Tambahan Anggaran Protokol Kesehatan dari APBN Diharapkan Segera Cair
Sebagian tambahan dana Pilkada 2020 belum cair. Bawaslu berharap segera dicairkan pada Agustus ini. Jika telat, pengadaan APD mengusik tahapan Pilkada 2020 yang berjalan terutama untuk mencegah pandemi Covid-19.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu berharap agar tambahan anggaran Pilkada 2020 untuk menjamin penerapan protokol kesehatan Covid-19 segera dicairkan pada Agustus 2020 ini. Jika pencairan terlambat, proses pengadaan alat pelindung diri juga tidak optimal. Tahapan lanjutan pilkada pun terancam menjadi kluster baru penyebaran virus korona jenis baru.
Seperti diberitakan sebelumnya, disepakati usulan tambahan anggaran bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Rp 4,7 triliun, Bawaslu Rp 478 miliar, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Rp 39 miliar, dengan didukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran tambahan Pilkada 2020 tersebut sedianya akan dicairkan dalam tiga tahap.
Setelah tahap pertama cair pada akhir Juni kemarin, pencairan tahap kedua diharapkan terealisasi pada Agustus ini. Sementara pencairan tahap ketiga terealisasi pada Oktober mendatang.
Sejauh ini, tidak ada kendala dalam pemenuhan alat pelindung diri di tahapan verifikasi faktual calon perseorangan dan tahapan pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih pada Pilkada 2020.
Namun, lanjut Abhan, untuk pemenuhan APD di tahapan selanjutnya, anggaran belum dapat dipastikan.
Ketua Bawaslu Abhan saat dihubungi Kompas, Kamis (6/7/2020), di Jakarta, mengatakan, sejauh ini tidak ada kendala dalam pemenuhan alat pelindung diri (APD) di tahapan verifikasi faktual calon perseorangan dan tahapan pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih pada Pilkada 2020.
Namun, lanjut Abhan, untuk pemenuhan APD di tahapan selanjutnya, anggaran belum dapat dipastikan. Sebab, anggaran APD masih menggunakan tambahan anggaran pada APBN.
Adapun tahapan selanjutnya berpotensi menimbulkan kerumunan, di antaranya pengadaan logistik (19 Juli-1 November 2020), produksi dan distribusi logistik (24 September-8 Desember 2020), masa kampanye (26 September-5 Desember 2020), serta pemungutan suara (9 Desember 2020).
”Sudah kami ajukan (tambahan anggaran), tetapi belum mendapat persetujuan dari Kemenkeu (Kementerian Keuangan),” ujar Abhan.
Menurut Abhan, telatnya pencairan anggaran tambahan ini bisa menghambat proses pengadaan APD bagi jajaran penyelenggara. Sebab, pengadaan dan pendistribusian APD membutuhkan waktu.
”Di tengah pandemi ini, pemenuhan APD sangat menjadi kebutuhan dan krusial bagi penyelenggara agar tak malah menulari virus kepada orang lain, bahkan tertular virus,” ucap Abhan.
Dana hibah daerah
Selain tambahan anggaran dari APBN, Abhan juga mengingatkan agar pencairan dana Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) untuk Pilkada 2020 bisa dipercepat. Sebab, masih ada beberapa kabupaten dan kota yang belum cair 100 persen.
”Kami berharap agar kabupaten dan kota yang bersangkutan untuk segera dapat mencairkan agar terpenuhi 100 persen seperti dalam NPHD,” katanya.
Dari data Kementerian Dalam Negeri, hingga Selasa kemarin pukul 17.00 WIB, pencairan NPHD untuk KPU telah mencapai 93,06 persen dan untuk Bawaslu sebesar 93,26 persen.
Adapun dari 270 daerah penyelenggara pilkada, ada 217 daerah yang sudah mencairkan dana NPHD besar 100 persen kepada KPU. Sementara itu, ada 232 daerah yang sudah mencairkan dana NPHD sebesar 100 persen kepada Bawaslu. Selebihnya, pencairan masih berkisar 40-80 persen.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri Mochammad Ardian menegaskan, jika sampai minggu pertama Agustus pemerintah daerah pelaksana pilkada belum mencairkan 100 persen dana NPHD, kepala daerah tersebut akan dipanggil ke Jakarta untuk diberi pengarahan khusus oleh Mendagri Tito Karnavian.
Kami berharap agar kabupaten dan kota yang bersangkutan untuk segera dapat mencairkan agar terpenuhi 100 persen seperti dalam NPHD.
Kesadaran bersama
Abhan menyampaikan, persoalan protokol kesehatan adalah hal baru dalam pilkada di tengah pandemi. Karena itu, dibutuhkan kesadaran bersama, tidak hanya bagi penyelenggara pemilu, tetapi juga pemilih dan peserta pilkada.
Sementara itu, Ketua KPU Arief Budiman menyampaikan, mekanisme protokol kesehatan di setiap tahapan pilkada telah diatur di dalam peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020. ”Isinya, setiap tahapan harus menerapkan protokol kesehatan. Itu yang kami uraikan di setiap tahapan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini sependapat dengan Abhan bahwa tantanan terbesar di Pilkada 2020 adalah disiplin dan kepatuhan pada protokol kesehatan. Itu tak hanya berlaku bagi penyelenggara, tetapi juga bagi seluruh pemangku kepentingan, khususnya peserta pemilihan dan pemilih.
Titi juga mengingatkan bahwasanya agenda Pilkada 2020 masih panjang. Ia berharap penyelenggara pemilu tidak terjebak dengan rutinitas yang semakin tinggi sehingga abai terhadap protokol kesehatan.
”Karena intensitas interaksi yang sering, jadi mereka menganggap rekan kerja sudah rapid test, akhirnya cenderung lebih permisif terhadap kepatuhan protokol kesehatan. Ini tidak boleh terjadi,” kata Titi.
Tingkat partisipasi
Untuk meyakinkan masyarakat bahwa pilkada itu penting dan perlu, tak bisa hanya dengan menjamin protokol kesehatan yang baik, tetapi juga membuat keyakinan kepada masyarakat bahwa pilkada ini diikuti oleh calon-calon yang kompeten dan bisa memberikan optimisme bagi perbaikan daerah di tengah situasi krisis yang sedang kita hadapi. Agak anomali kalau kita berharap partisipasi tinggi di tengah situasi krisis, tetapi kemudian kualitas calonnya tidak menjanjikan.
Titi menilai, tingkat partisipasi pemilih di masa pandemi ini ditentukan beberapa faktor. Pertama, masyarakat harus meyakini pergelaran pilkada ini aman dan sehat. Faktor lain yang krusial adalah kualitas calon kepala daerah.
”Untuk meyakinkan masyarakat bahwa pilkada itu penting dan perlu, tak bisa hanya dengan menjamin protokol kesehatan yang baik, tetapi juga membuat keyakinan kepada masyarakat bahwa pilkada ini diikuti oleh calon-calon yang kompeten dan bisa memberikan optimisme bagi perbaikan daerah di tengah situasi krisis yang sedang kita hadapi. Agak anomali kalau kita berharap partisipasi tinggi di tengah situasi krisis, tetapi kemudian kualitas calonnya tidak menjanjikan,” tutur Titi.
Oleh karena itu, lanjut Titi, kesuksesan Pilkada 2020 ini juga membutuhkan komitmen partai politik. Jangan sampai investasi yang sangat mahal ini tidak diikuti oleh lahirnya pemimpin-pemimpin yang bisa mempercepat daerah melalui masa krisis.
”Ini, kan, kita menggelar pilkada di tengah masa krisis, harusnya pilihan-pilihan pemimpin yang ditawarkan partai adalah pemimpin yang bisa mempercepat kita mengatasi kondisi krisis ini. Kita istilahnya sudah mempertaruhkan kesehatan masyarakat, mengeluarkan begitu besar dana, dan itu harus punya makna. Dan itu akan bermakna kalau parpol khususnya punya komitmen kuat mencapai tujuan itu,” tutur Titi.