Usaha Kuliner, Inovasi Penjaga Asa Gelora Wisata Banyuwangi
Di masa yang masih serba terbatas ini, fokus menggarap bisnis kuliner menjadi salah satu upaya untuk tetap menjaga nyala usaha wisata dan perhotelan.
Pandemi yang sudah bergulir selama satu tahun masih juga belum menemukan pangkal akhir ceritanya. Hotel dan destinasi wisata masih sepi dari pengunjung. Vaksinasi dan aneka stimulus untuk membangkitkan pariwisata belum mampu mengembalikan geliat wisata seperti sebelum pandemi.
Di masa yang masih serba terbatas ini, bisnis kuliner menjadi salah satu upaya untuk bertahan. Bagi pengelola wisata dan hotel, bisnis kuliner tak ubahnya seperti benteng pertahanan terakhir.
Taman Gandrung Terakota contohnya. Destinasi wisata yang berada di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut itu menyuguhkan suasana sejuk pegunungan dan asri pedesaan di tengah hamparan sawah. Di sana, ratusan ”penari gandrung” yang terbuat dari tembikar meliukkan tubuhnya dalam keheningan.
”Sebelum pandemi kami bisa menerima 150 tamu per hari di tengah pekan, dan bisa mencapai 300 orang per hari saat akhir pekan. Namun, saat pendemi, bisa mencapai 50 tamu pada tengah pekan itu sudah luar biasa. Sementara saat akhir pekan, pengunjung tertinggi berjumlah 80 orang,” tutur Manager Operasional Taman Gandrung Terakota Muhammad Muttaqin, Senin (8/3/2021).
Baca juga: Nasib Pariwisata Banyuwangi di Tengah Pandemi
Kendati Banyuwangi sudah menerapkan Konsep Pariwisata New Normal dengan protokol kesehatan yang ketat, geliat pariwisata belum selincah sebelum pandemi. Selain masih ada kekhawatiran, pariwisata bukan kebutuhan pokok masyarakat di tengah pandemi.
Dalam situasi yang tidak mudah ini pengelola Taman Gandrung Terakota berinovasi dengan mengubah konsep Café Roemah Tjoklat menjadi Kedai Sate Gete. Ini dilakukan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan sekaligus menjaga perputaran uang guna membiayai operasionalisasi.
Roemah Tjoklat awalnya ditata sebagai tempat bersantai sembari menikmati aneka olahan cokelat, minuman cokelat hangat, kopi ataupun teh. Setelah berubah menjadi Kedai Sate Gete, sudah tidak ada lagi kursi-kursi pendek. Semuanya diganti bangku yang nyaman untuk makan.
Baca juga: Siap Gelar Festival Hibrid, Banyuwangi Luncurkan 102 Agenda Wisata
Di kedai yang semi-terbuka itu pengunjung bisa melihat hamparan sawah lengkap dengan gemericik air irigasi. Agar suasana pedesaan dan tema terakota makin terasa, sate-sate disajikan di atas piring terakota (gerabah) yang dalam bahasa setepat disebut lemper.
”Kami menyajikan 17 macam sate. Konsep ini kami hadirkan karena di Banyuwangi belum ada satu tempat yang menjual aneka macam sate. Selama ini yang ada hanya menjual sate ayam, sate kambing, dan sate sapi. Kami hadir dengan aneka macam sate untuk memanjakan pencinta sate,” tutur Muttaqin.
Selain menjual sate ayam dan kambing pada umumnya, Kedai Sate Gete juga memiliki hidangan unggulan Sate Gete. Sate ini menggunakan daging sapi dengan bumbu rahasia turun-tumurun dari keluarga Sigit Pramono, pemilik Gandrung Terakota sekaligus Jiwa Jawa Group.
Ada pula Sate Bekamal yang merupakan sate hati ayam dengan ramuan khas suku Osing (suku asli Banyuwangi). Beberapa sate khas daerah lain juga tersedia, misalnya Sate Lilit, Sate Padang, Sate Maranggi, dan Sate Serepeh Rembang.
Baca juga: Memandikan ”Penari Gandrung” dari Guyuran Abu Vulkanik
Kedai Sate Gete juga menyediakan Sate Ikan Cucut, Sate Eskargot (bekicot) dan Sate Bebek. Aneka sate tersebut disajikan lengkap dengan irisan lontong sehingga cukup membuat perut kenyang. Dengan harga Rp 25.000 hingga Rp 50.000 pengunjung sudah bisa menikmati sate lengkap dengan suasana alam persawahan dan ratusan patung gandrung terakota.
Guna menambah pemasukan, pengelola Taman Gandrung Terakota juga menyediakan Sushi Geprek. Hidangan ini merupakan hidangan pesan antar sehingga bisa dinikmati siapa saja yang sedang berada di Banyuwangi.
Sushi Geprek merupakan kuliner fushion yang menggabungkan makanan khas Jepang sushi, dengan ayam geprek lengkap dengan sambal bawangnya. ”Sushi Geprek kami jual dengan harga Rp 25.000 belum termasuk ongkos kirim Rp 10.000 untuk wilayah Banyuwangi kota. Dengan minimal pemesanan 2 porsi, wisatawan atau warga Banyuwangi yang ingin menikmati bisa memesannya ke kami,” ujar Muttaqin.
Baca juga: Gunakan Aplikasi Ini Sebelum Berwisata di Banyuwangi
Hal serupa dilakukan Hotel Santika Banyuwangi. Di masa pandemi ini mereka tak lagi hanya bersandar pada layanan kamar dan ruang pertemuan. Dapur justru menjadi senjata paling ampuh untuk berjuang di masa pandemi.
”Orang mungkin bisa tidak berwisata keluar kota atau mengadakan pertemuan-pertemuan. Tetapi, selama pandemi, orang masih tetap membutuhkan makanan. Kami punya restoran yang biasa memasak untuk para tamu. Ini tentu peluang yang bisa dimanfaatkan,” ungkap General Manager Hotel Santika Banyuwangi Indra Muaz.
Maka lahirlah delapan menu rice bowl. Sebuah paket makan yang mudah dibawa ke mana saja, bahkan tetap nyaman dimakan dalam perjalanan. Kedelapan menu itu ialah beef bulgogi, udang garam cabai, ayam cabai kering, chicken katsu, ayam koloke, beef black paper, beef kung pao, dan ayam telur asin.
Orang mungkin bisa tidak berwisata keluar kota atau mengadakan pertemuan-pertemuan. Tetapi, selama pandemi, orang masih tetap membutuhkan makanan. (Indra Muaz)
Rice bowl tersebut semula ditujukan bagi tamu hotel yang hendak melanjutkan perjalanan. Tak sedikit tamu yang hendak meninggalkan hotel meminta rekomendasi restoran yang sehat, bersih, dan enak dalam perjalanan dari Banyuwangi ke Surabaya atau ke Bali.
”Di masa pandemi seperti ini, kami tentu tidak bisa menjamin kesehatan dan higienitas restoran-restoran. Tetapi, kami bisa memberikan bekal makanan yang sudah terjamin higienis. Dengan rice bowl dari kami, para tamu tidak perlu turun ke restoran sehingga risiko tertular saat bertemu banyak orang,” ujar Indra.
Baca juga: Berwisata di Tempat Sepi Jadi Pilihan Berlibur
Rice bowl dipilih karena Santika ingin mengedapankan konsep grab and go. Makanan yang disajikan merupakan makanan berat yang cocok untuk makan siang. Siapa saja bisa memesan, mengambilnya di Hotel Santika, lalu melanjutkan perjalanan sambil menikmati hidangan.
Konsep ini juga dipilih untuk menciptakan pasar tersendiri yang berbeda dengan nasi bungkus atau nasi kotak yang dijual pelaku UMKM kuliner. Harga yang dipatok juga di atas harga warung pada umumnya agar tidak merusak harga pasar UMKM.
Baca juga: Buah Tangan, Siasat Baru Hotel di Banyuwangi
Santika juga menyediakan makanan untuk paket ulang tahun dengan harga Rp 50.000 per orang. Harga tersebut lebih murah bila dibandingkan dengan menggelar acara paket ulang tahun di Hotel Santika yang dipatok Rp 150.000 per orang.
”Di masa pandemi, kami tidak lagi menyewakan ruangan untuk menggelar acara termasuk ulang tahun. Kami hanya menyediakan makanan agar pelanggan merayakan di rumahnya atau sekadar dibagikan ke kerabatnya,” kata Indra.
Khusus tamu yang menginap lebih dari lima hari, Santika Banyuwangi memberikan paket Dendeng Balado dan Ayam Betutu sebagai buah tangan. Paket makanan tersebut diberikan secara cuma-cuma karena harganya sudah termasuk sewa kamar.
Upaya ini ternyata cukup berhasil, pemasukan Santika Banyuwangi dari bisnis dapurnya mencapai Rp 500 juta per bulan. Setidaknya jumlah tersebut menjaga perputaran uang, dari yang sebelumnya mencapai Rp 700 juta per bulan, termasuk dari bisnis persewaan ruang pertemuan.
Pemasukan Santika Banyuwangi dari bisnis dapurnya mencapai Rp 500 juta per bulan.
Upaya menjaga perputaran uang yang dilakukan para pelaku wisata mendapat apresiasi dari Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Yanuarto Bramuda. Menurut dia, inovasi merupakan keharusan di masa pandemi agar perekonomian di sektor pariwisata tetap dapat berputar.
”Pada tahun 2020 jumlah kunjungan wisatawan menurun drastis bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2019, jumlah kunjungan wisatawan domestik dapat menembus 5,4 juta kunjungan, turun menjadi 2,3 juta kunjungan. Sementara kunjungan wisatawan yang mencapai 109.000 di tahun 2019 menjadi 90 kunjungan saja di tahun 2020,” ungkap Bramuda.
Baca juga: ”Staycation” Mulai Dikembangkan di Banyuwangi
Dinas Kebudayaan Pariwisata Banyuwangi mencatat spending money (uang yang dibelanjakan) wisatawan mancanegara mencapai Rp 2,7 juta per hari, sedangkan wisatawan Nusantara mencapai Rp 1,8 juta per hari. Bramuda mengatakan, pelaku wisata kini tidak bisa hanya bersandar pada kunjungan wisatawan. Butuh inovasi untuk menjaga perputaran uang di sektor wisata.
Pengunjung tetap menggunakan masker ketika berwisata di Taman Gandrung Terakota Banyuwangi, Rabu (15/8/2020). Dalam kondisi pandemi seperti ini, bisnis kuliner yang dikembangkan para pelaku wisata memang menjadi benteng pertahanan. Manusia mungkin bisa menahan untuk tidak berwisata, tetapi mereka tetap membutuhkan makan.
Pelaku wisata terus berusaha menolak kalah dari situasi yang berat. Inovasi menjadi bekal untuk terus bertahan di masa pandemi.