Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat dengan berbagai aturan memaksa pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bersiasat agar bertahan dan berkembang. ”Gelombang kedua” kali ini menguji fleksibilitas UMKM.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·3 menit baca
Pemerintah kembali ”menginjak rem” dengan memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat darurat di wilayah Jawa dan Bali pada 3-20 Juli 2021. Tujuannya menekan laju penularan Covid-19. Situasinya serba tidak mudah, khususnya bagi para pelaku usaha yang mesti menghadapi risiko melesunya aktivitas ekonomi.
”Berat sama dipikul” menjadi keniscayaan. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat akan menekan kegiatan ekonomi masyarakat seiring pembatasan jam operasi, kapasitas, dan penyekatan.
PPKM darurat kali ini adalah ujian ”gelombang kedua” bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) setelah serangkaian kebijakan serupa sejak awal pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Para pemilik dan pelaku UMKM kembali dituntut beradaptasi, kreatif, dan inovatif untuk menyiasati situasi dan bertahan hidup.
Rhenald Kasali dalam bukunya Myelin, Mobilitas Intangibles Menjadi Kekuatan Perubahan (2010) menyebutkan, para pemimpin perlu meletakkan dasar perubahan agar perusahaan yang mereka pimpin mampu bertindak adaptif dan menjadi value creator. Tidak diam dalam perangkap ”kenangan” masa lalu, melainkan maju ke depan dengan gagasan-gagasan baru.
Dalam buku itu secara gamblang dipaparkan tentang brain memory yang terbentuk dari pengetahuan, sedangkan muscle memory terbentuk karena latihan. Manusia yang hanya membangun pengetahuan melalui brain atau otaknya akan menjadi manusia formula yang hanya melihat dari kacamata brain memory. Sementara manusia yang hanya melakukan latihan akan bergerak reflektif atau otomatis.
Gabungan kedua kekuatan itu akan menghasilkan gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan kreatif tiada akhir yang disebut dengan keunggulan daya saing. Gagasan saja tidak cukup. Sebab, diperlukan juga tindakan untuk merealisasikan gagasan tersebut.
Sekarang UMKM harus ”mencuri-curi” hidup. Warung kecil di sudut gedung perkantoran yang selama ini berharap kedatangan pekerja, kini harus pindah. Kelenturan mencari lokasi demi bertahan hidup adalah faktor penting.
Yang tak kalah penting, fleksibilitas produk harus mulai dipikirkan para pelaku UMKM. Tidak bisa lagi orang bergantung pada produk yang dikenal dan selama ini jadi andalan. Ada sejumlah produk yang tidak dibeli lagi atau jadi prioritas konsumen sehingga pelaku usaha perlu sementara waktu beralih ke produk lain yang lebih banyak dicari, seperti produk kesehatan atau alat pelindung diri. Fleksibilitas tempat, produk, dan harga diperlukan bahkan sekadar demi mengalirkan arus kas (cash flow) dan mencari peluang untuk bertahan hidup.
PPKM dengan berbagai pembatasan waktu operasional dan kegiatan masyarakat mau tidak mau membuat pelaku UMKM tak boleh lengah. Eksplorasi langkah baru diperlukan. Sebab, selain situasi pasar, mood konsumen berubah, sementara pesaing tambah banyak. Pertempuran UMKM semakin hebat, khususnya di bidang makanan, yang bergantung pada sistem pengantaran. Para pelaku usaha mesti mencari akal untuk menarik minat konsumen.
Pilihan strategi sekarang sangat terbatas. Penyebaran informasi dengan cara-cara baru adalah kuncinya. Di tengah ujian yang beruntun itu, peran Kementerian Koperasi dan UKM kini menjadi sangat vital. Acap kali, isu menaikkan kelas dan memasukkan UMKM pada on boarding sistem teknologi pemasaran diangkat dalam diskusi. Sampai-sampai, pelaku UMKM didorong untuk bertransformasi ke digital. Pada saat yang sama, begitu banyak pelaku UMKM yang merasa berjuang sendirian tanpa sentuhan pemerintah. Mereka mencoba bertahan dengan dayanya untuk menghadapi krisis ini.
Sementara itu, pemerintah masih meyakini platform daring sangat dibutuhkan untuk meningkatkan penjualan, mengefisienkan biaya, dan bersaing dengan produk asing. Pandemi mempercepat akselerasi transformasi digital. Kementerian Koperasi dan UKM mencatat, ada tambahan 4 juta UMKM atau total 12,1 juta UMKM yang sudah terhubung dengan ekosistem digital. Jumlah itu sekitar 19 persen total populasi UMKM di Indonesia.
Walaupun kemajuan teknologi dan tren go digital terus digaungkan, belum semua pelaku UMKM siap membawa produknya ke platform digital. Ini tantangan besar di tengah tuntutan tetap fleksibel dalam tekanan situasi yang tidak mudah.