Mereka Menjaga Nyala Asa Kemanusiaan
Natal dan Tahun Baru kali ini mungkin berbeda tetapi maknanya tetap sama, yaitu berbagi, berkorban, dan mengikis penderitaan sesama. Tahun boleh berganti, tetapi kemanusiaan jangan sampai mati.
Pandemi Covid-19 (Coronavirus disease 2019) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) memaksa Natal 2020 dan Tahun Baru 2021 hadir tanpa gegap gempita dan gebyar pesta. Namun, yang sejati, perayaan seharusnya menghadirkan ”terang” berupa kesadaran memelihara kemanusiaan dalam solidaritas dan pengorbanan.
Pesan Natal Bersama PGI-KWI 2020 mengajak manusia untuk memaknai kelahiran ”Sang Terang” sebagai kehadiran kesadaran untuk mengikis habis ujaran kebencian, berita bohong, intoleransi, kekerasan, dan kejahatan dengan tetap berbuat baik.
Baca juga: Kota Malang Zona Merah Covid-19, Pesta Akhir Tahun Dilarang
Dalam pesan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) itu, di tengah situasi kesakitan dunia karena Covid-19, ”terang” hadir sebagai kesadaran welas asih kepada sesama.
Cahaya kesadaran tampak dalam hati sebagian di antara kita, manusia. Mereka yang memilih mengikis sukacita, menahan diri, dan membatasi gerak untuk isolasi demi mencegah penularan Covid-19 meluas. Mereka tidak tersekat oleh suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tetapi merekat dalam nilai kemanusiaan.
Isolasi
Perempuan itu disebut Kembang (29) atas permintaannya. Ia bekerja di lembaga pemerintah di Malang Raya, terminologi untuk megapolitan Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu.
Meski terasa berat dan akan menemui kesulitan, Kembang memilih segera isolasi setelah mengetahui positif Covid-19. Ia menjalani penanganan di rumah isolasi Malang Raya, setidaknya 22 Desember 2020-5 Januari 2021.
Ia merasakan sakit di tenggorokan pada 7 Desember 2020. Kembang berinisiatif melaksanakan tes usap mandiri ke puskesmas. Langkah itu ditempuh karena ia baru kontak dekat dengan orang yang positif Covid-19. Hasil tes usap ketika itu menunjukkan negatif Covid-19.
Puskesmas menyarankan Kembang untuk isolasi mandiri. Namun, saran itu tidak bisa dipenuhi karena penolakan dari pimpinan di kantor. Rekan kerja juga nyinyir dengan menuduh Kembang mencari alasan untuk istirahat dengan minta izin isolasi.
Kembang dibandingkan dengan orang lain yang diduga Covid-19 tetap masih bekerja dan terlihat sehat. Oleh sebab itu, Kembang tetap bekerja.
Sembilan hari kemudian, ia mulai merasakan gangguan pada indera penciuman. Minggu (20/12/2020), Kembang berinisiatif tes usap mandiri dan hasilnya positif terjangkit Covid-19.
Baca juga: ”Block Office” Kota Malang Jadi Zona Merah Penambahan Kasus
Kluster kantor
Dari pengalaman Kembang itu, tak heran jika penularan Covid-19 melalui perkantoran menjadi sulit untuk dihentikan. Banyak orang tanpa gejala, meski sudah disarankan, enggan isolasi mandiri dengan bermacam alasan. Padahal, mereka kemungkinan besar terjangkit Covid-19. Inilah kasus-kasus yang tenggelam dari permukaan.
Di Malang Raya, kluster perkantoran dan perguruan tinggi menjadi masalah utama penanganan wabah alias pagebluk. Kota Malang kembali masuk zona merah atau risiko tinggi penularan salah satunya karena kluster perkantoran. Rasio penularan di Kota Malang adalah 1,04 atau setiap satu orang penderita bisa menularkan lebih dari satu orang.
”Banyak yang belum sadar pentingnya isolasi mandiri. Mereka yang seharusnya isolasi mandiri masih saja melenggang seenaknya, seolah tidak merasa bersalah bisa menularkan virus kepada orang lain,” kata Kembang yang merasa yakin tertular virus dari seseorang di kantor.
Berkaca dari lingkungan yang abai, selama sakit, Kembang memilih isolasi mandiri terpisah dari ibunda dan suami. Ia menolak mentah-mentah keinginan ibunda yang minta ditemani. Kembang sadar berpotensi menularkan virus pada orang lain karena positif Covid-19.
”Kini, saya pindah ke safehouse milik pemerintah. Di sini lebih baik sehingga ibu dan keluarga tidak lagi bisa coba merawat. Kalau di rumah, saya khawatir mereka justru tertular,” kata Kembang.
Pilihan ”menyingkir sementara” ke rumah isolasi bukan hal mudah bagi Kembang sebagai pengantin yang baru sebulan menikah. Dalam masa bulan madu yang semestinya indah, Kembang dengan sadar pergi. Ia memilih menjadi ”terang” bagi sesama setidaknya bagi keluarga. Isolasi berarti menyelamatkan banyak orang, termasuk keluarga dan suami.
Baca juga: Malang Berlakukan Pemeriksaan Hasil Uji Cepat Pendatang dan Wisatawan
Berbagi
Dalam masa isolasi, aktivitas sosial Kembang ternyata tak berhenti. Ia merupakan donatur Food Sharing Indonesia (FSI). Aktivitas sosial FSI kian intensif selama pandemi. FSI adalah komunitas berbagi makanan di Malang dan kini berkembang di Pamekasan, Madura, Jawa Timur.
”Awalnya kami berbagi nasi untuk mereka yang membutuhkan, seperti fakir miskin, ojek daring, sopir angkot, pedagang, dan lainnya. Namun, kemudian bantuan berkembang hingga bagi-bagi bahan pokok, uang, dan kirim alat tulis ke daerah yang membutuhkan seperti Papua,” kata Shella Sabillah Alamri (29), salah satu pendiri FSI.
Menurut Shella, komunitas FSI menerima donasi dari masyarakat umum dan menyalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Rutinitas kegiatan setiap Jumat. Dalam seminggu, FSI Malang menyalurkan makanan 120 bungkus. FSI Pamekasan menyalurkan hingga 500 bungkus.
Mereka juga menyalurkan makanan untuk kalangan warga yang isolasi mandiri, dua kali dalam sehari. ”Kami sudah sering berbagi dengan orang lain. Namun, kegiatan makin intensif sejak Agustus lalu karena situasi pandemi ini banyak orang semakin berkekurangan,” kata Sheilla.
Kegiatan FSI makin berkembang. Mereka kini terlibat melatih masyarakat yang ingin belajar bahasa Inggris dan public speaking. Kegiatan ini bisa terwujud karena Sheilla adalah guru bahasa Inggris. Untuk kegiatan terkini, FSI menggandeng Komunitas Pedalkuliner, Arek Kepanjen, Act, dan Galeri Kreatif.
”Kami tak bisa selamanya hanya memberi umpan. Makanya, kami juga berbagi kail dengan memberi pelatihan. Semoga kegiatan kami ini bermanfaat,” kata Sheilla.
Kembang dan komunitas merupakan contoh bagaimana adaptasi karena wabah harus diwujudkan. Adaptasi atau pembiasaan harus ditempuh tetapi semangat kemanusiaan tidak berubah. Mereka ingin terus berbagi, berkorban, dan mengikis penderitaan sesama.
Baca juga: Kami Ada di Sini untuk Kalian…
Papua
Di Papua, wabah Covid-19 ibarat wajah teror. Sekitar 300 tenaga kesehatan di Kota Jayapura, ibu kota Papua, terpapar Covid-19 yang punya sisi dampak mematikan. Setelah sembuh, mereka segera terjun dan kembali mengambil risiko terpapar lagi demi melayani masyarakat.
”Selamat malam pemirsa dan pendengar di Papua. Saya akan menyampaikan perkembangan jumlah kasus positif Covid-19. Kami berharap masyarakat tetap disiplin dengan protokol kesehatan di tengah pandemi,” kata Silwanus Sumule dalam siaran di stasiun televisi sejak pertengahan Maret 2020.
Silwanus adalah juru bicara Satuan Tugas Pengendalian, Pencegahan dan Penanganan Covid-19 Papua. Selesai berbicara tentang situasi wabah terkini, Silwanus, yang juga dokter spesialis anak ini, tidak kembali ke rumah. Ia merupakan sukarelawan tenaga dokter di Rumah Sakit Abepura yang khusus menangani ibu hamil dan ibu hendak melahirkan dengan kondisi positif Covid-19.
Dengan berpelindung lengkap, Silwanus membantu persalinan para ibu yang positif Covid-19. Tugas akan dianggap berhasil selama bayi yang lahir tidak terpapar Covid-19 dari sang ibu.
Baca juga: Kasus Covid-19 Meningkat Pascapilkada di Papua
Di sisi lain, tugas Silwanus juga bertumpuk. Ia adalah Sekretaris Dinas Kesehatan Papua. Akhir Agustus, Silwanus juga dipercaya menjabat Wakil Direktur RS Jayapura. Silwanus juga masih kerap bepergian ke pedalaman, antara lain Merauke dan Biak Numfor.
Di pedalaman, Silwanus harus memantau penanganan Covid-19 dan ketersediaan obat serta alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan. ”Meski telah dilantik sebagai Wadir Rumah Sakit Dok II Jayapura, saya tetap bertugas sebagai juru bicara satgas. Kegiatan saya sangat padat hingga akhirnya mengalami gejala kurang enak badan pada akhir September,” ujar Silwanus.
Silwanus coba mengonsumsi vitamin dan obat antivirus. Namun, kondisi kesehatannya tidak berubah. Ayah tiga anak ini memeriksakan paru-paru dan ditemukan virus seperti Covid-19.
Silwanus dan keluarga melanjutkan dengan pemeriksaan tes usap. Hasilnya, cuma Silwanus yang positif Covid-19 sehingga isolasi mandiri.
Kondisi kesehatan kian memburuk. Silwanus harus dirawat di rumah sakit swasta karena RS Dok II penuh pasien. RS Dok II ialah rujukan penanganan pasien Covid-19 di Papua.
Meski dirawat, kondisi kesehatan Silwanus memburuk bahkan sempat sekarat. Kadar oksigen dalam darah di bawah angka normal 90 persen. Silwanus mengenang ketika itu berpasrah diri, meminta doa ibunda di Makassar.
”Ibu meminta saya untuk berdoa dan berpasrah diri ke Tuhan. Dalam kurun waktu selama tiga hari itu, saya merasa mungkin ini sudah saatnya hidup berakhir,” ujar Silwanus.
Baca juga: Kasus Covid-19 di Daerah Penyelenggara Pilkada di Papua Terus Bertambah
Namun, keajaiban seolah datang. Silwanus membaik setelah perawatan dua pekan. Kini, Silwanus telah sembuh dan kembali beraktivitas dan tenggelam dalam kesibukan.
”Saya harus tetap melayani ibu hamil dan ibu yang akan melahirkan dengan kondisi positif Covid-19. Total sebanyak 50 ibu yang telah saya tangani selama beberapa bulan terakhir,” ujar Silwanus.
Roland Napitupulu, pegawai Dinas Kesehatan Kota Jayapura, terpapar Covid-19 saat bertugas. Ia dan rekannya sembuh setelah isolasi dan dirawat. Sempat ada ketakutan karena Covid-19 membawa kematian, termasuk satu tenaga kesehatan. ”Saya merasa sangat bersyukur karena masih diberikan kesempatan hidup, merayakan Natal bersama keluarga dan telah kembali ke aktivitas,” ujar Roland.