Mencegah Gelombang Pandemi Kesehatan Mental
Krisis kesehatan mental menjadi permasalahan besar selain penyakit Covid-19 itu sendiri karena efek jangka panjang yang sangat mungkin dialami masyarakat.
Rasa cemas, stres, depresi, dan khawatir yang memicu gangguan kesehatan mental meningkat selama pandemi. Berdasarkan pengalaman setahun Covid-19 dan pelajaran dari pandemi sebelumnya, gangguan ini berisiko menetap dalam jangka waktu panjang. Berkurangnya risiko gangguan kesehatan mental ini bergantung pada kecepatan dan ketepatan pemulihan situasi pandemi.
Setahun berlalu, pandemi Covid-19 belum menunjukkan akhirnya. Kasus Covid-19 masih terus bertambah setiap harinya, begitu pula korban jiwa akibat virus SARS-Cov2 ini. Data global per 12 April 2021 menunjukkan kasus Covid-19 mencapai 136,77 juta dan 2,95 juta jiwa diantaranya meninggal.
Demi menekan laju penularan, percepatan vaksinasi dilakukan. Akan tetapi itu pun belum menjamin pandemi berakhir dalam waktu dekat.
Menurut laporan Economist Intelligence Unit (EIU), target cakupan vaksinasi dunia akan tercapai pada 2023. Rinciannya, 37 negara selesai vaksinasi pada 2021, 67 negara pada 2022, dan 84 negara pada 2023. Artinya, kemungkinan paling baik adalah pandemi berakhir pada 2023 meskipun Covid-19 diperkirakan menjadi wabah epidemi.
Tekanan ini diikuti dengan melemahnya perekonomian dan perubahan kehidupan manusia yang sudah terjadi selama setahun pandemi. Pengangguran meningkat, PHK terjadi di mana-mana, industri dan UMKM merugi hingga harus berhenti turut menambah beban hidup masyarakat.
Kondisi tersebut menimbulkan ketidakpastian. Sejumlah orang merasa stres, depresi, kesepian, khawatir berlebihan yang berdampak pada kesehatan mentalnya. Survei daring kesehatan mental yang dilakukan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada April-Agustus 2020 menemukan gangguan kesehatan mental di masa pandemi Covid-19.
Sebanyak 64,8 persen respoden mengungkapkan mengalami masalah psikologis berupa cemas, depresi, dan trauma. Gejala cemas yang paling banyak dialami adalah kecemasan tentang sesuatu yang buruk di masa depan, khawatir berlebihan, dan mudah marah. Sedangkan gejala depresi utama yang muncul adalah gangguan tidur, kurang percaya diri, dan mengalami kelelahan.
Dr. Adrian James, Presiden Royal College of Psychiatrists, dalam wawancaranya dengan The Guardian menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 menjadi pukulan terbesar terhadap kesehatan mental setelah Perang Dunia II. Potensi krisis kesehatan mental meningkat melihat pandemi yang tidak kunjung berakhir serta lambatnya pemulihan ekonomi serta sektor kehidupan lainnya.
Risiko gangguan kesehatan mental berbeda-beda setiap orang. Perbedaan tersebut terekam dalam survei gabungan tentang kesehatan mental di 26 negara yang diterbitkan jurnal Wiley Public Health Emergency Collection.
Hasil survei terhadap 53.524 responden ini menyebutkan tingkat stres lebih tinggi berkaitan dengan usia, jenis kelamin, status pernikahan, dan wilayah tinggal. Dari sisi usia, tingkat stres tinggi rentan terjadi pada usia muda. Kerentanan stres juga banyak dialami orang yang berjenis kelamin perempuan, status lajang, serta tinggal di wilayah tempat tinggal terdapat kasus Covid-19 tinggi dan parah.
Dampak jangka panjang
Pernyataan Dr Adrian James bukanlah tanpa dasar. Krisis kesehatan mental menjadi permasalahan besar selain Covid-19 itu sendiri karena efek jangka panjang yang sangat mungkin dialami masyarakat. Bahkan sekalipun laju penularan berhasil ditekan, ada konsekuensi dampak jangka panjang dari gangguan mental.
Peringatan serupa juga dikeluarkan American Psychological Association berdasarkan hasil surveinya pada penduduk dewasa Amerika Serikat. Efek jangka panjang pada kesehatan mental dipicu oleh perubahan berat badan yang tidak diinginkan. Ini termasuk meningkat dan menurunnya berat badan karena stres.
Enam dari sepuluh penduduk dewasa AS melaporkan perubahan berat badan karena stres. Sebanyak 42 persen responden melaporkan kenaikan berat badan dengan rata-rata kenaikan 29 pon atau setara 13,2 kilogram. Sementara 18 persen melaporkan penurunan berat badan dengan rata-rata penurunan 26 pon atau setara 11,8 kilogram.
Masalahnya, peningkatan berat badan secara signifikan menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang. Menurut National Institut Health, peningkatan berat badan lebih dari 11 pon (5 kilogram) menimbulkan risiko diabetes melitus tipe II. Bahkan, jika kenaikannya mencapai lebih dari 24 pon (10,9 kilogram) akan lebih berisiko terkena stoke iskemik.
Tidak hanya itu, stres menyebabkan gaya hidup sehat terabaikan. Berdasarkan survei yang sama, 67 persen responden merasa kurang tidur atau tidur berlebihan sejak pandemi. Sebanyak 23 persen minum lebih banyak alkohol untuk mengatasi rasa stres selama pandemi.
Peringatan akan efek jangka panjang pandemi terhadap kesehatan mental ini sebenarnya telah digaungkan berdasakan pengalaman masa lampau. Steven Taylor dalam bukunya berjudul The Psychology of Pandemics (2019) menyebutkan, seseorang yang kehilangan kerabat, teman, saudara akibat pandemi lebih rentan terpapar post traumatic stress disorder (PTSD). Eksposur dari banyak kematian di lingkungannya juga menjadi stresor PTSD.
Hal itu tergambarkan dari pengalaman pandemi Influenza 1918 dan SARS 2002-2003. Pada pandemi Influenza 1918 memang sedikit data tentang dampak PTSD. Namun berdasarkan sejumlah catatan, beberapa orang yang pernah menghadapi pandemi ini memiliki ingatan kuat, berulang, dan jelas tentang stresor yang berkaitan dengan pandemi. Ini menunjukkan gejala PTSD bahkan hingga beberapa dekade setelah pandemi berakhir.
Sementara pada wabah SARS, gejala PTSD rentan dialami oleh masyarakat yang dikarantina, bekerja di tempat dengan risiko penularan tinggi, dan memiliki kerabat atau teman yang sudah tertular virus. Setidaknya mereka yang berada dalam kategori tersebut berisiko 2-3 kali lebih besar terkena PTSD dibandingkan dengan mereka yang tidak terpapar hal-hal tersebut.
Risiko jangka panjang kesehatan mental juga dihadapi para penyintas Covid-19. Hasil penelitian Oxford University menyebutkan bahwa satu dari tiga penyintas Covid-19 berisiko mengalami gangguan otak atau kejiwaan, seperti kecemasan, kegelisahan, dan depresi dalam enam bulan.
Upaya preventif
Melihat sejumlah dampak tersebut, isu kesehatan mental yang terjadi selama pandemi ini tidak dapat dianggap remeh. Kesehatan mental berpotensi menjadi ”wabah”, bahkan setelah pandemi berakhir. Pengabaian akan penanganan kesehatan mental ini bisa berakibat pada meningkatnya kriminalitas hingga bunuh diri.
Sebanyak 64,8 persen respoden di Indonesia mengungkapkan mengalami masalah psikologis berupa cemas, depresi, dan trauma.
Melihat dari pemicunya, gangguan kesehatan mental, seperti stres, depresi, ketakutan akan ketidakpastian ini, disebabkan karena situasi pandemi yang belum mereda, perekonomian yang belum pulih, dan perubahan kebiasaan hidup yang drastis. Karena itu, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mengatasi pandemi ini hendaknya juga memperhatikan dampak jangka panjang terhadap kesehatan mental masyarakat.
Mempercepat pemulihan kesehatan dan perekonomian masyarakat sama dengan mengurangi risiko gangguan kesehatan mental masyarakat di masa depan. Di sisi lain, masa pandemi menggaungkan isu kesehatan mental yang mana sebelumnya hal ini sering dianggap tabu.
Harapannya dengan semakin luasnya informasi tentang kesehatan mental, masyarakat lebih mampu mengatasi rasa stes, tertekan, depresi, hingga khawatir berlebihan yang dirasakan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan diet digital, membangun komunikasi dengan orang terdekat, serta melakukan gaya hidup sehat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Upaya Menjaga Nalar Tetap Sehat Saat Pandemi