Pandemi, Korupsi di Sumut Pun Ikut Beradaptasi
Pandemi korupsi di Sumut seakan tak mengenal situasi apa pun, termasuk pandemi Covid-19 yang telah meluluhlantakkan kehidupan masyarakatnya. Setelah alat tes usap antigen bekas yang dipakai ulang, vaksin pun digelapkan.
Korupsi seakan tidak mengenal keadaan, termasuk saat pandemi Covid-19, yang telah meluluhlantakkan kehidupan masyarakat. Di Sumatera Utara, berbagai perangkat penanganan Covid-19 pun turut dikorupsi. Seperti virus, korupsi pun menyesuaikan diri dengan situasi.
Dengan kepala tertunduk, empat tersangka kasus korupsi penggelapan dan penjualan vaksin Covid-19 digiring petugas di Markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Jumat (21/5/2021). Keempatnya mengenakan baju tahanan merah, dengan tangan diborgol.
Empat tersangka itu ditangkap setelah menggelapkan vaksin Covid-19 yang seharusnya untuk pekerja publik. Demi uang Rp 271 juta, mereka mengalihkan vaksin ke warga di perumahan mewah, tidak hanya di Medan, bahkan sampai Jakarta.
Polisi menyelidiki kasus itu setelah mendapat informasi tentang adanya jual-beli vaksin Covid-19 merek Sinovac yang seharusnya gratis. Polda Sumut pun menemukan vaksinasi ilegal di sebuah hunian mewah Jati Residence di Jalan Perintis Kemerdekaan, Medan, Selasa (18/5/2021).
Kasus itu semakin terang ketika peserta vaksinasi mengaku membayar Rp 250.000 per orang untuk dua dosis vaksin kepada seorang perempuan agen properti berinisial SW (40). Polisi bergerak cepat menelusuri aliran dana tersebut.
Baca juga : Vaksin yang Digelapkan Staf Dinkes Sumut Dijual hingga Jakarta
Dari SW, uang itu diberikan kepada seorang dokter di Dinas Kesehatan Sumut, KS (47), dan dokter di Rumah Tahanan Kelas I Medan Tanjung Gusta, IW (45).
Polisi pun menggeledah Kantor Dinas Kesehatan Sumut dan memeriksa pejabatnya. Penggelapan itu diduga melibatkan Kepala Seksi Surveilans dan Imunisasi Dinas Kesehatan Sumut berinisial SH. Pejabat eselon III yang bertugas memastikan vaksin diberikan kepada kelompok yang tepat itu ikut dalam penyelewengan.
SH mengeluarkan vaksin meskipun permohonannya hanya diajukan secara lisan. Padahal, permohonan vaksin harus diajukan secara tertulis.
”Kami tidak main-main dalam mengusut kasus korupsi yang dilakukan dalam penanganan pandemi Covid-19. Ini sangat melukai hati masyarakat yang sedang berjuang melawan pandemi Covid-19,” kata Kepala Polda Sumut Inspektur Jenderal RZ Panca Putra Simanjuntak saat memaparkan kasus itu, Jumat (21/5/2021).
Keempat tersangka itu telah menggelapkan dan menjual vaksin sejak April. Peserta program vaksinasi yang mereka selenggarakan mencapai 1.080 orang.
”Dari setiap Rp 250.000 yang mereka terima, SW mendapat komisi Rp 30.000. Sisanya diberikan secara tunai atau transfer kepada tiga tersangka lain. Kami kenakan mereka pasal suap,” kata Panca.
Keempat orang itu, yakni SW, KS, IW, dan SH, telah ditetapkan menjadi tersangka korupsi kasus suap. ”Kami masih terus menyelidiki kasus ini. Siapa pun yang terlibat akan kami proses hukum,” tambah Panca.
Kasus penggelapan vaksin Covid-19 tentu sangat mengecewakan masyarakat Sumut. Penggelapan vaksin dilakukan di tengah kasus Covid-19 yang terus meningkat, dampak ekonomi yang semakin dalam, pembatasan mobilitas warga, dan pengorbanan masyarakat yang sudah dua tahun tidak mudik Lebaran.
Baca juga : Lima Pegawai Kimia Farma Jadi Tersangka
Tes antigen bekas
Tiga pekan sebelumnya, Kamis (29/4/2021), penggunaan alat tes usap antigen bekas di Laboratorium Kimia Farma Bandara Kualanamu juga terungkap. Polda Sumut menetapkan lima pegawai badan usaha milik negara itu sebagai tersangka.
Penggunaan alat tes usap bekas ini sudah dilakukan sejak Desember 2020 atau sudah berlangsung sekitar lima bulan. Ribuan orang diduga sudah menjadi korban.
Ada sekitar 200 orang per hari yang melakukan tes di laboratorium itu dan membayar Rp 200.000 per orang. Polisi memperkirakan pelaku mendapat Rp 1,8 miliar dari penyimpangan itu.
Kami tidak main-main dalam mengusut kasus korupsi yang dilakukan dalam penanganan pandemi Covid-19. (RZ Panca Putra Simanjuntak)
Kejahatan dilakukan sangat terorganisasi dengan otak pelaku Manajer Bisnis Laboratorium Kimia Farma Jalan RA Kartini Medan berinisial PM (45). Ia melakukan aksinya dengan melibatkan pegawai lainnya, yakni pegawai administrasi pendaftaran M (30), pegawai administrasi hasil R (21), pegawai kebersihan DJ (20), dan kurir SR (19).
Mereka mengumpulkan limbah stik usap pengambil sampel yang telah digunakan. Komplotan itu lalu mencucinya dengan menggunakan alkohol. Stik dikemas dan digunakan kembali untuk mengambil sampel. Semua yang mereka periksa dengan alat tes bekas pakai dimanipulasi hasilnya menjadi negatif.
Dari hasil kejahatan itu, PM pun diketahui membangun rumah mewah di Sumatera Selatan. Menteri BUMN Erick Thohir telah memberhentikan semua direksi PT Kimia Farma Diagnostik karena dianggap tidak menjalankan fungsi pengawasan.
Pada Selasa (25/5/2021), polisi juga menggeledah laboratorium layanan tanpa turun atau drive thru di Lapangan Merdeka Medan. Penggeledahan berkaitan dengan protokol pengelolaan limbah laboratorium.
”Ini masih dalam proses penyelidikan. Ada dugaan pelanggaran dalam penanganan Covid-19. Nanti kami berikan keterangan lebih lanjut,” kata Kepala Unit Tindak Pidana Khusus Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Besar Medan Ajun Komisaris Aryya Nusa Hindrawan.
Baca juga : Laboratorium ”Drive Thru” Covid-19 di Sumut Digeledah Polisi
Evaluasi menyeluruh
Ahli epidemiologi Dicky Budiman mengatakan, pemerintah seharusnya melakukan audit secara menyeluruh tentang penanganan Covid-19 setelah munculmya dua kasus penyelewengan di Sumut yang diungkap polisi. ”Dua kasus ini menurunkan kepercayaan publik. Ini menggambarkan ada pengawasan yang bolong di internal birokrasi,” kata Dicky.
Penyelewengan justru terjadi pada tahapan yang sangat penting dalam menangani pandemi, yakni tes untuk pelaku perjalanan dan vaksinasi untuk pekerja publik.
Pemakaian ulang alat tes antigen bekas, misalnya, banyak pelaku perjalanan yang kemungkinan positif Covid-19 tetapi masih bisa bepergian. Adapun vaksinasi terhadap pekerja publik juga pasti menjadi melambat karena banyak yang dialihkan.
Pemerintah harus melakukan evaluasi mengapa ini bisa terjadi. (Dicky Budiman)
Penyelewengan itu akan sangat memengaruhi penanganan Covid-19 tidak hanya di Sumut, tetapi juga secara nasional.
”Pemerintah harus melakukan evaluasi mengapa ini bisa terjadi. Harus ada perbaikan sistem secara menyeluruh dan hasil evaluasi juga seharusnya diumumkan untuk meningkatkan kembali kepercayaan publik kepada pemerintah,” kata Dicky.
Salah satu kendala penanganan Covid-19, lanjut Dicky, adalah minimnya kepercayaan publik. Banyak persoalan yang berakar dari ketidakpercayaan publik yang tecermin dari warga yang tidak memakai masker, tidak mau divaksin, tidak mengindahkan larangan mudik, serta tempat usaha tidak mematuhi protokol kesehatan.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia Cabang Medan Wijaya Juwarna mengatakan, pihaknya sangat menyesalkan adanya dua dokter yang terlibat dalam penyelewengan vaksin Covid-19. Pihaknya mendukung proses hukum terhadap dokter itu. ”Siapa pun yang melanggar hukum harus diproses,” katanya.
Namun, Wijaya mengatakan, pihaknya tidak bisa menjatuhkan sanksi etik kepada dua dokter itu karena kejahatan yang dilakukan di luar ranah profesi kedokteran.
Sementara Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi menyatakan akan memecat semua pegawai Dinas Kesehatan yang terlibat dalam penggelapan vaksin Covid-19 itu. ”Pecat. Pasti pecat. Itu vaksin diberikan agar orang tidak terkena Covid-19 malah diperlakukan seperti itu,” katanya.
Edy pun mengingatkan semua anggota Tim Satgas Covid-19 Sumut ataupun pihak-pihak lain yang ikut dalam program penanganan untuk tidak menyelewengkan program-program penanganan Covid-19.
Apalagi kasus positif Covid-19 di Sumut terus meningkat. Per Minggu (23/5/2021), kasus positif mencapai 31.276 kasus. Sebanyak 27.851 di antaranya telah sembuh dan 1.026 meninggal. Kasus positif baru meningkat dari rata-rata 40 kasus per hari menjadi 80 kasus per hari dalam sebulan ini.
Selain dampak kesehatan, dampak sosial ekonomi Covid-19 di Sumut pun semakin dalam. Menurut data Badan Pusat Statistik Sumut, terdapat 694.000 orang (6,44 persen penduduk usia kerja) yang terdampak Covid-19 di Sumut. Mereka terdiri dari pengangguran, bukan angkatan kerja karena Covid-19, tidak bekerja karena Covid-19, dan mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19.
Dampak sosialnya pun sangat terasa di Kota Medan. Badut dan ”manusia silver” yang sebelumnya tidak pernah ada di Medan kini dijumpai hampir di semua persimpangan jalan di Medan. Pengemis, pemulung, dan gelandangan juga semakin banyak. Mereka adalah pekerja yang menganggur atau anak-anak yang tidak sekolah selama pandemi.
Di tengah dampak kesehatan, sosial, dan ekonomi yang begitu dalam, korupsi di Sumut tetap tumbuh subur. Kasus itu semakin menambah panjang korupsi di Sumut yang dimulai dari pemimpinnya.
Dua bekas gubernur Sumut yang dipilih langsung oleh rakyat, yakni Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho, diproses hukum karena korupsi. Tiga bekas wali kota Medan, yakni Abdillah, Rahudman Harahap, dan Dzumli Eldin, serta seorang bekas wakil wali kota Ramli juga terjerat kasus korupsi.
Selain itu, sebanyak 64 anggota DPRD Sumut ditangkap karena uang ketuk palu dalam kasus korupsi Gatot. Korupsi juga merambat ke daerah. Terakhir, kasus Wali Kota Tanjung Balai M Syahrial yang menyuap petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar kasusnya tidak berlanjut.
Di tengah pandemi Covid-19, korupsi di Sumut pun ikut beradaptasi.
Baca juga : Badut-badut Anak Kandung Pandemi Covid-19