YLBHI Meminta Masalah Kebebasan Berpendapat Diatasi
Lebih dari 3.500 orang ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat kepolisian. Sebagian besar diantaranya terkait dengan penyampaian pendapat di muka umum. LBH-YLBHI minta persoalan kebebasan berpendapat diselesaikan
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, kalangan masyarakat sipil mendorong persoalan terkait dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi lainnya diatasi. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia antara lain mencatat ada 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di seluruh wilayah di Tanah Air.
Dalam keterangan persnya, YLBHI menyoroti sejumlah kasus pelanggaran kebebasan berpendapat di muka umum. Pelanggaran itu antara lain dilaporkan terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua.
Kasus-kasus tersebut didominasi pelanggaran hak berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum. Secara rinci terdapat pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan (26 persen), pelanggaran hak menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa (25 persen), pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara digital (17 persen), pelanggaran hak mencari dan menyampaikan informasi (16 persen), serta pelanggaran terhadap data pribadi (16 persen).
Data LBH-YLBHI menunjukkan penangkapan sewenang-wenang tinggi sekali angkanya (3.539 orang) dan sebagian besar terkait dengan penyampaian pendapat di muka umum khususnya aksi penolakan UU Cipta Kerja.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur, Rabu (17/2/2021), mengatakan, data LBH-YLBHI menunjukkan penangkapan sewenang-wenang tinggi sekali angkanya (3.539 orang) dan sebagian besar terkait dengan penyampaian pendapat di muka umum khususnya aksi penolakan UU Cipta Kerja. Padahal, angka ini hanya yang didampingi dan di 17 Provinsi.
Selain itu, data YLBHI menunjukkan terjadi penangkapan sewenang-wenang terhadap peserta aksi damai, khususnya pada aksi penolakan omnibus law Cipta Kerja sejumlah 3.376 orang. Bahkan, kepolisian mengaku telah menangkap 5.918 terkait aksi penolakan omnibus law Cipta Kerja.
”Penangkapan besar-besaran ini menunjukkan bahwa seolah-olah demonstrasi adalah kegiatan terlarang seperti di zaman Orde Baru,” kata Isnur.
YLBHI menilai sejumlah pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi ini berakar dari berbagai kebijakan yang tidak sesuai dengan konstitusi dan undang-undang. Terkait hal itu, Isnur mengatakan, YLBHI mendorong Presiden Joko Widodo mengevaluasi penegakan hukum oleh kepolisian, khususnya pelanggaran terhadap pelaksanaan hak kebebasan berpendapat serta memerintahkan kebijakan yang melanggar kebebasan berpendapat dicabut.
Berbagai pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi ini berakar dari berbagai kebijakan yang tidak sesuai dengan konstitusi dan undang-undang.
Selain itu, pemerintah diharapkan memastikan tidak ada lagi pembubaran sewenang-wenang, penangkapan dan kriminalisasi terhadap orang atau kelompok yang menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan secara damai.
”Memprioritaskan revisi terhadap UU yang menghambat serta melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi antara lain UU ITE,” katanya.
YLBHI juga meminta pemerintah tidak meneruskan RUU atau pasal-pasal dalam RUU, termasuk RKUHP yang berpotensi menghambat serta melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, pernyataan Presiden Jokowi saat melakukan rapat tertutup dengan pimpinan TNI-Polri, 15 Februari 2021, sebaiknya bukan sebatas pernyataan retorik. Dalam kesempatan itu, presiden meminta kepolisian selektif dalam menangani kasus-kasus pelanggaran UU ITE. Jika tidak juga memberikan keadilan, presiden membuka ruang dilakukannya revisi UU ITE bersama DPR.
”Semua pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus. Rumusan pasal-pasal dalam UU ITE, yang sudah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk dan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi,” katanya.
Semua pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus. (Erasmus Napitupulu)
Selain itu, proses fair trial dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revisi UU ITE harus kembali diberlakukan dan mendukung pembaruan KUHAP dalam RKUHAP bahwa segala bentuk upaya paksa harus dengan izin pengadilan.
”Revisi UU ITE harus mengembalikan hal baik yang pernah dirumuskan oleh UU ITE tahun 2008 bahwa mekanisme upaya paksa harus dengan izin dalam bentuk penetapan dari pengadilan. Dalam UU ITE yang sekarang berlaku, upaya paksa justru menjadi diskresi aparat penegak hukum dan menghilangkan izin dari ketua pengadilan,” ujarnya.
Atas nama koalisi masyarakat sipil, Erasmus juga mengingatkan perlunya revisi terhadap pengaturan mengenai blocking dan filtering informasi di internet.
Jangan sampai UU ITE digunakan untuk menjerat orang atau kelompok kritis dengan mengada-ada. (Achmad Baidowi)
Secara terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, pada dasarnya Baleg tidak keberatan dengan keinginan Presiden Jokowi untuk merevisi UU ITE, .
”Bahkan, untuk menjunjung profesionalitas Polri sebagaimana disampaikan Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo saat fit and proper test di Komisi III DPR. Untuk itu, jangan sampai UU ITE digunakan untuk menjerat orang atau kelompok kritis dengan mengada-ada. Tapi jika memang sudah memenuhi unsur ya tetap bisa digunakan. Artinya, harus dipilah benar mana yang bisa dijerat UU ITE dan mana yang tidak bisa dijerat UU ITE,” ujarnya.
Upaya untuk memasukkan revisi UU ITE ke dalam Prolegnas Prioritas 2021, menurut Baidowi, dapat dilakukan dengan menempuh jalur sebagaimana diatur UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).
Karena raker Baleg pada 14 Januari 2021 tentang pengesahan prolegnas sudah pernah dibahas di Badan Musyawarah DPR untuk dijadwalkan di dalam paripurna, tetapi masih mengalami penundaan. Maka, bisa saja Bamus menugaskan Baleg untuk raker ulang dengan mengubah prolegnas prioritas, yakni dengan menambah, mengurangi ataupun mengganti daftar RUU.
”Atau bisa juga nanti di paripurna diputuskan. Namun, perlu ditegaskan bahwa keputusan prolegnas harus dibuat dalam rapat tripartit antara DPR, pemerintah dan DPD,” ucapnya.