Dekadensi Toleransi Beragama Indonesia di Mata Dunia
Toleransi di Indonesia masih tergolong rendah jika mengacu indeks toleransi dunia. Salah satu indikator yang menjadi pekerjaan rumah adalah bahwa toleransi juga menjadi ukuran pelaksanaan demokrasi di sebuah negara.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Berdasarkan laporan Kementerian Agama, tingkat toleransi di Indonesia cenderung mengalami penurunan selama beberapa tahun terakhir. Setali tiga uang, berbagai lembaga internasional juga melihat tren yang serupa terjadi di Indonesia. Di mata dunia, kegagalan pemerintah menjamin kesetaraan antar-umat beragama dianggap menjadi ganjalan terbesar soal toleransi.
Untuk mengukur tingkat toleransi Indonesia, Kemenag mengeluarkan sebuah indeks bernama Kerukunan Umat Beragama (KUB). Menggunakan tiga indikator, yakni toleransi, kesetaraan, dan kerja sama, indikator ini digunakan sebagai acuan pemerintah untuk menilai seberapa toleran masyarakat dalam hal beragama.
Ujungnya, tingkat kerukunan antar-umat beragama akan diukur dengan skala 0-100 poin di mana skor 0-20 menunjukkan kerukunan yang sangat rendah dan skor 80-100 menggambarkan tingkat kerukunan yang sangat tinggi.
Berdasarkan laporan indeks KUB, tampak tingkat toleransi antar-umat beragama di Indonesia semakin meningkat. Pertama kali dikeluarkan oleh Kemenag pada 2015, indeks KUB berada di angka 75,35 dari skala 0-100.
Capaian ini sedikit mengalami peningkatan menjadi 75,47 di tahun berikutnya. Meski pada 2019 capaian Indonesia telah sedikit mengalami perbaikan di 73,83 poin, angka indeks KUB sempat anjlok hingga di kisaran 70 poin pada 2018.
Tangkapan lembaga internasional
Dekadensi kerukunan umat beragama di Indonesia juga terekam dalam hasil studi dari berbagai lembaga internasional. Salah satu yang turut menyoroti tingkat toleransi di Indonesia ialah PEW Research melalui studinya yang bertajuk Annual Study of Restrictions on Religion.
Secara singkat, studi yang dilakukan dalam rentang tahun 2007 hingga 2018 ini mencoba mengukur seberapa bebas masyarakat di 198 negara dan wilayah di dunia untuk menganut agamanya.
Dalam studi ini, PEW menggunakan dua indeks, yakni indeks social hostility (SHI) dan indeks government restriction (GRI). Di satu sisi, GRI digunakan untuk melihat seberapa banyak restriksi yang diberikan oleh pemerintah bagi warganya untuk beragama di sebuah negara. Sedangkan di sisi lain, SHI digunakan untuk melihat segala bentuk gesekan yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan keberagamaan.
Utamanya, SHI digunakan untuk melihat bagaimana penganut agama minoritas bisa hidup berdampingan dengan mereka yang menganut agama mayoritas. Baik dalam indikator SHI maupun GRI, semakin besar angkanya berarti semakin besar hambatan dalam beragama atau semakin intoleran negara tersebut.
Sayangnya, dalam kedua indeks ini, Indonesia berada di tingkat yang cukup mengkhawatirkan. Dengan skor GRI 7,7 dan SHI sebesar 6,7 pada 2018, Indonesia menjadi salah satu negara dengan restriksi beragama yang tinggi di dunia. Bahkan, capaian tersebut jauh tertinggal dengan skor median global GRI di angka 2,9 dan SHI di angka 2.
Berdasarkan kategorisasi PEW, tingkat restriksi beragama di Indonesia termasuk ke golongan sangat tinggi. Bahkan, jika dibandingkan dengan 25 negara dengan penduduk terbanyak di dunia, skor GRI dan SHI Indonesia berada di urutan ketiga di bawah India dan Mesir.
Tingginya angka SHI di Indonesia tidaklah mengagetkan, mengingat masih kerap terjadi kasus diskriminasi oleh golongan masyarakat minoritas. Bahkan, di tengah guncangan pandemi sepanjang 2020 hingga 2021, masih saja ditemukan kasus diskriminasi terhadap mereka. Salah satu contohnya ialah kasus siswi penganut agama minoritas yang dipaksa untuk mengenakan jilbab di sebuah sekolah di Sumatera Barat.
Pemerintah belum toleran
Setelah diurutkan, capaian GRI Indonesia menduduki peringkat ketujuh tertinggi di dunia. Skor Indonesia sedikit lebih baik daripada Tajikistan dan Turkmenistan yang memiliki skor 7,9 serta sedikit lebih buruk dari Vietnam dan Uzbekistan dengan skor di angka 7,5. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan intoleransi juga masih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang gagal menjamin kesetaran hak beragama.
Contoh nyata dari ketidakmampuan pemerintah tersebut ialah adanya aturan pemerintah yang diskriminatif. Dalam hal pembangunan rumah ibadah saja, misalnya, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 menghadirkan segudang persyaratan administratif.
Beberapa persyaratan ini ialah daftar KTP umat pengguna tempat ibadah, dukungan masyarakat setempat setidaknya 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa, dan rekomendasi dari kantor departemen agama kabupaten/kota serta Forum Kerukunan Umat Beragama kabupaten/kota.
Bagi para penganut agama mayoritas, tentu hal ini tidak menjadi persoalan. Namun, bagi agama minoritas, syarat administratif ini bisa jadi terlampau sulit untuk dipenuhi. Misalnya, persyaratan rekomendasi dari FKUB di tingkat daerah. Berdasarkan peraturan menteri yang sama, anggota FKUB dipilih oleh pemerintah daerah dan disesuaikan dengan proporsi penganut agama di daerahnya.
Maka, semisal di Jakarta Barat terdapat sekitar 84 persen penduduk Muslim, 84 persen atau setidaknya 17 dari 21 anggota FKUB di Jakarta Barat terdiri atas umat Islam. Artinya, sangat sulit bagi penganut agama minoritas untuk dapat menerima surat rekomendasi pembangunan rumah ibadah.
Diskriminasi tak hanya dirasakan di tingkat komunitas, tetapi juga di tingkat individu. Salah satu hal yang juga disoroti oleh laporan DOS AS ialah maraknya kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas dalam payung hukum yang mengatur soal penodaan agama.
Alih-alih digunakan untuk melindungi penganut agama minoritas dari golongan fundamentalis, aturan ini justru menjerat penganut agama minoritas yang ingin menyuarakan haknya di ruang publik.
Salah satu contoh yang diangkat oleh DOS ialah kasus seorang warga di Sumatera Utara yang dipenjara karena meminta agar masjid di lingkungan tempat ia tinggal mengecilkan pengeras suaranya. Selain itu, peristiwa lain yang juga disorot oleh DOS ialah kasus penembakan seorang pastor di Papua yang dilakukan oleh oknum TNI.
Tak hanya penting untuk merawat bangsa, perkara toleransi juga dipandang serius di panggung global. Berdasarkan hasil studi dari PEW, dari 26 negara dengan tingkat GRI yang tinggi, 65 persen atau 17 negara di antaranya termasuk dalam kategori otoritarian jika dilihat dari Indeks Demokrasinya.
Sementara itu, Indonesia, Malaysia, dan Singapura yang juga ada di dalam 26 negara tersebut masuk ke dalam kategori negara dengan demokrasi yang cacat (flawed democracy).
Artinya, di mata dunia, persoalan intoleransi beragama bukan hanya soal kerukunan dan kebebasan warganya dalam beragama. Namun, toleransi juga dilihat menjadi salah satu indikator akan seberapa demokratis atau otoriter sebuah negara.
Apabila masyarakat dan pemerintah sebuah negara toleran terhadap sesamanya, hampir dapat dipastikan bahwa demokrasi di negara itu pun ikut mengalami perbaikan. Maka, jangan heran dengan predikat ”demokrasi cacat” masih disematkan di Indonesia jika persoalan toleransi belum juga selesai. Semoga saja ini tak terjadi di kemudian hari. (LITBANG KOMPAS)