Impor Belum Masuk, Petani Magelang Sudah Dipusingkan Hama dan Harga
Rencana impor beras makin membebani petani di Kabupaten yang saat ini sudah menghadapi beragam masalah. Selain rendahnya harga gabah, petani dihadapkan pada serangan hama tikus dan wereng.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Rencana impor beras pemerintah pusat bakal kian memukul petani. Saat ini, selain rendahnya harga gabah di pasaran, petani di wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, telah dihadapkan pada serangan hama yang berpotensi menurunkan produksi beras.
Eko Sungkono, kepala Desa Mertoyudan, Kecamatan Mertoyudan, mengatakan, rencana impor beras membuat gelisah petani yang saat ini sedang menghadapi beragam masalah di tengah musim panen. ”Kami pasti terdampak impor beras beras karena saat ini panen padi di desa belum selesai,” ujarnya, Minggu (21/3/2021).
Luas areal tanaman padi di Desa Mertoyudan mencapai sekitar 1.500 hektar. Dari areal tersebut, saat ini baru sekitar 70 persen tanaman padi yang selesai dipanen. Saat ini, petani kecewa karena gabah kering panen (GKP) turun dari sebelumnya berkisar Rp 4.200-Rp 4.300 per kilogram (kg), menjadi Rp 3.800-Rp 4.000 per kg. Penurunan harga gabah dipastikan berlanjut jika rencana impor terealisasi.
Petani di Kabupaten Magelang saat ini juga dihadapkan serangan hama tikus dan wereng yang memicu penurunan produksi gabah. Akibat serangan dua jenis hama tersebut, produktivitas lahan yang biasanya berkisar 6-7 ton gabah kering panen (GKP), merosot menjadi 4-5 ton per hektar. Sebagian petani bahkan ada yang hanya mendapatkan 3 ton per hektar.
Serangan hama biasanya marak terjadi saat kondisi cuaca ekstrem seperti belakangan terjadi. Sering kali, hujan turun bergantian dengan cuaca panas terik. Kondisi ini menyebabkan lahan menjadi lembab dan merangsang datangnya hama.
Kecemasan serupa akan rencana impor beras juga dirasakan Widodo (55), petani di Desa Bumirejo, Kecamatan Mertoyudan. Beras impor yang biasanya dijual dengan harga lebih murah daripada produk lokal, akan dijadikan alasan pengepul menurunkan harga pembelian gabah dan beras dari petani.
”Kami juga tidak bisa melakukan apa-apa karena kami dan sebagian besar petani di Desa Bumirejo masih sangat bergantung pada tengkulak (pengepul gabah dan beras),” ujarnya.
Kepada tengkulak atau pengepul tersebut, kebanyakan petani di Desa Bumirejo menjual padinya dengan sistem tebasan. Dalam sistem ini, tanaman padi siap panen langsung dijual kepada pengepul yang selanjutnya menanggung seluruh biaya panen.
Dengan sistem tebasan, tanaman padi siap panen dihargai sangat murah, dari sebelumnya berkisar Rp 1,6 juta-Rp 1,7 juta per 1.000 meter persegi, menjadi Rp 600.000 per 1.000 meter persegi.
Darto (50), salah seorang petani di Desa Tanjungsari, Kecamatan Borobudur, mengatakan, meskipun petani di desanya belum menjual hasil panen gabah atau beras, rencana impor beras tersebut tetap membuat mereka cemas.
”Jika rencana tersebut direalisasikan, kami khawatir dampak impor beras akan berlangsung berkepanjangan dan merusak harga beras petani di bulan-bulan mendatang,” ujarnya.
Saat ini, Desa Tanjungsari sudah memasuki musim panen padi. Darto mengatakan, panen padi dari satu hektar lahannya akan rampung April mendatang. Dari satu satu hektar lahan, dia bisa mendapatkan 30 karung gabah, dengan berat per karung 40-50 kg. Sebanyak 10 karung akan disimpan untuk kebutuhan sendiri, sedangkan 20 karung akan disimpan untuk dijual pada September mendatang.