Resiliensi UKM Menghadapi Pandemi
Menghadapi tekanan pandemi, UKM ternyata menunjukkan resiliensinya. Dikucurkannya bantuan sosial senilai Rp 125 triliun dan bantuan langsung tunai Rp 14,4 triliun ikut memperkuat resiliensi UKM.
Bagi netizen, unggahan Nuseir Yasssin, pemuda Arab Israel alumnus Harvard Business School, mengenai berbagai fenomena global bukan hal asing. Unggahan paling akhir video yang bersangkutan membahas topik ”jangan sia-siakan kesempatan Covid-19”.
Dia mengambil analogi fenomena alam bahwa karbon di dalam bumi apabila mendapatkan tekanan yang hebat akan menjadi batu permata. Beberapa contoh ditampilkan di video tersebut dengan pesan bahwa setiap benda atau makhluk yang mendapatkan tekanan hebat pasti akan menjadi sesuatu hal baru yang lebih bernilai.
Dia mencatat bahwa akibat tekanan pandemi Covid-19, pabrik farmasi mampu membuat vaksin hanya dalam hitungan bulan, bukan tahunan, perusahaan kini mewajibkan karyawan kerja di rumah (work from home/WFH), jasa pendidikan sekarang lebih banyak dilakukan melalui sarana video call atau Zoom.
Bagi UKM, tekanan akibat pandemi Covid-19 ini tidak kurang dahsyatnya. Menurut Survei Bank Indonesia, 93,20 persen UKM mengalami penurunan omzet penjualan dan memerlukan restrukturisasi pinjaman di bank.
Penurunan daya beli diawali dari banyaknya pengurangan karyawan di perusahaan formal ataupun informal akibat semakin sepinya pembeli.
Dampak pandemi
Hal-hal yang menjadi tekanan bagi UKM akibat pandemi Covid-19 adalah penurunan daya beli masyarakat, dibatasinya mobilisasi dan interaksi manusia, serta tertutupnya sumber pasokan bahan baku, khususnya dari negara asal impor.
Penurunan daya beli diawali dari banyaknya pengurangan karyawan di perusahaan formal ataupun informal akibat semakin sepinya pembeli. Bagi sektor usaha yang selama ini menjual barang atau jasanya memerlukan tatap muka dengan pembeli, maka adanya kebijakan pembatasan mobilitas dan interaksi antarmanusia menjadi kendala kesuksesan penjualan.
Padahal, dengan model bisnis seperti itu, tidak sedikit biaya yang telah dikeluarkan pengusaha guna mewadahi kebutuhan interaksi dengan pembeli tersebut.
Sebagai contoh klasik, para penjual di pusat perbelanjaan yang telah melakukan kontrak sewa jangka panjang dengan pemilik gedung dan juga telah melakukan renovasi cukup besar dalam rangka menarik pengunjung pasti akan kehilangan kesempatan untuk dapat menutup biaya yang telah dikeluarkan tersebut.
Di luar dampak penurunan daya beli, pembatasan mobilitas dan interaksi manusia juga berdampak sangat luas terhadap usaha yang hidup matinya sangat tergantung dari mobilitas manusia, seperti sektor pariwisata, hotel, restoran, konser musik, bioskop, pentas seni, pengangkutan, dan event organizer.
Dampak penurunan daya beli semakin diperberat dengan terganggunya pasokan bahan baku impor akibat adanya lockdown di negara asal barang.
Bagi industri manufaktur, masih cukup banyak yang tergantung pada komponen impor. Terlepas apakah industri tersebut berorientasi ekspor atau lokal, dengan terganggunya pasokan bahan baku dan suku cadang (spare part), maka akan menjadi kendala dalam memenuhi kontrak penjualan yang telah disepakati dengan pembeli.
Akibatnya, omzet penjualan semakin berkurang dan menimbulkan konsekuensi terhadap eksistensi karyawan perusahaan tersebut. Jelaslah bahwa persoalan pembatasan mobilitas sosial menyebabkan turunnya produksi sekaligus omzet penjualan.
Dampak negatif lain yang timbul akibat seretnya pembelian barang impor oleh perusahaan kita adalah semakin langkanya ketersediaan peti kemas di pelabuhan yang sangat dibutuhkan para eksportir.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas peti kemas yang digunakan eksportir kita adalah peti kemas yang akan kembali ke negara asal sehingga biayanya lebih murah. Langkanya peti kemas yang datang dari luar negeri akhirnya menimbulkan biaya tambahan bagi eksportir karena harga sewa peti kemas menjadi lebih mahal. Ini belum mempertimbangkan jangka waktu pengapalan yang pasti molor dan akan menambah kerugian bagi eksportir.
Menghadapi tekanan pandemi, UKM ternyata menunjukkan resiliensinya.
Resiliensi UKM
Menghadapi tekanan pandemi, UKM ternyata menunjukkan resiliensinya. Memang diakui terdapat variabel eksternal yang juga ikut memperkuat resiliensi UKM. Variabel eksternal tersebut antara lain dikucurkannya oleh pemerintah bantuan sosial senilai Rp 125 triliun dan bantuan langsung tunai Rp 14,4 triliun.
Kedua hal tersebut sangat membantu menjaga daya beli masyarakat kelas bawah sehingga menahan penurunan omzet pelaku usaha yang menjadi pelanggan penerima kedua bantuan tersebut.
Selain itu, melalui Undang-Undang Cipta Kerja ditetapkan bahwa semua lembaga dan kementerian harus menggunakan produk dan jasa UKM minimal 40 persen dalam setiap anggaran belanjanya.
Akhirnya, yang tidak kalah penting adalah adanya bantuan pemerintah untuk UKM kepada perbankan, baik dalam bentuk tambahan likuiditas maupun penjaminan kredit UKM melalui perusahaan asuransi Askrindo dan Jamkrindo serta pemberian keringanan berupa restrukturisasi kredit UKM oleh perbankan.
Sebenarnya masih banyak program pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat, seperti pemberian keringanan PPN pembelian mobil baru sampai dengan 1.500 cc dan keringanan PPN pembelian rumah baru sampai dengan Rp 2 miliar. Namun hal tersebut tidak langsung berdampak pada eksistensi UKM, khususnya dalam jangka pendek.
Di sisi UKM sendiri, cukup banyak bukti resiliensi yang ditunjukkan untuk menghadapi tekanan pandemi. Yang pertama, semakin banyaknya penjualan UKM beralih dari di luar jaringan/luring (offline) menjadi di dalam jaringan/daring (online).
Begitu besarnya dampak pengalihan dari sistem penjualan secara luring menjadi daring terhadap kenaikan omzet penjualan, menurut Kementerian Koperasi dan UKM , UKM pengguna kanal daring yang pada tahun 2017 baru 9,76 persen meningkat pada 2021 menjadi 12 juta UKM.
Memang penggunaan penjualan daring melalui sarana marketplace atau media sosial mampu mengangkat omzet UKM yang bergerak di bidang transportasi dan barang-barang kebutuhan primer, seperti sandang, pangan, dan pendidikan.
Namun, untuk UKM yang bergerak di bidang pariwisata, walaupun pada masa sebelum pandemi telah banyak memanfaatkan sistem daring, sampai saat ini pemulihannya masih sangat lemah.
Bentuk resiliensi kedua adalah bahwa UKM ternyata mampu mengatur beban bunga pinjaman. Menurut Direktur Utama BCA, pada masa pandemi ini penggunaan kredit UKM menurun karena mereka lebih banyak memanfaatkan dana cadangan atau tabungan.
Penggunaan pinjaman yang berlebihan di tengah kondisi menurunnya permintaan barang dan jasa akan menambah risiko ketidakmampuan mengembalikan pinjaman.
Resiliensi ketiga, kondisi pandemi, selain sebagai variabel yang memaksa, ternyata telah memberikan hikmah bagi UKM menemukan efisiensi baru yang pada masa sebelum pandemi merupakan hal yang sangat sulit diimplementasikan.
Efisiensi tersebut terjadi dengan adanya kewajiban bagi sebagian karyawan untuk bekerja di rumah (WFH) dan penggunaan video call atau Zoom sebagai sarana melakukan aktivitas diskusi dengan rekanan, rapat dengan pihak lain, atau bahkan untuk membantu kegiatan pemasaran. Belakangan ini, penggunaan Youtube menjadi hal wajib bagi perusahaan ketika melakukan acara seremonial ataupun peluncuran produk baru.
Baca juga : Menguji Fleksibilitas UMKM
Dengan adanya sarana Zoom dan video Youtube, berbagai biaya, seperti transportasi pegawai, konsumsi rapat, pelatihan, dan seminar, menurun drastis. Dengan efisiensi dari aspek ini, UKM akan mampu merelokasi anggaran yang tersedia untuk tujuan memantapkan metode baru di tengah pandemi.
Saat ini, aktivitas yang semakin marak di tengah pandemi adalah podcast. Hampir semua orang seolah memiliki stasiun TV sendiri. Hadirnya publicly influencing person sebagai host semakin menjadikan podcast sebagai sarana promosi produk yang efektif.
Aktivitas WFH sangat mendukung berkembangnya podcast karena semakin banyak orang dapat melihat Youtube dibandingkan ketika bekerja di kantor (WFO).
Tanpa harus keluar dari lokasi, UKM dapat mengajukan pinjaman daring sesuai kebutuhan dengan persetujuan yang sangat cepat.
Berbagai perubahan aktivitas selama pandemi tersebut pasti telah terinternalisasikan di seluruh karyawan karena telah berjalan hampir satu setengah tahun dan juga telah dipahami oleh manajemen sehingga akan tetap menjadi pola kerja baru walaupun pandemi nanti berakhir. Perjalanan dinas akan dikurangi, pelatihan dan kursus bagi pegawai akan lebih banyak dilakukan melalui sarana Zoom daripada aktivitas tatap muka yang berbiaya lebih mahal.
Resiliensi keempat, di tengah tekanan pandemi ini, UKM akan semakin marak memanfaatkan pinjaman daring melalui platform fintech. Tanpa harus keluar dari lokasi, UKM dapat mengajukan pinjaman daring sesuai kebutuhan dengan persetujuan yang sangat cepat.
Tentu saja UKM wajib memilih pemberi layanan pinjaman daring yang tercatat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan terbukti kinerjanya bagus. Ini menjadi salah satu upaya resiliensi UKM di tengah berbagai tekanan yang diakibatkan oleh munculnya pandemi Covid-19.
Djoko Retnadi,Direktur Pelaksana Indonesia Exim Bank 2019-2020