Membaca Risiko Ledakan Kasus Covid-19 di Jabar
Hampir satu setengah tahun hidup bersama pandemi Covid-19, ragam persoalan masih menyelimuti Jabar. Tanpa mitigasi berbasis data, ledakan besar kasus korona hanya soal waktu.
Kabar kasus baru dan kematian akibat Covid-19 di Jawa Barat kian masif. Ledakan kejadian rentan terwujud jika mitigasi tidak disiapkan sebaik-baiknya di provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia ini.
Senin (19/7/2021) malam, kabar tersiar dari Rumah Sakit Immanuel, Bandung, yang kehabisan oksigen cair. Padahal, saat itu ada 80 pasien Covid-19 tengah dirawat dan membutuhkan pasokan oksigen. Sembari menunggu pengiriman 3 ton oksigen cair dari PT Samator Gas Industri, yang tiba Selasa pukul 04.00, layanan kesehatan sementara menggunakan oksigen dalam tabung.
Baca juga : Katakan yang Sebenarnya tentang Covid-19, Setidaknya Jangan Bohong
Gideon Dwi Pamungkas dari Bagian Legal RS Immanuel, Senin menjelang subuh, memaparkan, kejadian ini adalah yang pertama kali. Kebutuhan oksigen rumah sakit sedang sangat tinggi. Sebagai gambaran, bantuan oksigen cair dari PT Pupuk Sriwidjaja Palembang kepada RS Immanuel sebanyak 4,3 ton hanya bertahan maksimal dua hari.
Penularan harian Covid-19 di Jabar melesat menjadi yang tertinggi, Senin lalu. Posisinya di atas DKI Jakarta.
Kasus ini seperti puncak kekhawatiran Pemerintah Provinsi Jabar tentang keterbatasan oksigen selama ini. Oksigen tidak hanya dibutuhkan rumah sakit, tetapi juga pasien Covid-19 isolasi mandiri. Kebutuhannya melonjak berkali-kali lipat. Hingga 20 Juli, diperkirakan defisit oksigen di Jabar mencapai 321 ton.
Perburuan oksigen pun dilakukan hingga Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur. Namun, kasus di RS Immanuel menunjukkan bahwa kebutuhan oksigen haruslah diperjuangkan hingga melintasi lautan.
Oksigen bisa jadi hanya secuil masalah Jabar saat pandemi semakin ganas. Fakta jumlah penduduk hingga 50 juta jiwa, tingginya mobilitas warga, rendahnya ketaatan pada protokol kesehatan, hingga munculnya varian baru rentan memicu ledakan kasus Covid-19 di Jabar. Tanpa mitigasi, kefatalan hanya soal waktu.
Kasus harian
Hingga Senin, total orang terkonfirmasi Covid-19 di Jabar mencapai 508.814 orang. Jumlah itu memang masih di bawah DKI Jakarta sebanyak 751.312 orang. Namun, penularan harian di Jabar melesat menjadi yang tertinggi. Pada hari yang sama ada 9.398 kasus baru di Jabar. Sementara DKI Jakarta mencatat 5.000 kasus baru.
Bahkan, bukan tidak mungkin data di Jabar lebih besar dari yang tercatat. Sejauh ini, pemeriksaan masih belum ideal. Baru Kota Cirebon yang memenuhi standar pemeriksaan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Cirebon masuk dalam 11 daerah yang melebihi target tes dalam pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat. Selain Cirebon, ada Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Kepulauan Seribu, dan Jakarta Selatan. Selain itu, ada Kota Yogyakarta, Gunungkidul, Buleleng, Kota Magelang, dan Kota Surakarta.
Baca juga : Delapan dari 10 Orang yang Dites di Kota Cirebon Positif Covid-19
Setiap hari, 800 orang di Cirebon dites Covid-19. Ini melebihi target tes 684 orang per hari. Hasilnya, dari 10 orang yang menjalani tes, delapan orang di antaranya positif Covid-19.
Hanya saja, gencarnya temuan kasus belum diimbangi ketersediaan ruang perawatan dan isolasi ideal. Hanya sekitar 600 orang positif Covid-19 yang diisolasi di RS dan tempat isolasi terpusat. Kini, 2.162 orang menjalani isolasi mandiri.
Untuk mengejar target pemeriksaan ideal di seantero Jabar, Gubernur Ridwan Kamil mengklaim telah menyiapkan 200.000 sukarelawan dari karang taruna, PKK, dan posyandu. Mereka bakal melacak kontak erat hingga membujuk warga melakukan tes antigen.
Fasilitas perawatan pun disiapkan untuk mengantisipasi tingginya temuan kasus. Pertama, menaikkan persentase tempat tidur hingga 36 persen dari total ketersediaan 54.000 kasur. Hingga pertengahan Juli, setidaknya 20.000 orang dirawat di rumah sakit.
Baca juga : Kasus Aktif di Jabar Terus Naik, Pasien Isoman Akan Dipinjami Tabung Oksigen
Selanjutnya, menempatkan orang tanpa gejala atau bergejala ringan ke sekitar 10.000 tempat isolasi mandiri milik desa. Keterisiannya kini 43 persen. Selain itu, disediakan hotel dan apartemen untuk pemulihan berkapasitas 500 pasien.
Kamil mengatakan, semua fasilitas bakal memberi perlakuan sama. Apalagi, jumlah yang menjalani perawatan di luar fasilitas kesehatan sangat tinggi, lebih kurang 70.000 orang. Untuk pasien yang menjalani perawatan di rumah misalnya, bakal disediakan layanan peminjaman tabung oksigen. Namun, dengan jumlah tabung terbatas, peminjaman masih dilakukan bergantian.
”Pasokannya akan ditambah. Setelah bantuan 700 tabung oksigen diberikan Badan Amil Zakat Nasional dan PT Abyro Multitecno Cemerlang, sebanyak 1.500 tabung oksigen bakal tiba dari Singapura,” katanya.
Baca juga : Suplai Terbatas, Ridwan Kamil Janjikan Gudang Oksigen untuk Rumah Sakit
Konsultasi dokter dan pemenuhan obat juga bisa didapat lewat aplikasi Pusat Informasi dan Komunikasi Covid-19 Jabar (Pikobar). Pemprov Jabar bekerja sama dengan 10 perusahaan obat dan jasa pengiriman hingga ke rumah warga.
Pembiayaannya, kata Kamil, dari refocusing APBD Jabar Rp 140 miliar dari 11 proyek infrastruktur. ”Belum semua masyarakat bisa terlayani, baru 50 persen terjawab karena masih digawangi 13 dokter,” ujarnya.
Sejauh ini, upaya itu perlahan membuahkan hasil. Hingga Senin pukul 11.00, tingkat keterisian tempat tidur (BOR) RS di Jabar menyentuh 79,52 persen. Persentase ini turun 0,02 persen dibandingkan sehari sebelumnya.
Jumlah itu setara 15.450 tempat tidur yang terisi dari total 19.428 unit yang tersedia. Dari jumlah tersebut, keterisian RS di Bandung Raya mencapai 3.118 unit dari total 3.794 tempat tidur atau 82,18 persen. ”Belum bisa diklaim berhasil karena kasus masih bertambah. Namun, statistiknya menunjukkan ada penurunan BOR,” ujarnya.
Baca juga : Pungli Kotori Kebaikan di Cikadut Saat Pandemi
Pemetaan kasus
Kamil tidak keliru. Klaim di awal rentan berbahaya. Penambahan kasus masih sangat mungkin terjadi sehingga antisipasi wajib disiapkan apabila Jabar tidak ingin keteteran. Pemetaan peningkatan kasus 30-60 persen oleh Kementerian Kesehatan bisa menjadi salah satu pedoman.
Dengan skenario 30 persen, diperkirakan bakal ada 79.910 kasus aktif di Jabar. Dengan begitu, dibutuhkan 15.982 tempat tidur isolasi dan 3.995 tempat tidur intensif. Pemenuhan tempat tidur isolasi masih bisa dipenuhi karena terdapat lebih dari 1.336 tempat tidur, tetapi masih kurang 2.517 tempat tidur intensif.
Baca juga : Rasio Tempat Tidur Pasien di Jabar Ditingkatkan, Penurunan BOR Belum Signifikan
Kebutuhannya lebih besar apabila terjadi kenaikan kasus hingga 60 persen. Dengan proyeksi 98.351 kasus, dibutuhkan 19.670 tempat tidur isolasi dan 4.918 tempat tidur intensif. Jika hal itu terjadi, Jabar bakal kekurangan 2.352 tempat tidur isolasi dan 3.440 tempat tidur intensif.
Kebutuhan tenaga kesehatan juga tinggi. Jika kenaikan kasus 30 persen, idealnya dibutuhkan 5.594 perawat. Untuk memenuhinya, dibutuhkan 4.862 perawat lagi. Jumlahnya bisa lebih besar apabila terjadi peningkatan 60 persen. Diperlukan 6.153 perawat baru untuk memenuhi kebutuhan ideal 6.885 orang.
Kebutuhan dokter juga bakal meningkat. Dengan kenaikan kasus sebesar 30 persen, dibutuhkan 799 dokter sehingga diperlukan 702 dokter baru. Apabila kenaikan kasus mencapai 60 persen, dibutuhkan 984 dokter, yang artinya diperlukan 886 dokter baru. Penambahan sumber daya manusia diharapkan bisa dipenuhi lewat perawat dan dokter yang sedang dan baru selesai pendidikan.
Sementara itu, pemetaan kasus yang dilakukan LaporCovid, kanal laporan warga sebagai tempat berbagi informasi kejadian terkait Covid-19, juga bisa jadi bekal. Hingga Selasa (20/7/2021), angka pasien isolasi mandiri yang meninggal terlapor 712 orang, yang 248 orang di antaranya di Jabar dan bisa terus bertambah. Oleh karena itu, perhatian pada pasien isolasi mandiri mutlak dipetakan dan terus dipantau.
Keberpihakan anggaran dan politik juga vital. Jabar menjadi bagian dari 19 provinsi yang mendapat teguran Kementerian Dalam Negeri terkait penyerapan anggaran kesehatan, salah satunya insentif tenaga kesehatan. Selain itu, gelontoran anggaran juga bisa ikut meningkatkan efektivitas pelacakan hingga penambahan tes yang ideal.
Lihat juga : Mendagri Tegur Keras 19 Provinsi karena Belum Gunakan Anggaran Covid-19
Akan tetapi, Diah Saminarsih, Penasihat Senior Urusan Jender dan Pemuda untuk Direktur Jenderal WHO, mengatakan, ketersediaan logistik saja belum menjamin perang melawan Covid-19 bakal mudah. Hingga 1,5 tahun pandemi, banyak hal dasar masih butuh perhatian. Contohnya, masih banyak warga enggan menjalani tes atau perawatan yang benar.
”Tidak mungkin dipaksa. Butuh dialog, diyakinkan agar mau sehingga logistik yang ada bisa digunakan. Pemaparan data yang benar agar publik sadar bahaya sedekat itu harus diteruskan. Semua butuh kerja sama banyak pihak dari atas sampai bawah,” katanya.
Realitas warga
Terkait penanganan isolasi mandiri, warga RW 010 Kelurahan Margasari, Kecamatan Buahbatu, Kota Bandung, beruntung punya Kiki Wahyu Komara (34). Sejak awal pandemi, Ketua RW 010 ini aktif meringankan beban warga.
Pada Sabtu (17/7/2021), misalnya, ia antre di tempat pengisian oksigen di Jalan Caringin. Bersamanya, puluhan orang mengantre membawa tabung-tabung kosong berkapasitas 1 meter kubik. ”Sekarang saya bawa tiga tabung oksigen. Ini sangat mendesak karena salah satu warga isoman (isolasi mandiri) mengabarkan saturasinya menurun,” ujarnya.
Baca juga : Karena Hidup Saat Pandemi Lebih dari Sekadar ”Cuan”
Kiki mengatakan, banyak warganya harus melalui hari yang berat selama dua bulan terakhir. Seusai Lebaran, jumlah warganya yang terpapar Covid-19 meningkat drastis. ”Sekarang warga positif sudah tidak sebanyak dulu. Dari sempat 27 rumah dengan 50 warga isoman, kini lima rumah lagi. Tetapi, kami juga harus waspada. Potensi kasus baru masih bisa muncul,” katanya.
Akan tetapi, tidak semua warga paham benar bahaya Covid-19. Ellon (42), warga Kota Sukabumi, Jabar, sudah kehabisan kata untuk membujuk pamannya agar tetap dirawat di RS setelah dinyatakan positif Covid-19.
Pamannya itu ngotot ingin pulang dari rumah sakit karena merasa ”dicovidkan” oleh rumah sakit, Senin lalu. Padahal, saat itu saturasi oksigennya hanya 70, jauh di bawah batas aman 95. Karena ada masalah kesulitan bernapas, RS menyarankan keluarga menyiapkan tabung oksigen jika pasien ingin dirawat di rumah. Namun, saran itu sepertinya tidak digubris.
”Semua ternyata berujung fatal. Sepulang dari rumah sakit, kondisinya kian berat. Sehari kemudian, Selasa, beliau meninggal dunia. Sesak napas karena tidak punya oksigen,” kata Ellon.
Hampir dua tahun hidup bersama pandemi, ragam persoalan dari hulu hingga hilir masih menyelimuti Jabar. Jika tidak kunjung diantisipasi berbasis data, ledakan kasus bakal muncul di depan mata. Cadangan tipis oksigen medis di RS Immanuel telah mengirim pesan serius.
Baca juga : Sarapan Turut Menjaga Peradaban Bandung