Mahasiswa Balikpapan Pertanyakan Draf UU Cipta Kerja yang Berubah-ubah
Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Balikpapan Bergerak kembali melakukan aksi unjuk rasa menolak disahkannya RUU Cipta Kerja di Balikpapan, Kalimantan Timur. Draf UU yang berubah-ubah dipertanyakan.
Oleh
SUCIPTO
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Balikpapan Bergerak kembali berunjuk rasa menolak disahkannya RUU Cipta Kerja di Balikpapan, Kalimantan Timur. Mereka mempertanyakan isi dan jumlah halaman draf UU Cipta Kerja yang berubah-ubah.
Mula-mula, para mahasiswa itu berorasi di simpang Plaza Balikpapan sekitar pukul 12.30 Wita, Kamis (15/10/2020). Ini merupakan unjuk rasa ketiga yang dilakukan di Balikpapan setelah DPR menyetujui RUU Cipta Kerja. Tuntutan aksi masih sama, yakni meminta DPR untuk mencabut RUU Cipta Kerja karena prosesnya yang tak transparan.
Koordinator lapangan Balikpapan Bergerak, Alfahri Maulana, mengatakan, mahasiswa menyoroti proses pembahasan RUU Cipta Kerja yang tidak terbuka. Jumlah halaman berubah-ubah dan isinya banyak yang berbeda. Seperti diketahui, ada tiga draf yang beredar, yakni versi 905 halaman, 1.035 halaman, dan terakhir versi 812 halaman yang telah diserahkan DPR kepada Presiden.
”Pasal yang berubah-ubah itu menjadi pertanyaan publik. Kenapa bisa demikian dan bagaimana publik bisa memantaunya?” ujar Alfahri.
Salah satu pasal yang sebelumnya disuarakan mahasiswa adalah Pasal 156 dalam draf versi 905 halaman. Di sana tercantum pemberian pesangon saat pekerja terkena PHK dan tertera frasa ”paling banyak” sesuai dengan masa kerja. Ini dianggap memberikan peluang pengusaha untuk memberikan pesangon kecil kepada pekerja. Pada draf 1.035 halaman, frasa ”paling banyak” dihapus. Adapun pada draf versi 812 halaman, diganti menjadi ”dengan ketentuan”.
Pasal yang berubah-ubah itu menjadi pertanyaan publik. Kenapa bisa demikian dan bagaimana publik bisa memantaunya?
Ketua Hubungan Masyarakat Balikpapan Bergerak, Afriandi, mengatakan, presiden hendaknya membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menolak RUU Cipta Kerja. Sebab, proses pembahasan undang-undang itu tidak transparan. Proses yang tidak transparan itu ditengarai karena adanya benturan kepentingan dan pasal-pasal titipan.
Proses itu juga dikritisi oleh dosen hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, Khairul Fahmi. Ia mengatakan, jika sebuah RUU telah disetujui dalam rapat paripurna, tidak boleh terdapat perubahan sedikitpun. ”Titik dan koma pun tidak boleh diubah kalau sudah disahkan. Sebab, dalam bahasa hukum, perubahan sedikit saja bisa berubah maknanya dan fatal akibatnya,” ujarnya (Kompas,15/10/2020).
Di tengah aksi, mahasiswa menggalang dana untuk diberikan ke Masjid Agung At-Taqwa Balikpapan. Dalam aksi sebelumnya, beberapa bagian pagar masjid copot dan rusak akibat beberapa orang meloncatinya ketika polisi menembakkan gas air mata ke arah demonstran. Uang donasi itu diberikan kepada pengurus masjid. Setelah melakukan orasi dan aksi teatrikal, mahasiswa meninggalkan lokasi unjuk rasa sekitar pukul 17.30 Wita.
Kebebasan berpendapat
Berbagai penolakan RUU Cipta Kerja juga datang dari akademisi. Puluhan dosen di Kaltim membuat pernyataan tertulis yang mendorong Presiden untuk mengeluarkan perppu. Hal itu dinilai sebagai langkah konstitusional pemerintah yang paling mungkin dilakukan, sekaligus memberikan kepastian hukum.
Mereka juga meminta Presiden Jokowi tidak menggunakan cara-cara represif dan melanggar hak asasi manusia dalam menangani ekspresi politik warga yang menolak RUU Cipta Kerja. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan, adanya Imbauan Direktur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan No 1035/E/KM/2020, 9 Oktober 2020, merupakan bentuk penutupan ruang berpendapat akademisi.
Sebab, di dalamnya ada imbauan kepada sivitas akademika untuk tidak ikut serta dalam aksi demonstrasi menolak RUU Cipta Kerja. Herdiansyah mengatakan, kebebasan berpendapat dan kebebasan akademik dijamin oleh konstitusi. Kampus perlu otonom dan mengabdi pada kebenaran.
Ia mengatakan, kampus seharusnya bebas dari intervensi politik yang hanya melayani kepentingan penguasa. ”Akademisi seharusnya diberi ruang untuk aktif mengkritisi dan membantah berbagai disinformasi yang disebarkan oleh berbagai pihak,” ujar Herdiansyah.