. Selanjutnya, demi mengantisipasi virus benar-benar telah pergi, dilakukan penyemprotan disinfektan.
Berbagai upaya itu masih belum mempan mendatangkan empati warga. Bahkan, sebagian warga enggan melewati rumahnya. Terdengar pula pergunjingan terhadap mereka.
Kondisi itu membuat rasa duka bertambah dalam. ”Ini menjadi beban berat bagi keluarga kami yang tengah berduka. Terstigma negatif. Dicap sebagai sumber virus,” keluhnya.
Menurut Ria, selama ini keluarganya telah berupaya menerapkan protokol kesehatan. Mereka selalu mengenakan masker serta menyediakan tempat cuci tangan di depan rumah.
Kedua orangtuanya, termasuk almarhum ayah, bahkan sudah tuntas vaksinasi Covid-19. Seluruh upaya itu demi mencegah penularan virus. Akan tetapi, takdir berkata lain, sang ayah tetap terinfeksi.
Dampak psikologis
Covid-19 yang telah setahun lebih melanda negeri ini melumpuhkan berbagai sektor kehidupan. Pandemi juga berdampak besar meruntuhkan ketahanan mental dan psikologis masyarakat.
Psikolog dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi, Nofrans Eka Saputra, mengatakan, secara umum masyarakat di Jambi semakin sadar akan bahaya Covid-19 dan berupaya mengendalikannya dengan cara yang positif. Ia mencontohkan, ada wilayah yang sebagian besar warganya terinfeksi virus. Situasi itu melahirkan solidaritas.
Baca Juga: Memahami Resiliensi Masyarakat di Masa Pandemi
Warga penderita Covid-19 yang terpaksa menjalani isolasi mandiri mendapatkan bantuan makanan dan obat-obatan dari berbagai pihak. Solidaritas tersebut efektif meningkatkan kepercayaan diri para korban sekaligus mendongkrak imunitas. ”Karena melihat besarnya dukungan, korban penderita Covid-19 menjadi memiliki semangat baru untuk tetap bertahan dan sembuh,” katanya.
Namun, terlepas dari itu, ia pun masih mendapati stigma-stigma terkait Covid-19. Misalnya, ada warga yang baru pulang mudik dicurigai terindikasi Covid-19 atau yang kedatangan sanak keluarga dari luar kota tiba-tiba langsung dijauhi tetangganya karena khawatir akan tertular virus.
Di satu sisi, itu merupakan upaya antisipasi dini. Namun, di sisi lain menumbuhkan pula rasa saling curiga, bahkan hilangnya empati.
”Stigma-stigma itu dalam kerangka psikososial berupa labelling, pemutusan hubungan, hingga kehilangan status di masyarakat. Stigma ini menurunkan empati dan kepedulian masyarakat,” tuturnya.
Jika fenomena itu meluas, dampaknya akan buruk. Sebab, orang yang tengah menjalai isolasi mandiri di rumahnya menjadi takut untuk mengakui dirinya terpapar Covid-19.
Ini menjadi beban berat bagi keluarga kami yang tengah berduka. Terstigma negatif. Dicap sebagai sumber virus.
Kejadian menjauhi penyintas Covid-19 perlu dipupus. Caranya lewat penguatan kesadaran di masyarakat untuk menumbuhkan empati kepada penyintas. Hal itu dapat ditunjukkan satuan tugas penanganan Covid-19 di level kampung, untuk selanjutnya dapat ditularkan ke seluruh warga. Dengan demikian, semangat peduli kemanusiaan terus meluas.
Nofrans sebelumnya melakukan studi deskriptif tentang dampak Covid-19 terhadap psikologis masyarakat Jambi. Hasil kolaborasi bersama sejumlah dosen lintas kampus di Universitas Jambi, yakni Herlambang Supian, Agung Iranda, dan Marlita Andhika Rahman, itu terbit dalam jurnal Psikodimensia.
Mereka menyurvei 564 responden yang seluruhnya warga Jambi. Terdiri atas masyarakat umum, tenaga medis, dan ibu hamil. Hasil penelitian menunjukkan dampak Covid-19 terhadap kondisi psikologis masyarakat Jambi, di antaranya cemas, stres, takut, perasaan tertekan, dan panik.
Penyebabnya, warga tidak bisa leluasa beraktivitas, terhambatnya pembelajaran, konsumsi hoaks, masalah ekonomi, mengalami gangguan beribadah, mengalami kebosanan, hingga menghadapi kasus Covid-19 yang terus meningkat sehingga takut tertular.
Baca Juga: Ketahanan Psikis Masyarakat di Masa Pandemi Cenderung Rendah
Hal serupa didapati dari hasil riset yang dilakukan oleh Tim Fakultas Psikologi Universitas Indonesia terkait resiliensi orang Indonesia, 26 Mei-2 Juni 2021. Riset menunjukkan tingkat resiliensi orang Indonesia cenderung rendah.
Riset yang dilakukan secara daring dengan melibatkan 5.817 partisipan tersebut memperlihatkan daya tahan psikis dari sebagian besar responden turun dengan cepat setelah mengalami peristiwa emosional yang signifikan. Sebagian besar responden juga tidak tahan akan stres ataupun sakit, sebagaimana dikutip dari Kompas.id, 10 Juli 2021 berjudul, ”Ketahanan Psikis Masyarakat di Masa Pandemi Cenderung Rendah”.
Menurut peneliti utama riset itu, sekaligus Ketua Laboratorium Cognition, Affect, and Well-Being Fakultas Psikologi UI, Bagus Takwin, responden yang diteliti kebanyakan sulit membuat strategi untuk kembali ke keadaan normal setelah mengalami situasi sulit dan terpukul. Tidak sedikit yang pesimistis dalam memandang masa depan. Kondisi itu menggambarkan tingkat resiliensi masyarakat cenderung rendah.
Baca Juga: Resiliensi UKM Menghadapi Pandemi
Lebih lanjut dijelaskan Nofrans, untuk mencegah gangguan psikologis, warga perlu mendapatkan layanan kesehatan mental berupa konsultasi. Saat ini, layanan kesehatan mental selama pandemi yang dirasakan masyarakat Jambi bisa didapatkan melalui konseling daring (online).
Layanan itu diberikan para psikolog yang tergabung dalam Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah Jambi, Jasa konseling Psikologi Universitas Jambi, serta komunitas Sejiwa Unja. ”Harapannya, dampak negatif Covid-19 bisa dilewati dengan mental dan psikis yang tidak lagi rapuh,” ujarnya.