Jumlah Tenaga Kesehatan yang Meninggal karena Covid-19 Meningkat Lagi
Banyak tenaga kesehatan terpapar Covid-19. Meski tingkat kematian tidak setinggi sebelum penyuntikan vaksin, terjadi tren peningkatan tenaga kesehatan yang meninggal karena Covid-19 pada Juni 2021.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah lonjakan pasien dan keterbatasan ruang peratawan, rumah sakit juga menghadapi persoalan dengan banyaknya tenaga kesehatan yang terinfeksi Covid-19. Meski tingkat kematian tidak setinggi sebelum penyuntikan vaksin, terjadi tren peningkatan tenaga kesehatan yang meninggal karena Covid-19 pada bulan Juni 2021.
Data di LaporCovid-19 menunjukkan, jumlah tenaga kesehatan (nakes) yang meninggal karena Covid-19 hingga Selasa (22/6/2021) mencapai 974 orang. Sebagian besar nakes meninggal adalah dokter sebanyak 374 orang, perawat 311 orang, bidan 155 orang, disusul beragam profesi nakes lain.
Jumlah kematian nakes terbanyak terjadi pada Januari 2021 sebanyak 158 orang, disusul Desember 2020 sebanyak 141 orang, dan Februari 2021 sebanyak 78 orang. Pada bulan Maret terdapat 34 nakes meninggal dunia karena Covid-19, sedangkan yang meninggal pada April 11 orang, Mei 17 orang, dan hingga 22 Juni ada 26 orang meninggal. Data ini menunjukkan, tingkat kenaikan nakes yang menurun pada bulan April mulai kembali meningkat bulan Mei dan Juni.
Data ini sejalan dengan laporan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yang menunjukkan kematian dokter tertinggi terjadi pada Januari 2021 sebanyak 65 orang, disusul Desember 2020 sebanyak 57 orang, dan Februari 2021 sebanyak 30 orang.
Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaedi mengatakan, sejak Februari hingga 1 Juni 2021 terdapat 61 dokter yang meninggal karena Covid-19. Dari jumlah korban ini, 10 orang di antaranya memperoleh vaksin lengkap, 4 orang baru mendapat suntikan pertama, 29 orang belum vaksin, dan sisanya masih dalam proses konfirmasi.
”Ada dokter yang belum vaksin karena saat itu sedang sakit atau ada komorbid,” ujar Adib. Sekalipun tetap ada dokter yang meninggal karena Covid-19, sekalipun sudah mendapatkan vaksinasi, vaksinasi nakes dinilai membantu mengurangi angka kematian atau gejala.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mengatakan, sekalipun vaksin mengurangi gejala dan keparahan nakes yang terpapar Covid-19, upaya perlindungan tetap harus maksimal. Apalagi, saat ini kita menghadapi varian Delta yang lebih mudah dan cepat menular.
Sekalipun vaksin mengurangi gejala dan keparahan nakes yang terpapar Covid-19, perlindungan tetap harus maksimal. Apalagi, kita menghadapi varian Delta yang lebih mudah dan cepat menular.
Dia mencontohkan, penularan Covid-19 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) dari seorang pasien yang menulari tujuh perawat dan dua pasien lain. Awalnya, seorang pasien rawat di RSCM saat dites dengan antigen menunjukkan hasil negatif, tetapi hari berikutnya mengalami sesak napas. Saat diperiksa dengan reaksi berantai polimerase (PCR), hasilnya positif Covid-19. ”Dalam waktu cepat menular karena daya penularan virus ini sangat tinggi,” katanya.
Tidak akan cukup
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, memaparkan, penularan di kalangan nakes akan mempersulit upaya penambahan kapasitas layanan kesehatan. ”Strategi menambah kapasitas ruang, tempat tidur, dan alat ini akan sulit dilakukan karena kita kekurangan sumber daya nakes,” ujarnya.
Dicky mengatakan, strategi penambahan kapasitas fasilitas kesehatan saat ini sangat penting. Namun, seberapa pun dilakukan penambahan tetap tidak akan bisa mengatasi lonjakan pasien jika penularan tidak dihentikan. ”Lebih penting lagi adalah menghentikan transmisi dengan pencegahan penularan melalui pembatasan ketat,” ucapnya.
Dokter spesialis paru dari RSUD Pasar Rebo dan Harapan Bunda, Jakarta Timur, Eva Sri Diana, memaparkan, selain risiko penularan di kalangan nakes yang meningkat, penurunan sumber daya juga terjadi karena rumah sakit mengalami krisis keuangan. ”Klaim dari rumah sakit selama perawatan Covid-19, khususnya rumah sakit negeri, banyak yang belum dibayar pemerintah. Jangankan untuk membeli peralatan dan obat-obatan, untuk menggaji nakes saja banyak yang kesulitan,” ujarnya.
Eva menambahkan, sukarelawan tenaga kesehatan juga berkurang karena insentifnya tertunda-tunda pembayarannya. ”Padahal, bagi sukarelawan, insentif ini satu-satunya pendapatan karena mereka tidak punya gaji tetap. Sekarang sukarelawan banyak yang mencari pekerjaan lain dan tidak mudah merekrut lagi saat dibutuhkan seperti sekarang,” ungkapnya.