Mengikis Timpang Pembangunan di ”Kota Perwira”
Kemiskinan masih membayangi Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Walaupun marak pabrik wig dan bulu mata palsu yang menyerap ribuan pekerja, kantong-kantong kemiskinan masih banyak di daerah perdesaan.
Kabupaten Purbalingga merupakan satu dari lima daerah termiskin di Jawa Tengah meski hampir dua dekade terakhir menjadi target pemodal asing sektor padat karya. Pembangunan yang belum merata membuat masih banyak kantong kemiskinan di wilayah perdesaan.
Di salah satu jalan protokol Kabupaten Purbalingga, Harun (45), seorang tukang parkir, sibuk mengangkat dan menggeser motor untuk dirapikan. Berasal dari sebuah desa yang berjarak sekitar 16 kilometer di timur pusat Purbalingga, dia rela bolak-balik setiap hari demi mencari nafkah di kota.
”Saya sudah bekerja menjadi tukang parkir selama dua tahun. Setorannya sehari Rp 45.000. Kalau ada lebihnya dibawa pulang. Kadang sepi, kadang ramai, tidak mesti,” kata Harun, sambil menengguk air minum, Selasa (20/10/2020).
Harun adalah warga Kecamatan Pengadegan, daerah yang selama ini rawan bencana kekeringan. Ia mengaku menjadi tukang parkir di jalanan kota untuk mencari nafkah demi menghidupi istri dan dua anaknya yang masih kecil.
Baca juga : Persaingan Global, Industri Bulu Mata Purbalingga Lesu
Sementara itu, di tepi Jalan Ahmad Yani, Purbalingga, Sumiyati (27) terburu-buru membeli makan siang di antara kerumunan ratusan, bahkan ribuan buruh perempuan salah satu pabrik rambut palsu. Berjubelnya buruh perempuan setiap jam istirahat dan pulang kerja menjadi pemandangan biasa di sudut-sudut daerah berjuluk ”Kota Perwira” ini.
”Saya lulusan SLTA. Sudah kerja di pabrik 10 tahun. Selama ini, setiap tahun ada kenaikan gaji,” ujar Sumiyati sambil membeli makanan dari deretan pedagang kaki lima di luar pagar pabrik.
Ibu satu anak itu mengaku, dalam sebulan mendapat upah sekitar Rp 2 juta. ”Kalau tidak ada tanggungan ya mencukupi, tapi suami juga kerja,” tambahnya.
Meskipun hingga 2016 terdapat setidaknya 27 investasi asing, yang kebanyakan dari Korea Selatan di sektor bulu mata dan rambut palsu, sebagian besar warga Purbalingga masih menggantungkan mata pencarian dari sektor pertanian. Badan Pusat Statistik (BPS) Purbalingga mencatat, pada 2015, dari 665.000 tenaga kerja, sekitar 250.000 adalah petani dan buruh tani. Sementara buruh industri sekitar 105.000 orang dan mayoritas perempuan.
Mahmud (45) adalah salah satu orang yang masih menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Buruh tani di Desa Blater, Kecamatan Kalimanah, yang berbatasan dengan Kabupaten Banyumas itu mengaku, bertahun-tahun menggarap sawah seluas 200 ubin atau sekitar 2.800 meter persegi milik mertuanya, hasilnya tak selalu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal itu memaksanya mencari usaha sampingan dengan berjualan garam yang dibeli dari Cirebon sejak dua tahun terakhir.
”Kalau cuma mengandalkan tani, tidak cukup, saya juga dagang. Tani ini banyak kendalanya, airnya sulit, hama, dan juga sulit cari pupuk,” tuturnya.
Baca juga : Pengembangan Peternakan Purbalingga Belum Optimal
Kemiskinan
Berdasarkan data BPS tahun 2019, persentase penduduk miskin di Purbalingga mencapai 15,03 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata persentase penduduk miskin di Jateng sebesar 10,8 persen.
Dibandingkan daerah lain di Jateng, persentase penduduk miskin di Purbalingga menduduki peringkat kelima setelah Kebumen (16,82 persen), Wonosobo (16,63 persen), Brebes (16,22 persen), dan Pemalang (15,41 persen). Jika dibandingkan wilayah tetangga, Banjarnegara di sebelah timur memiliki persentase penduduk miskin 14,76 persen dan Banyumas di sebelah barat 12,53 persen.
Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Istiqomah menyampaikan, dari sejumlah penelitian, sebaran penduduk miskin di Purbalingga banyak berada di sebelah utara atau di kawasan perbukitan. Hal itu dipicu keterbatasan akses infratruktur dan terpusatnya industri-industri di kawasan perkotaan sehingga pembangunan pun timpang.
Menurut Istiqomah, kemiskinan juga terkait erat dengan pembangunan sumber daya manusia. Banyak sarjana asal Purbalingga lebih memilih bekerja di luar daerah daripada pulang membangun desanya. ”Sarjana-sarjana tidak tinggal di Purbalingga. Jangan sampai yang pintar-pintar ini pada kabur,” tuturnya.
Sebaran penduduk miskin banyak berada di sebelah utara atau kawasan perbukitan. Hal itu dipicu keterbatasan akses infratruktur dan terpusatnya industri-industri di kawasan perkotaan sehingga pembangunan pun timpang. (Istiqomah)
Istiqomah mengatakan, gagasan plasma pembuatan bulu mata palsu yang disebar ke daerah-daerah pelosok dapat diduplikasi ke seluruh perusahaan. ”Misalnya, perusahaan roti atau bakery, pengolahan bisa di desa-desa untuk menghubungkan pusat-pusat perekonomian,” tuturnya.
Desa-desa di Purbalingga, lanjut Istiqomah, masih berpotensi untuk dikembangkan di sektor pertanian. Sempitnya lahan bisa disiasati secara optimal dengan skema tumpang sari mengingat mayoritas petani adalah petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,3 hektar.
”Pertanian terpadu bisa dimanfaatkan untuk pekarangan sempit. Misalnya ada kolam ikan, di bagian atasnya untuk memelihara ayam. Di sana bisa mandiri pangan,” paparnya.
Hanya saja, menurut Istiqomah, pengembangan masyarakat di perdesaan perlu pendampingan intensif pemerintah daerah mengingat mentalitas warga desa cenderung hidup santai, tidak mau mengambil risiko. Menurut dia, kendala utama bukan pada pelatihan, modal, dan pemasaran, melainkan justru mengubah mental serta cara pandang masyarakat.
Pendampingan intensif diperlukan, apalagi saat ini sudah ada dana desa yang bisa dimanfaatkan. Untuk hal ini, pemerintah daerah bisa menggandeng kampus-kampus maupun lembaga swadaya masyarakat.
Baca juga : Pasangan Tiwi-Dono Targetkan Kuasai 70 Persen Suara Purbalingga
Kontestasi
Persoalan kemiskinan, terutama di wilayah perdesaan, menjadi salah satu tugas pokok yang menanti pemimpin hasil pilkada di kabupaten berpenduduk sekitar 925.193 jiwa ini. Kontestasi yang digelar Desember 2020 mendatang bakal diikuti dua pasangan calon, salah satunya bupati petahana Dyah Hayuning Pratiwi yang berpasangan dengan Sudono, kader Golkar yang juga seorang kontraktor. Mereka didukung PDI-P, Golkar, PAN, dan PKS. Pesaingnya adalah Muhammad Sulhan Fauzi yang berpasangan dengan Zaini Makarim Supriyatno. Keduanya berlatar belakang pengusaha dan didukung oleh PKB, Gerindra, PPP, Demokrat, dan Nasdem.
Pasangan calon bupati nomor urut 1, Muhammad Suhan Fauzi, ketika dikonfirmasi terkait langkah strategisnya mengentaskan rakyat dari kemiskinan di Purbalingga menyebutkan, ada dua program untuk jangka menengah-panjang serta jangka pendek. Jangka menengah dan panjang adalah perbaikan pendidikan dan kesehatan. Sementara untuk jangka pendek adalah menghadirkan investor ke Purbalingga.
”Saya sedang di Bandung menyiapkan MOU (nota kesepahaman) dengan enam pengusaha. Ada garmen, elektrik, dan mekanik,” tutur Fauzi.
Bagi Fauzi, catatan kelam mantan bupati Purbalingga, Tasdi, yang ditangkap KPK pada 2018 menjadi pelajaran agar birokrasi dijalankan lebih transparan, tidak ada jual beli jabatan, dan penentuan jabatan didasarkan kompetensi setiap kandidat.
Mengenai tantangan di masa pandemi Covid-19, selain menggencarkan gerakan 3M, yaitu memakai masker, rajin mencuci tangan, dan menjaga jarak, Fauzi juga akan menyiapkan aplikasi pemantauan penyebaran Covid-19. Selain bisa mendeteksi penyebaran Covid-19, aplikasi itu bisa juga memberi peringatan bagi orang yang masuk suatu kawasan berstatus zona merah.
Baca juga : Kopi Gunung Malang Purbalingga Berpotensi Dikembangkan
Sementara itu, calon bupati nomor urut 2, yaitu Dyah Hayuning Pratiwi hingga Sabtu (31/10/2020) belum memberikan jawaban atas pertanyaan yang disampaikan Kompas sejak Selasa (27/10/2020). Sementara dalam pidato deklarasi yang diunggah di akun Instagram-nya, Pratiwi mengklaim, selama 4,5 tahun memimpin Purbalingga, persentase angka kemiskinan turun 3,95 persen.
Pratiwi juga menyebut, realisasi investasi selama empat tahun terakhir menunjukkan tren meningkat. Sejak 2016-2019, realisasi investasi Rp 2,01 triliun yang terdiri dari delapan perusahaan baru dengan penyerapan tenaga kerja 7.422 orang. Menurut Pratiwi, penguatan BUMDes dan pendampingan UMKM serta kerja sama dengan gerai-gerai toko modern juga dilakukan untuk memasarkan produk lokal.
Selain mampu meningkatkan kesejahteraan warga, pemimpin Purbalinggga mendatang juga mesti adli dan jujur. (Harun)
Bagaimanapun, rakyat kecil yang tinggal di perdesaan seperti Harun dan Mahmud berharap, selain mampu meningkatkan kesejahteraan warga, pemimpin Purbalinggga mendatang juga mesti adli dan jujur. ”Inginnya pemimpin yang adil. Mengerti rakyat. Pimpinan yang tahu bawahan. Perhatikan rakyat yang belum sejahtera,” kata Harun.
Harapan serupa disampaikan Mahmud. ”Kami ingin pemimpin yang adil dan bijaksana. Tidak korupsi atau nyolongan (mencuri),” tuturnya.
Saatnya, masyarakat Purbalingga menentukan pilihan sesuai hati nurani. Kiranya, amanah diberikan kepada yang berani menyibak kelambu kemiskinan di Tanah Perwira, julukan yang merujuk kebanggaan sebagai tanah kelahiran Panglima Besar Jenderal Soedirman.