Semoga Kami Tidak Kena Mental...
Tak hanya demi diri sendiri, berkurangnya penularan setidaknya bisa memberi jeda bagi petugas, terutama tenaga kesehatan. Jika bekerja melampaui batas, para pejuang perang melawan Covid-19 ini juga bisa kehilangan napas.
Tenaga kesehatan semakin kewalahan di tengah lonjakan pandemi Covid-19. Terpapar Covid-19 bagaikan arisan untuk mereka, seperti tinggal menunggu giliran. Beban pekerjaan pun terbawa ke alam bawah sadar yang berdampak pada kesehatan raga dan jiwa.
Napas Nurbaeti (45), pendek-pendek. Perawat pengendali infeksi di RSUD Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, itu beberapa kali menghela napas ketika berbicara. Baru menapaki beberapa anak tangga, ia sudah merasakan keringat dingin.
Dampak keganasan virus korona masih membekas di tubuhnya setelah ia dinyatakan sembuh. ”Seharusnya masa pemulihan pasien Covid-19 minimal dua pekan. Namun, saya harus masuk kerja untuk mengurangi beban teman nakes,” katanya, Rabu (30/6/2021).
Riweuh (sibuk), pabeulit (kusut), mungkin seperti itu gambarannya. Mau tidak mau karena itu tanggung jawab kami semua.
Nurbaeti terkonfirmasi positif Covid-19 pada 9 Juni 2021, empat hari setelah anaknya terpapar. Ia tidak tahu pasti dari mana anaknya terjangkit. Namun, saat itu, ia sibuk membagi peran mengurus anak dan bekerja di rumah sakit.
Ia tidak menyembunyikan statusnya sebagai pasien Covid-19. Harapannya, pelacakan kontak erat bisa lebih mudah. Sayangnya, stigma masih menghujam ia dan keluarga. ”Kalau keluarga saya lewat, orang-orang tutup pintu dan masuk ke rumah,” ucap ibu tiga anak ini.
Itu sebabnya, ia dan anaknya yang positif memilih menjalani perawatan di RSUD Arjawinangun. Apalagi, ia merasa sesak napas, batuk berdahak, dan lemas bukan main meski sudah divaksin. Langkah itu juga demi mencegah penularan kepada keluarganya.
Baca Juga: Beban Tenaga Kesehatan di Kabupaten Cirebon Semakin Berat
Dunia seperti terbalik. Nurbaeti yang sebelumnya kerap menyiapkan ruangan isolasi bagi pasien, kini merasakan langsung kamar itu. ”Saya jadi tahu apa kekurangan ruangan yang selama ini kami desain,” ucapnya.
Delapan hari di sana, ia dinyatakan sembuh pada Kamis (17/6). Tiga hari berikutnya, Senin (21/6), ia kembali bertugas. Hatinya kian kalut ketika melihat banyak nama rekannya berwarna merah, pertanda terkonfirmasi positif Covid-19.
”Nakes yang positif sudah 72 orang. Padahal, sebelumnya hanya lima, enam, paling banyak 10 nakes yang positif di sini setiap bulan. Kena Covid-19 kayak dapat arisan, tinggal tunggu giliran,” ungkapnya, yang masih membuat laporan nakes terpapar Covid-19 hingga pukul 21.00.
Meskipun para nakes bertumbangan, termasuk seorang perawat senior yang wafat, Nurbaeti tidak gentar. Bahkan, ia mengaku lebih galak kepada rekan dan keluarganya agar menegakkan protokol kesehatan, seperti mengenakan masker hingga menghindari makan bersama.
Jamaknya nakes yang terkonfirmasi terjadi seiring lonjakan kasus Covid-19 sebulan terakhir. ”SDM (sumber daya manusia) kami kurang. Teman-teman kerja lebih keras. Imunitas mereka menurun dan mudah terpapar. Jangan sampai RS ini tutup,” tuturnya.
Baca Juga: Rumah Sakit di Jabar Semakin Kewalahan Hadapi Lonjakan Covid-19
Padahal, RS dan nakes menjadi tumpuan pasien Covid-19. Hingga awal pekan ini, tingkat keterisian ruangan isolasi di 12 RS di Cirebon, termasuk RSUD Arjawinangun, mencapai 84,7 persen dari total 574 tempat tidur. Bahkan, pasien terpaksa mengantre di instalasi gawat darurat.
Direktur RSUD Arjawinangun Bambang Sumardi mengatakan, ruangan isolasi tambahan tengah disiapkan. Namun, pihaknya terkendala nakes yang banyak terpapar. ”Kami berharap pemda bisa menganggarkan rekrutmen nakes. Kami kelimpungan karena masih banyak tunggakan klaim pasien Covid-19 belum dibayarkan,” ujarnya.
Terbawa mimpi
Kekhawatir akibat lonjakan kasus Covid-19 juga terjadi di Kota Bandung. Ina (28), petugas salah satu puskesmas di Kota Bandung, misalnya, dalam beberapa pekan terakhir tidak bisa lagi menikmati tidur nyenyak.
Beban kesibukan selama bekerja di salah satu puskesmas di Kota Bandung mengejar hingga alam mimpi. Beban kerjanya meningkat signifikan sejak awal Juni 2021. ”Kadang dalam mimpi itu saya menerima pasien positif Covid-19. Atau, pernah bermimpi mencari ruangan rumah sakit untuk pasien, tetapi tidak dapat, lalu saya terbangun,” ujarnya.
Beban kerja naik berkali-kali lipat dibandingkan bulan sebelumnya. Ina berujar, beberapa waktu lalu ia sempat mengurus 60 pasien isolasi mandiri bersama kontak eratnya. Padahal, sebelumnya pasien yang diawasi hanya berkisar 10 orang.
Komunikasi dengan para pasien isolasi pun seakan tidak terbatas. Terkadang pasien menghubunginya meskipun jam kerja sudah lewat. Para pasien terkadang memberi kesan kurang baik karena petugas dinilai tidak serius dalam bertugas.
”Riweuh (sibuk), pabeulit (kusut), mungkin seperti itu gambarannya. Mau tidak mau karena itu tanggung jawab kami semua. Nanti setelah istirahat dan kontrol pasien selesai, baru kami lanjutkan kontrol pasien isolasi mandiri. Bahkan, beberapa pasien pun menghubungi malam hari, tetapi tidak mungkin saya tolak,” ujarnya.
Baca Juga: Jumlah Tenaga Kesehatan yang Meninggal karena Covid-19 Meningkat Lagi
Tekanan yang diterima ini pun berdampak pada kesehatannya. Tidak hanya menghantui dalam mimpi, kondisi genting pun dapat berpengaruh pada kondisi fisik dan mental. Di sisi lain, ada keluarga yang tidak diperhatikan karena waktu telah habis untuk tugas.
”Saya, kalau melihat anak, suka tiba-tiba sedih karena waktu untuk mengurusnya terasa berkurang akhir-akhir ini. Teman-teman juga sudah banyak yang sakit, beberapa ada yang positif Covid-19. Semoga saja kami tidak kena mental,” ujarnya. Kena mental istilah yang mengarah pada kondisi terpuruk akibat kekalahan.
Beban kerja
Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung Ahyani Raksanagara di Bandung menuturkan, jumlah SDM Bidang Kesehatan yang terpapar Covid-19 mencapai 300 orang. Karena itu, beban kerja para petugas garda terdepan penanganan Covid-19 ini naik berkali-kali lipat.
Beban yang bertambah ini bisa dilihat dari tingginya keterisian rumah sakit di Kota Bandung yang tidak luput dari gelombang Covid-19. Hingga Selasa (29/6/2021), tingkat keterisian (bed occupancy ratio/BOR) rumah sakit di Kota Bandung mencapai 95,48 persen dari total 2.144 unit. Berarti, hanya 97 tempat tidur di Kota Bandung yang tersedia.
”Kami saat ini mengatur SDM agar bisa bekerja maksimal. Selain itu, semua diminta untuk mematuhi protokol kesehatan. Saya berharap pencegahan Covid-19 bisa dilakukan agar beban tenaga kesehatan tidak terlalu tinggi,” ujar Ahyani.
Di sisi lain, lonjakan Covid-19 terus terjadi. Data yang dihimpun Pusat Informasi Covid-19 Kota Bandung, hingga Rabu (30/6/2021) pukul 18.11, menunjukkan, sebanyak 24.613 warga Kota Bandung terkonfirmasi positif Covid-19. Dari jumlah itu, 2.834 pasien di antaranya masih isolasi dan perawatan.
Sebanyak 21.302 warga Kota Bandung telah dinyatakan sembuh dari Covid-19. Namun, 477 orang meninggal.
Baca Juga: Tenaga Kesehatan Kelelahan dan Makin Rentan Tertular Covid-19
Sementara itu, beban kerja yang bertambah juga terjadi di RSUD Majalengka. Jumlah nakes yang positif Covid-19 mencapai 58 orang, sebanyak 43 di antaranya perawat. IGD pun baru dibuka pada Rabu setelah malam sebelumnya ditutup.
”Kami tidak tahu dari mana nakes terpapar. Namun, selama ini, kami sudah menjalankan protokol kesehatan, termasuk tidak makan bersama,” kata Direktur RSUD Majalengka Erni Harleni.
Akibat puluhan nakes terpapar Covid-19, lanjutnya, beban kerja mereka bertambah. Mereka bisa berpindah dari ruang perawatan satu ke lainnya. Waktu kerja yang seharusnya berakhir sore pun tak jarang sampai malam hari. Sebanyak 39 tempat tidur nyaris penuh tiap hari.
”IGD yang seharusnya berisi 6 pasien Covid-19, sekarang bisa 18 orang. Antrean di luar bisa sampai 20 orang,” lanjutnya. Pada Selasa, tercatat kasus kematian tertinggi akibat Covid-19 di RSUD Majalengka, yakni mencapai 7 orang.
Para tenaga kesehatan pun sudah kewalahan. ”Tim pemulasaraan jenazah bahkan tidak bisa melayani permintaan dari luar rumah sakit,” ujar Erni.
Rencana menambah personel juga terkendala. Anggaran tunggakan klaim pasien Covid-19 pada Desember 2020 dan Januari-April 2021 belum dibayar pemerintah. ”Banyak banget. Enggak bisa diomongin,” ucapnya.
Penanganan terakhir
Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kabupaten Cirebon Ahmad Fariz menilai, RS merupakan penanganan terakhir melawan Covid-19. ”Upayakan RS itu the last man standing (orang terakhir yang berdiri). Kalau tidak, nanti nakesnya lumpuh,” ucapnya.
Tidak hanya upaya maksimal dari tenaga kesehatan, penerapan protokol kesehatan menjadi keniscayaan dalam menghadapi pandemi. Ahyani meminta warga tetap menerapkan protokol kesehatan maksimal. Semua ini dilakukan demi keselamatan bersama.
Baca Juga: Penambahan Kapasitas Perawatan Covid-19 Belum Mampu Imbangi Lonjakan Kasus
Harapan ini tidak hanya jadi angan belaka jika masyarakat mau mematuhi anjuran tetap membatasi mobilitas demi mengurangi potensi penularan. ”Semua saling menjaga, semua saling membantu,” ujarnya.
Baca Juga: Tenaga Kesehatan di Daerah Kewalahan dan Kelelahan
Tidak hanya demi diri sendiri, berkurangnya penularan setidaknya bisa memberi jeda bagi para petugas, terutama tenaga kesehatan. Jika bekerja melampaui batas, para pejuang perang melawan Covid-19 ini juga bisa kehilangan napas.