Bergandeng Tangan Memperkuat Jiwa Pemuda, Akses Layanan Diperluas
Stres, terutama pada anak muda, memerlukan penanganan yang mumpuni serta terjangkau. Ini akan sangat membantu anak muda melewati masa sulit.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi memunculkan berbagai stresor atau penyebab stres bagi masyarakat luas, tidak terkecuali pada usia muda. Pengelolaan stres yang tidak baik dapat berdampak luas, mulai dari terganggunya aktivitas harian hingga menurunnya kualitas hidup di masa depan.
Sayangnya, kesadaran masyarakat mengelola stres masih amat kurang. Layanan kesehatan jiwa, seperti konsultasi terkait kondisi psikologis, masih sulit diakses. Pemerintah pun berupaya untuk memperluas akses tersebut.
”Pada situasi pandemi Covid-19 saat ini dengan berbagai dimensi yang terpengaruh, rasa aman para pemuda akan masa depan pasti terganggu,” kata Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Suprapto, di Jakarta, Selasa (13/4/2021).
Rasa aman ini dari berbagai aspek kehidupan mereka. Ia menyebutkan hal itu mulai dari pekerjaan, pendapatan, hingga pertimbangan soal perkawinan. Hal-hal ini perlu dicari jalan keluarnya.
Saat melakukan konsultasi kita tidak menanyakan identitas pribadi, paling hanya usia dan jenis kelamin serta daerah asal untuk identifikasi awal.
Ia menuturkan, koordinasi dari lintas kementerian dan lembaga pun akan diperkuat. Penanganan kesehatan jiwa sudah diinisiasi saat awal pandemi berlangsung di Indonesia. Namun, evaluasi terkait upaya yang sudah berjalan belum dilakukan.
Menurut Agus, para pemangku kepentingan perlu lebih didorong untuk lebih serius dalam menangani kesehatan nonfisik, termasuk kesehatan jiwa, pada generi muda. Upaya yang bisa dilakukan, antara lain, adalah memberikan matrikulasi khusus bagi calon mahasiswa yang akan memulai perkuliahan daring, layanan psikososial bagi karyawan yang ekonominya terdampak akibat pandemi, serta layanan psikososial bagi siswa usia sekolah.
”Koordinasi dari lintas kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Ketenagakerjaan, perlu diperkuat. Hal ini akan menjadi fokus pemerintah untuk menyelamatkan masa depan generasi muda kita,” tuturnya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Siti Khalimah menyampaikan, penanganan masalah kesehatan jiwa dari dampak pandemi sudah dijalankan sejak awal pandemi berlangsung. Itu karena penanganan kesehatan jiwa merupakan bagian dari upaya penanggulangan krisis kesehatan yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2019.
Baca Juga: Mengelola Anak Muda, Menjaga Bangsa
Dalam penanganan tersebut, berbagai organisasi profesi sudah terlibat untuk mendukung hal tersebut. Pembukaan layanan konsultasi melalui saluran telepon di 119 dengan nomor perpanjangan 8 sudah disediakan. Selain itu, Kementerian Kesehatan juga sudah menyediakan layanan konsultasi daring secara gratis yang bisa diakses melalui aplikasi Sehat Jiwa. Setidaknya, enam konselor yang terdiri dari tiga psikolog serta tiga psikiater siap melayani masyarakat yang mengakses kedua layanan tersebut.
Stigma
Meski begitu, layanan yang sudah diberikan tersebut belum optimal diakses oleh masyarakat. Selain sosialisasi yang kurang masif, Siti mengatakan, persoalan stigma di masyarakat masih menjadi tantangan utama. Masyarakat, terutama anak muda, masih banyak yang merasa khawatir akan stigma yang dihadapi jika melakukan konsultasi terkait kesehatan jiwa.
Anak muda pun enggan untuk melakukan konsultasi karena takut jika ditanya identitas dirinya. ”Padahal, saat melakukan konsultasi, kita tidak menanyakan identitas pribadi, paling hanya usia dan jenis kelamin serta daerah asal untuk identifikasi awal. Pengertian ini yang perlu disosialisasikan agar anak muda kita tidak takut untuk melakukan konsultasi,” kata Siti.
Sebagai upaya untuk memperluas akses layanan kesehatan jiwa pada masyarakat, ia mengatakan, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan sudah melatih sekitar 10.000 perawat yang akan bertugas untuk memberikan dukungan keperawatan jiwa bagi seluruh keluarga di Indonesia. Ditargetkan, para perawat ini akan mendampingi 50 juta keluarga.
Baca Juga: Pandemi Pukul Mental Kaum Muda
Selain itu, tim pelayanan dukungan kesehatan jiwa dan psikososial juga telah dibentuk di 15 provinsi. Tim ini dibentuk melalui surat keputusan gubernur di masing-masing daerah agar dapat terimplementasi dengan baik. Protokol dalam pelayanan juga sudah diterbitkan untuk mempermudah pelaksanaannya. Berbagai pihak pun terlibat dalam tim tersebut, yaitu pemerintah daerah, organisasi profesi, perguruan tinggi, serta fasilitas pelayanan kesehatan.
”Menyelamatkan generasi muda perlu kerja sama dari semua pihak, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Lintas sektor juga harus terlibat untuk menangani persoalan ini. Kita perlu menyepakati bersama bahwa kesehatan jiwa tidak terpihak dari kesehatan masyarakat yang butuh perhatian serius,” tutur Siti.
Perlunya perhatian yang lebih terkait persoalan kesehatan jiwa pemuda didasari oleh tingginya laporan gangguan kesehatan jiwa selama masa pandemi. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan pada 2020, sebanyak 24 persen responden berusia 15 tahun mengalami gangguan tidur, 7,2 persen mengalami gangguan depresi, dan 5,9 persen mengalami gangguan cemas.
Dari responden yang disurvei tersebut, gangguan yang ditemui lebih banyak terjadi pada kelompok usia 15-24 tahun dibanding dengan usia 25-59 tahun. Kekhawatiran lainnya juga muncul dari tingginya angka bunuh diri di masyarakat. Pada 2020, tercatat angka percobaan bunuh diri yang dilaporkan mencapai 1.193 kasus. Jika merujuk pada data global, kasus bunuh diri paling banyak terjadi pada usia dewasa muda, yakni pada usia 19-25 tahun.
Baca Juga: Jangan Sepelekan Kesehatan Mental Warga
Menurut Siti, kerentanan jiwa pemuda di masa pandemi dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti takut tertular Covid-19, kehilangan pekerjaan, ketakutan akan dampak ekonomi karena orangtua kehilangan penghasilan, kebutuhan untuk bersosialisasi yang tidak terpenuhi karena pembatasan sosial, serta larangan untuk mudik. Kondisi tersebut dapat menimbulkan perasaan cemas dan putus asa akan masa depan dari para pemuda.
”Anak muda harus sadar bahwa perawasaan cemas, khawatir, dan bingung itu sangat wajar di masa pademi ini. Jadi, it’s okay to not be okay,” katanya.
Ia pun menyarankan agar anak muda berupaya untuk tetap terhubung dengan orang terdekat. Jika memang muncul rasa-rasa cemas dan mengganggu, bisa segera hubungi pihak yang profesional.
”Manfaatkan jalur konsultasi dan curhat yang sudah disediakan secara gratis dengan maksimal,” ucap Siti.