Warga menginginkan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena potensi membungkam pendapat atau kritik hingga saling tuding secara personal yang berujung pemenjaraan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga yang tengah terjerat sanksi pidana terkait masalah informasi dan transaksi di daring menginginkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik segera direvisi. Tak hanya membungkam kebebasan berpendapat, bagi mereka, pasal karet di UU itu rawan memenjarakan mereka.
SM (25), salah satu warga yang terjerat UU ITE, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (18/2/2021), tengah menjalani wajib lapor setiap Senin dan Kamis di Kepolisian Daerah Jawa Timur. Warga Kota Surabaya ini berstatus tersangka sejak Juni 2020 setelah salah satu klinik kecantikan melaporkannya atas dugaan pencemaran nama baik lewat unggahan di Instagram.
Unggahannya berisi pengalaman menjalani perawatan wajah selama hampir setahun. Awalnya perawatan berjalan lancar sehingga kulit wajah mulus tanpa jerawat. Kemulusan itu tak bertahan lama karena jerawat kembali timbul dan semakin banyak karena terlambat membeli obat untuk perawatan.
Seorang pengikut akunnya di Instagram menangkap layar unggahan pengalaman itu. Tangkapan layar itu berbuntut panjang hingga klinik menyomasinya. Kuasa hukum klinik menuntut ia membuat permintaan maaf setengah halaman di koran sebanyak tiga kali penerbitan.
Permintaan itu urung dipenuhi SM karena kendala biaya. Akibatnya, pihak klinik melaporkan SM ke kepolisian hingga kini ia berstatus tersangka dan wajib lapor.
”Saya tidak pikir aneh-aneh karena unggahan itu berisi pendapat tentang perawatan wajah. Tidak ada unsur sengaja untuk menjelekkan nama klinik,” kata SM.
Paguyuban Korban UU ITE dan LBH Surabaya mendampinginya dalam kasus ini. SM berharap persoalannya dapat selesai melalui jalur damai. Namun, sampai kini belum terwujud karena belum ada jalan tengah dengan klinik kecantikan yang melaporkannya ke kepolisian.
Wartawan tak terkecuali
Wartawan yang pekerjaanya telah dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juga tak luput dari jerat pidana UU ITE. Muhammad Asrul (34), mantan jurnalis berita daring Berita.News di Makassar, Sulawesi Selatan, tengah menanti kelanjutan kasus dugaan pencemaran nama baik yang menjeratnya sejak Juni 2019.
Asrul dilaporkan ke polisi oleh Farid Karim Judas karena tiga berita dugaan korupsi yang ditulisnya. Tulisan itu ialah Putra Mahkota Palopo Diduga ”Dalang” Korupsi PLTMH dan Keripik Zaro Rp 11 M pada 10 Mei 2019; Aroma Korupsi Revitalisasi Lapangan Pancasila Palopo Diduga Seret Farid Judas pada 24 Mei 2019; dan Jilid II Korupsi Jalan Lingkar Barat Rp 5 M, Sinyal Penyidik untuk Farid Judas? pada 25 Mei 2019.
Berkas perkara kasusnya sudah berada di Kejaksaan Negeri Palopo. Akan tetapi, belum ada kejelasan kasus bakal masuk meja hijau sejak penangguhan penahannya pada Maret 2020.
”Harapan kami dan keluarga kasusnya bisa berhenti di tangan jaksa. Tidak lanjut ke meja hijau,” ujar Asrul.
Seperti diatur dalam Ayat 1 dan 2 Pasal 4, UU Nomor 40 Tahun 1999 bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, dan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran.
Saat ini, keseharian Asrul hanya di rumah bersama anak dan keluarga. Ia menganggur sejak penahanannya ditangguhkan dan kini belum memperoleh pekerjaan lagi. Harapannya hanya satu, ada ketegasan dalam UU ITE. Bukan sebaliknya menjadi alat kepentingan untuk memenjarakan orang atau profesi apa pun.
Sementara itu, Saiful Mahdi, pengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala, Aceh, tengah mengajukan kasasi atas kasus pencemaran nama baik yang menjeratnya pada Juli 2019. Pengadilan Negeri Banda Aceh sudah mengirimkan berkas kasasi sejak 28 Juli 2020 meskipun hingga kini belum ada nomor perkara di Mahkamah Agung.
Dekan Fakultas Teknik melaporkan Saiful ke polisi karena ia enggan meminta maaf atas kritik yang diutarakannya.
”Saya sama sekali tidak menyangka unggahan di grup Whatsapp terbatas bisa jadi masalah yang besar dan melelahkan. Sangat melelahkan dan menganggu fokus kerja saya sebagai dosen,” kata Saiful.
Kasusnya bermula dari kritik terhadap perekrutan pegawai negeri sipil di Fakultas Teknik yang diduga tidak adil. Dekan Fakultas Teknik melaporkan Saiful ke polisi karena ia enggan meminta maaf atas kritik yang diutarakannya. Upaya mediasi dari polisi dan teman-teman pelapor pun gagal.
Sejak 27 November 2019 hingga Juli 2020, hampir setiap pekan ia dan keluarga harus ke pengadilan untuk sidang. Hingga kini, persidangannya telah berlangsung 18 kali.
”Hilangkan semua pasal karet, semua pidana dan pemidanaan berbasis pencemaran nama baik. Sebaiknya diatur secara perdata saja seperti di banyak negeri lain. Kalau tidak, ini bisa mematikan kritik dan demokrasi,” kata Saiful.
Ketua Paguyuban Korban UU ITE Muhammad Arsyad menilai bahwa UU ITE bisa menyasar siapa saja. Masyarakat bisa saling melaporkan ke kepolisian dengan UU ini karena merasa tersakiti secara personal.
”Ini yang kita tidak mau. Sekarang warga terpolarisasi untuk selesaikan permasalahan personal atau kecil lewat UU ITE sehingga jadi masalah besar,” ujarnya.
Arsyad pun menuntut pemerintah agar UU ITE segera direvisi, dengan mencabut pasal karet yang ada di dalamnya. ”Pencemaran (nama baik), ujaran kebencian, dan pornografi aturannya lebih jelas di dalam Kitab Umum Hukum Pidana,” ujarnya.
Ia lantas mencontohkan penyelesaian ujaran rasisme yang melibatkan Natalius Pigai oleh Abu Janda. Permasalahan di antara keduanya dapat diselesaikan dengan duduk bersama dan dimediasi oleh orang yang dituakan, tanpa harus diseret ke ranah pidana.
Koalisi masyarakat sipil mencatat, sejak 2016 hingga Februari 2020 ada 744 perkara yang dijerat dengan Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE. Sebanyak 676 perkara berujung pemenjaraan.
Revisi
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat, 375 kasus yang menjerat warganet terkait UU ITE sejak 2008. Laporan SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak terjerat pasal-pasal karet di dalam UU ITE.
Pasal karet cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis dengan sasaran utama sektor perlindungan konsumen, antikorupsi, pro-demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi.
Sementara itu, dampak sosial diberlakukannya UU ITE, antara lain menjadi alat balas dendam, barter kasus, memberikan terapi kejut, serta membungkam aktivis dan jurnalis. Adapun dampak politiknya, digunakan untuk menjatuhkan lawan politik.
Situasi itu membuat perlu ada revisi serta mendorong moratorium kasus-kasus terkait UU ITE. Kepolisian perlu menerapkan keadilan restoratif, terutama penggunaan pasal karet.
Keinginan Presiden Joko Widodo agar UU ITE direvisi dipandang perlu disambut baik. Lokataru Foundation dalam konferensi pers pada Rabu (17/2/2021) kemarin, keinginan Presiden merevisi UU ITE dapat pula dipandang sebagai upaya memperbaiki wajah demokrasi kita. Ada harapan agar wacana dapat terealisasi dalam itikad baik, yakni memulihkan korban kriminalisasi karena UU ITE.
Pemerintah perlu menunjukkan itikad baiknya terhadap demokrasi dengan membebaskan para korban. Sebab, masalah utama terletak pada implementasi dan itikad aparat, bukan hanya pada subtansi undang-undang.
Dalam lampiran laporan Panitia Kerja Penyusunan Prolegnas RUU Prioritas 2021 pada 25 November 2020, revisi UU ITE telah masuk dalam daftar tunggu atau masuk ke dalam prolegnas prioritas lima tahunan. Pengusung dari revisi UU ITE itu tertulis DPR, bukan pemerintah.