Bersama Menjaga Musim Semi Toleransi di Salatiga
Kota Salatiga dinobatkan sebagai kota paling toleran di Indonesia pada 2020 berdasarkan Indeks Kota Toleran yang dirilis Setara Institute. Keselarasan antara pemerintah, pemangku kepentingan, dan masyarakat jadi kunci.
Toleransi di Kota Salatiga, Jawa Tengah, bukan sekadar simbol, tetapi sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari warga. Meski dinamika sosial selalu ada, Pemerintah Kota Salatiga berupaya memberi ruang sekaligus menjembatani berbagai kepentingan.
Keselarasan tersebut menjadikan Kota Salatiga dinobatkan sebagai kota paling toleran di Indonesia pada 2020 berdasarkan Indeks Kota Toleran yang dirilis Setara Institute, Maret 2021. Kota sejuk di lereng Gunung Merbabu itu mendapat skor tertinggi, yakni 6,717, diikuti Singkawang (6,450) dan Manado (6,200).
Bukan kali ini predikat kota toleran melekat pada Salatiga. Pada Indeks Kota Toleran Setara Institute 2015, 2017, dan 2018, kota berpenduduk 196.082 jiwa itu juga selalu berada di tiga teratas.
Baca juga : Jalan Panjang Merawat Toleransi
Toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Salatiga berkelindan dengan pembangunan daerah, khususnya terkait sosial kependudukan. Menurut data Badan Pusat Statistik Jateng, pada 2020, Indeks Pembangunan Manusia di Kota Salatiga mencapai 83,14 atau tertinggi di Jateng. Sementara tingkat kemiskinan 4,94 persen atau terendah kedua setelah Kota Semarang.
Wali Kota Salatiga Yuliyanto, yang tengah menjalani periode kedua kepemimpinannya, mengungkapkan bagaimana ia bersama para pemangku kepentingan lain, serta warga, merawat kerukunan di kota tersebut. Ia menyebut tiga sektor prioritas dalam membangun Salatiga. Berikut petikan wawancara khusus Kompas dengan Yuliyanto di rumah dinasnya, Jumat (27/5/2021).
Bagaimana Anda melihat toleransi bisa terbangun di satu daerah?
Setiap kabupaten/kota pasti menginginkan kotanya toleran. Namun, ini juga berkait dengan kebijakan pemerintah, baik dalam regulasi, peraturan daerah, maupun peraturan wali kota. Tidak boleh ada diskriminasi, begitu juga dalam statement-statement yang diberikan. Tidak boleh hanya untuk golongan tertentu, melainkan semua harus dikelola baik.
Kemudian, setiap kelompok di masyarakat diberi ruang dan kesempatan sama, tanpa ada pembedaan. Jadi, tidak dibedakan agamanya apa, tua atau muda, laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, tokoh atau bukan, difabel atau bukan. Semua sama. Tidak boleh dianaktirikan. Itu harus dilakukan dengan aksi nyata, tak sekadar gembar-gembor.
Contohnya seperti apa?
Misalnya, sebelum terjadi gejolak (sosial), kami segera mengumpulkan warga yang memiliki aspirasi. Kami undang ke rumah dinas ini untuk diskusi. Jadi, rumah dinas ini terbuka bagi siapa pun. Buat kegiatan juga boleh, kebudayaan, keagamaan, dan lainnya, sehingga ini bukan rumah dinas seorang pejabat yang tertutup dan orang tidak boleh masuk.
Contoh lain, Lapangan Pancasila (Alun-alun) juga boleh dipakai untuk shalat Id, Paskah, Natal bersama. Semua diberi ruang.
Seberapa sering menerima warga?
Rembuk warga kami biasakan. Kami sering mengundang warga Kota Salatiga. Kami undang LSM, ormas, masyarakat, tokoh pemuda, dan lainnya. Kami persilakan sampaikan aspirasi. Mau memaki-maki saya juga boleh. Mana yang belum baik, kita perbaiki bersama-sama. Saya bilang ke mereka: mumpung panjenengan ketemu saya. Kalau di medsos malah enggak baik. Monggo disampaikan saja.
Baca juga : Pasar Pagi Salatiga, Teladan Kesadaran Hidup di Tengah Pandemi
Potensi gejolak sering muncul?
Ya sering. Contoh sederhana, pada peringatan Hari Buruh. Daripada turun ke jalan, mereka kami ajak untuk bermain bola, jalan pagi, dan makan bersama. Yang penting hidup rukun.
Kemudian saat ada demonstrasi besar-besaran, kalau tidak salah tentang omnibus law, perwakilan mereka kami undang. Lalu dituliskan saja aspirasinya. Kami tampung, untuk selanjutnya dikirim ke gubernur, kemudian dari gubernur ke pusat. Jadi, lebih elegan.
Indonesia mini
Bagaimana dengan kerukunan masyarakat Salatiga?
Untuk existing (kondisi saat ini), Kota Salatiga dihuni orang dari Sabang sampai Merauke. Dari Aceh sampai Papua, karena ada UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana). Masyarakat sudah terbiasa dengan orang asing atau yang berbeda pulau, suku, ras. Masyarakat Kota Salatiga bisa menerima perbedaan.
Jadi, tidak hanya pemerintah, tetapi masyarakatnya juga seperti itu.
Misalkan pemerintah gembar-gembor, tetapi masyarakat enggak bisa terima, ya percuma. Dua-duanya harus berjalan. Dalam membangun daerah, pemerintah juga harus melibatkan masyarakat, TNI, Polri, dan lainnya. Pada segala bidang.
Apa kebijakan Pemkot Salatiga yang pro-toleransi?
Tidak spesifik sebenarnya. Lebih ke makro. Ada dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), salah satunya bagaimana menghargai hak-hak asasi manusia, termasuk hak beragama.
Ada anggaran untuk FKUB?
Ada, dan tak hanya itu. Setiap RW juga mendapat Rp 50 juta per tahun. Ini juga bagian dari toleransi. Kenapa? Karena setelah anggaran turun, mereka berembuk. Bisa untuk mengecat masjid, perbaikan gereja, pembuatan gerbang, atau rehabilitasi gedung pertemuan kampung. Juga untuk beli kursi, tenda, dan lainnya. Jadi, tiap tahun pasti ada rembukan, ada musyawarah.
Kami juga ada insentif untuk modin atau pembaca doa di kampung-kampung. Tugasnya, biasanya saat ada warga yang meninggal, memandikan, membaca doa, dan urusan sosial kemasyarakatan lain. Juga, ada insentif untuk tokoh-tokoh agama serta pencatat nikah, untuk seluruh agama.
Tantangan tetap ada?
Relatif tidak ada. Sebab, misal ada organisasi yang melenceng atau ada yang tak membuat nyaman, masyarakat otomatis menolak sendiri secara baik-baik. Tugas pemerintah, polisi, TNI menjadi relatif ringan.
Bagaimana dengan perizinan pendirian tempat ibadah?
Sesuai dengan SKB (surat keputusan bersama dua menteri), ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Kami, pemerintah, harus mematuhi itu. Memang terkadang ada kendala, tetapi masih bisa diatasi.
Kota Salatiga jadi langganan kota paling toleran dan pada 2020 mendapat skor tertinggi, apa artinya bagi Anda?
Menjaga, memelihara ini jauh lebih sulit daripada meraih. Tentu kami harus memberi pemahaman kepada jajaran pemerintah, TNI, Polri, tokoh agama, dan masyarakat untuk merawat dan menjaga apa yang sudah baik. Agar dipertahankan. Perkara mendapat penghargaan itu sebenarnya bonus. Yang paling penting, kita tetap berbuat baik, hidup rukun, damai, dan berdampingan dengan segala macam perbedaan.
Baca juga : Dari Lereng Merbabu hingga Takhta Suci Vatikan
Program prioritas
Terkait pemerintahan, apa yang menjadi program prioritas?
3W. Wasis, wareg, waras atau pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Tiga bidang itu yang terus kami genjot selama dua periode. Alhamdulillah, akhirnya IPM kami tertinggi di Jateng dan angka kemiskinan nomor dua terendah (tahun 2020).
Ini juga berkait dengan toleransi tadi. Kalau warga ekonominya naik, otomatis akan lebih toleran. Tidak mudah dibujuk atau dihasut. Maaf, kalau orang miskin, pendidikannya rendah, kan mudah dipengaruhi hal negatif, baik aliran agama maupun ajaran sesat.
Sebaliknya, kalau kesejahteraan terpenuhi, angka kemiskinan kecil, warga tidak akan mudah terpengaruh. Kami terus berupaya menurunkan angka kemiskinan.
Salatiga sebagai kota vokasi, seperti apa?
Misalnya ada perbengkelan, lalu sekolah menjahit, tata boga, dan lainnya. Dulu kami fokus, tetapi karena sekarang SMK sudah menjadi kewenangan provinsi, anggarannya pun di provinsi. Sekarang, kami hanya hingga SMP.
Pemkot Salatiga bersinergi dengan akademisi?
Ya. Di era saya dekat sekali. Dengan rektor UKSW terus berkomunikasi. Termasuk waktu rencana memulai kuliah tatap muka. Kami sampaikan, kalau mau buka, dosen-dosen agar didata untuk divaksin. Jadi agar clear dulu, semua divaksin baru buka tatap muka, tetapi harus dengan protokol kesehatan. Juga dengan IAIN Salatiga dan lainnya. Begitu juga sekolah-sekolah, kami selesaikan dulu vaksin untuk guru-guru.
Baca juga : Dekadensi Toleransi Beragama Indonesia di Mata Dunia
Terkait ekonomi Kota Salatiga, apa yang didorong?
Usaha kecil dan menengah (UKM). Ada program pemberdayaan 1.000 UKM. Sekarang bahkan sudah menjadi 6.000 lebih, dengan total jumlah penduduk yang hanya 196.000 jiwa. Jadi, minat untuk berusaha di bidang UKM sangat besar sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Salah satu upaya dengan dipromosikan lewat Instagram saya.
Bagaimana dengan pelayanan kesehatan?
Warga Salatiga, dengan syarat KTP Salatiga, mendapat pelayanan gratis, tanpa terkecuali, tetapi hanya sampai pelayanan kelas 3. Jadi, tidak bisa naik kelas. Misalkan naik kelas dan kekurangannya mau dibayar sendiri, tetap tidak bisa. Harus tetap di kelas 3. Ini bagian dari pelayanan.