Potensi Depresi dan Kecemasan Kian Tinggi Saat Pandemi Covid-19
Potensi publik mengalami gangguan kesehatan jiwa kian tinggi saat pandemi Covid-19. Energi negatif perlu disalurkan agar kesehatan jiwa tidak memburuk.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerentanan publik terhadap gangguan kesehatan jiwa, seperti depresi dan kecemasan, semakin nyata saat pandemi Covid-19. Hal ini dipicu pembatasan sosial dan ketidakpastian tentang masa depan. Sebagian orang pun mengalihkan emosi negatif dengan menekuni hobi.
Menurut studi oleh Columbia University’s Mailman School of Public Health, angka prevalensi depresi secara global selama pandemi adalah 24 persen. Adapun prevalensi kecemasan global 21 persen.
Adapun prevalensi depresi dan kecemasan di kawasan Asia masing-masing 18 persen. Padahal, prevalensi depresi sebelum pandemi diperkirakan 1,3 persen hingga 3,4 persen. Prevalensi kecemasan sebelum pandemi berkisar 2,1 persen hingga 4,1 persen.
”Studi ini menunjukkan pentingnya untuk menyelidiki tingkat gangguan kesehatan mental dan dampak dari pembatasan sosial. Kesehatan mental sepatutnya tidak dipandang hanya sebagai konsekuensi dari pandemi, tetapi juga sebagai epidemi yang terjadi bersamaan,” kata Silvia Martins, profesor epidemiologi di Columbia University’s Mailman School of Public Health, melalui publikasi tertulis, Kamis (18/3/2021).
Hal serupa terjadi pula di Indonesia. Survei Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada April-Agustus 2020 menemukan sejumlah gangguan kesehatan jiwa di masa pandemi.
Kesehatan mental sepatutnya tidak dipandang hanya sebagai konsekuensi dari pandemi, tetapi juga sebagai epidemi yang terjadi bersamaan
Selama lima bulan pandemi, sebanyak 64,8 persen responden mengalami sejumlah masalah psikologis. Masalah itu ialah depresi (62 persen), cemas (65 persen), dan trauma (75 persen).
Gejala kecemasan antara lain khawatir berlebihan, mudah marah, dan sulit merasa rileks. Adapun gejala depresi antara lain merasa lelah, mengalami gangguan tidur, dan kehilangan minat. Hal ini bisa dialami semua orang, tak terkecuali anak muda.
Saat dihubungi terpisah, Ketua Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia Eunike Sri Tyas Suci mengatakan, ketangguhan setiap pemuda dalam menghadapi tekanan pandemi berbeda-beda. Namun, ia mengasumsikan anak muda perkotaan lebih rentan terhadap stres di masa ini daripada pemuda di daerah.
Gejala kecemasan antara lain khawatir berlebihan, mudah marah, dan sulit merasa rileks. Adapun gejala depresi antara lain merasa lelah, mengalami gangguan tidur, dan kehilangan minat.
”Anak muda di kota sudah terbiasa menikmati fasilitas yang ada, seperti bioskop, mal, dan kafe. Selama pandemi, tempat bergaul anak-anak muda itu ditutup. Mereka berpotensi frustrasi ketika akhirnya harus berdiam di rumah atau mencari alternatif lain,” kata Eunike di Jakarta, Rabu (14/4/2021).
Anak muda yang sebelumnya bermasalah pun semakin rentan saat pandemi Covid-19. Eunike mengatakan, pandemi membuat beban masalah menjadi semakin besar dan anak muda kerap kebingungan mencari solusi. Kesehatan jiwanya pun terganggu.
Kendati demikian, masih ada anak muda yang tangguh menghadapi pandemi. Sebagian anak muda memanfaatkan situasi pandemi secara kreatif, misalnya berjualan daring.
Eunike mengatakan, anak muda punya energi besar sehingga selalu memerlukan kanal ekspresi diri. Pandemi dinilai bisa menghambat proses ekspresi diri, baik ekspresi positif maupun negatif. Untuk membuang luapan energi negatif, anak muda disarankan berolahraga.
”Yang penting adalah menggerakkan tubuh buat menghabiskan energi pada tubuh kita. Bisa bersepeda, berenang, atau lari. Ini tepat untuk menyalurkan stres dan energi negatif, sekaligus membuat tubuh sehat,” ujarnya.
Hal ini dilakukan Ghellar (30), karyawan swasta di Bekasi. Ia rutin bersepeda dengan teman-teman sekomunitas selama pandemi. Selain menyehatkan badan, bersepeda membuat dia senang dan mengurangi stres.
Selain itu, bersepeda bersama komunitas memberinya kesempatan menjalin hubungan sosial yang terbatas selama pandemi. Ia bisa bertemu teman-teman baru dan berbagi cerita.
”Ini adalah penyenang hati ketika pandemi. Bersepeda bareng di akhir pekan seperti rekreasi buat saya, terlebih setelah menghabiskan hari kerja di rumah,” kata Ghellar.
Sementara itu, pegawai negeri di Jakarta, Pipit (35), mengurai stres dengan memasak dan membuat kue. Menurut dia, memasak membuat dia tenang dari tekanan pekerjaan dan rasa sepi yang dialami. ”Aku merasa lagi ada di sanctuary ketika masuk dapur dan memasak. Ada sesuatu yang menenangkan dengan memasak,” katanya.