Berharap Nestapa Banjir Bandang Tak Terulang di Sungai Leu
Tidak ada yang menyangka banjir bandang di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Jumat (2/4/2021) malam, itu berdampak begitu dahsyat.
Sebagian warga desa di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, telah beberapa kali mengalami banjir bandang. Namun, tak ada yang menyangka kejadian pada Jumat (2/4/2021) malam lalu itu berdampak begitu dahsyat dan parah.
Puluhan desa di sejumlah kecamatan terdampak banjir bandang yang meluncur dari kawasan bukit gundul. Air bersama material lumpur dan batu menghantam rumah-rumah di sempadan sungai, menjebol dinding, serta menghanyutkan perabotan dan harta benda warga.
”Saya lelah. Sudah dua hari, tetapi yang harus dibersihkan tak kunjung habis,” kata Timun Asmadi (56), warga Desa Rasabou, Kecamatan Bolu, Kabupaten Bima, Selasa (6/4/2021) pagi. Meski telah berhasil mengeruk lumpur setebal 30 sentimeter di dalam rumah, pekerjaan Timun bersama keluarganya belum selesai.
Kondisi itu juga tidak lepas dari kondisi bukit-bukit yang sudah gundul dan digantikan perkebunan jagung.
Baca juga : Puluhan Ribu Jiwa Terdampak Banjir Bandang di Kabupaten Bima
Halaman rumah di desa yang berada 22 kilometer barat laut Woha, ibu kota Kabupaten Bima, itu masih berantakan. Setiap melihat halaman itu, Timun menahan sedih atas kedahsyatan banjir bandang yang menghantam kampungnya.
Tidak hanya lumpur yang tebal, berbagai perabotan rumah belum kering, seperti sofa, meja, dan mesin cuci yang diletakkan di sembarang tempat. ”Di sana, tempat penggilingan padi kami juga hanya bisa dibersihkan. Mesinnya belum bisa diapa-apakan,” kata Timun seraya menunjuk ke sebelah timur rumahnya.
Di tempat yang dimaksud terlihat fondasi bangunan berukuran 7,5 meter x 14 meter. Dinding-dindingnya terbawa banjir bandang dan yang tersisa roboh. Hanya terlihat dua mesin penggiling yang dicor menempel di lantai. Tampak pula tangga dan panggung kayu yang digunakan untuk memasukkan padi ke penggilingan.
Baca juga : Bibit Siklon Tropis Pemicu Banjir dan Longsor di Flores Timur Menguat
”Ada mesin penggiling jagung juga, tetapi sudah lepas. Untung bisa kami selamatkan. Kami tidak yakin mesin-mesin itu bisa dipakai lagi,” kata Timun yang saat banjir berhasil menyelamatkan berkas-berkas penting miliknya.
Penggilingan padi merupakan sumber pendapatan utama keluarga mereka dan hanya mesin rusak yang tersisa di tempat itu. Beras 1 ton, dedak 10 ton, hingga gabah 500 kilogram lenyap tersapu banjir bandang.
”Ayam potong kami juga bernasib sama. Dari 1.000 ekor yang harusnya panen minggu ini, hanya 100 ekor yang bisa diselamatkan,” kata Asmadi Haeri (59), suami Timun.
Tidak hanya penggilingan dan kandang ayam, rumah milik anak mereka yang baru selesai dibangun juga rusak. Dua dinding bagian depannya jebol. ”Kami benar-benar tak menyangka dampaknya bisa seperti ini,” kata Asmadi. Rumah itu dibangun kurang dari 5 meter dari bibir sungai.
Baca juga : Pulau Adonara Porak Poranda
Sekitar 5,4 kilometer dari rumah Asmadi, warga Desa Leu, Kecamatan Bolo, juga tidak pernah berpikir harus mengungsi karena rumah mereka rusak oleh banjir bandang.
Rumah panggung Dedi Abdullah, misalnya, tidak bisa ditempati karena roboh. Hingga Selasa pagi, rumah beratap seng itu belum disentuh. Barang-barang yang tersisa dikeluarkan. Tempat tidur basah yang tidak turut hanyut menjuntai ke luar.
”Tiga keluarga yang tinggal di sana saat ini mengungsi ke salah satu sekolah di sini. Harus mengungsi karena masing-masing keluarga punya bayi yang belum lama lahir,” kata Dedi.
Sebagian besar rumah yang berdekatan dengan rumah Dedi rusak berat. Ada yang hanya jebol di berbagai sisi, hingga hanya tinggal fondasi. Dibandingkan rumah-rumah lain di desa berpenduduk sekitar 3.000 jiwa itu, rumah mereka paling parah karena berada di sempadan Sungai Leu.
Baca juga : Korban Banjir Bandang di Flores Timur Rentan Sakit
”Saat kejadian Jumat malam, saya hanya mengunci pintu. Yakin bahwa paling hanya basah. Ternyata hantaman banjir bandang begitu kuat. Minggu pagi, saat kembali, rumah saya jebol,” kata Ahmad Jufri (35).
Rumah Jufri termasuk rusak berat sehingga tidak mungkin ditempati lagi. Hal itu juga membuat Jufri belum membersihkannya. Selain itu, barang-barang, mulai dari pakaian hingga tempat tidur, ikut hanyut.
Tanggap darurat
Desa Rasabou dan Leu adalah dua dari 47 desa di enam kecamatan terdampak banjir bandang paling parah di Kabupaten Bima, yaitu Bolo, Woha, Madapangga, Monta, Belo, dan Palibelo.
Selain banjir bandang, pada hari yang sama juga terjadi longsor dan banjir rob di dua kecamatan lain, yakni Parado dan Wera.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, hingga Senin (5/4/2021) pukul 12.00 Wita, korban terdampak sebanyak 9.415 keluarga atau 28.208 jiwa. Bencana itu juga mengakibatkan dua warga meninggal dan 5.355 rumah rusak, yang terdiri dari 383 rusak berat, 2.199 rusak sedang, dan 2.773 rusak ringan.
Baca juga : Bima Tetapkan Tanggap Darurat Selama Satu Bulan
Kerusakan juga terjadi pada 49 fasilitas pendidikan, 29 fasilitas kesehatan, 25 fasilitas peribadatan, 4 jembatan, 29 kantor, juga 441,5 hektar lahan pertanian dan 1.112,5 hektar tambak.
Sebelumnya, Kepala BPBD Kabupaten Bima Aries Munandar mengatakan, tanggap darurat bencana akan dilakukan satu bulan penuh. Kebutuhan primer, seperti makanan dan minuman, akan dicukupi. Selain itu, akan dilakukan pembersihan lokasi bencana dan pemeriksaan kesehatan para penyintas.
Menurut Jufri, sejak Kamis hingga Jumat, hujan deras mengguyur Kabupaten Bima. Pada Jumat sekitar pukul 10.00 Wita, sungai yang berada di selatan Desa Leu itu penuh dan berarus deras.
Sejam kemudian, air masuk ke jalan desa, lalu mulai masuk ke rumah warga di sempadan, termasuk rumah Jufri, sekitar pukul 12.00. Puncaknya pada pukul 13.00 Wita hingga 14.00 Wita, saat ketinggian air mencapai 3 meter lebih. Kondisi itu berlangsung hingga pukul 22.00 Wita.
”Kami benar-benar panik. Saya bahkan sampai menangis, apalagi harus mengevakuasi anak dan istri. Anak yang paling kecil sedang sakit. Ia demam dan muntah-muntah terus,” tutur Jufri.
Baca juga : Siklon Seroja Menjauh, Hujan Ekstrem Masih Bisa Terjadi
Kepala Desa Leu Muhammad Taufik mengatakan, bencana kali ini merupakan kejadian paling parah dibandingkan banjir-banjir sebelumnya. Sebelumnya, banjir melanda Leu pada 2007 dan 2014 dengan beberapa rukun tetangga terdampak. Saat ini, dari 12 RT di Leu, 11 RT terdampak banjir.
”Tidak hanya area terdampak. Ketinggian air dan kerugian juga lebih banyak. Juga sekarang satu warga kami meninggal,” kata Taufik.
Hal serupa juga disampaikan Yusuf Haji Wahid (60), warga yang sudah tinggal lebih dari 20 tahun di Leu. Menurut dia, banjir bandang kali ini parah karena besarnya kiriman air dari desa-desa di atas Leu.
Yusuf menduga, kondisi itu juga tidak lepas dari kondisi bukit-bukit yang sudah gundul dan digantikan perkebunan jagung. Hal itu membuat resapan air berkurang. ”Kalau itu tidak ditangani, banjir akan terus terjadi,” kata Yusuf yang berharap ada relokasi bagi warga Leu yang tinggal di sempadan sungai.
Jufri juga berharap demikian. Jika tidak direlokasi, paling tidak ia bisa dibangunkan kembali rumah. Sementara Timun berharap dibantu dengan mesin penggilingan padi yang baru, sumber ekonomi utama keluarganya.