Jerat Remaja Perkotaan Berhadapan dengan Hukum
Pelaku kejahatan tidak lagi orang dewasa dan orang dari kalangan ekonomi menengah ke bawah yang terdesak faktor ekonomi. Saat ini jamak pelaku kejahatan adalah anak muda dan dari kalangan menengah atas.
Fenomena remaja terlibat kriminal atau berhadapan dengan hukum kembali terjadi di Kota Bogor, Jawa Barat. Setelah pengungkapan kasus pembacokan maut, terbaru Kepolisian Resor Kota Bogor menangkap remaja 15 tahun atas tindak kekerasan seksual pada anak berusia 3 tahun.
Baru satu minggu keluar dari balai permasyarakatan (bapas) karena kasus pencurian di salah satu kafe sekitar Rp 13 juta, A (15) kembali ditangkap karena tindakan kekerasan seksual pada adik sepupunya berusia 3 tahun. A melakukan perbuatan bejat itu pada Sabtu (13/5/2023) dirumahnya di Malabar, Bogor Tengah.
Baca juga: Bogor Darurat Kekerasan Pelajar
Tak lama setelah mendapatkan laporan, polisi langsung meringkus remaja itu. Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Bogor Komisaris Rizka Fadhila mengatakan, hukuman 1 bulan karena kasus pencurian ternyata tidak membuat A jera melakukan tindakan melawan hukum.
”Pelaku justru melakukan tindakan tak terpuji dengan tindak pencabulan. Dia harus berhadapan dengan hukum kembali,” kata Rizka, Senin (22/5/2023).
Dari hasil pemeriksaan sementara, A sebelumnya beberapa kali memesan layanan prostitusi daring melalui aplikasi Michat. Dari kebiasaan itu, A yang tak kuat menahan hasrat seksualnya dan tega melakukan tindak kekerasan seksual pada saudarinya sendiri.
Belajar dari kasus itu, unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Bogor akan menggandeng sejumlah pihak untuk pendampingan psikologi remaja yang berhadapan dengan hukum. Upaya itu ditujukan agar kelak saat mereka keluar dari bapas tidak mengulangi tindakan melawan hukum.
Seperti diberitakan sebelumnya, Polresta Bogor menangkap pelajar ASR (17), pelaku utama pembacokan maut kepada siswa SMK Bina Warga 1, AS (16), di lampu lalu lintas (traffic light) Pomad di Jalan Raya Jakarta-Bogor, Parigi, Bogor Utara, pada Jumat (10/3/2023). Polisi menangkap ASR di Yogyakarta, Kamis (11/5/2023) dini hari, di sebuah warung mi di Bantul.
Adapun dua pelaku lain yang juga rekannya, yaitu MA (17) dan SA (18), ditangkap pada Senin (13/3/2023) atau tiga hari setelah peristiwa pembacokan. MA ditangkap di Lebak, Banten, sedangkan SA (18) ditangkap di Babakan Madang, Kabupaten Bogor. MA dan SA sudah diadili dan dijatuhi vonis 8 tahun penjara.
Tindakan kekerasan jalanan oleh tiga pelajar itu berawal dari tantangan di media sosial. Ketiganya berboncengan menyusur jalan dengan membawa senjata tajam dan menyasar secara acak pelajar yang mereka temui di jalan. Salah satu pelajar yang menjadi korban, AS, tewas akibat terkena bacokan, Padahal, AS tidak pernah terlibat dalam aksi provokasi melalui media sosial.
Dalam pelariannya dari kejaran polisi, ASR sempat mendatangi seorang dukun di Cianjur agar tidak tertangkap polisi. ”Dari Cianjur ke Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, menuju Yogyakarta. Selain menghindari polisi, dia lari ke Yogyakarta juga karena menggelapkan uang temannya Rp 1 juta untuk pembayaran seragam,” ujar Rizka.
Dari hasil pemeriksaan sementara dan pendampingan psikologi, ASR nekat membacok pelaku karena merasa tidak ada perhatian oleh keluarga. Sejak orangtuanya bercerai, ASR menjadi emosial dan secara kejiwaan terpukul dan terganggu. ASR jarang pulang dan banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya.
Berdasarkan catatan polisi, sebelum melakukan tindakan pembacokan, ASR pernah ditahan oleh Polres Bogor karena terlibat dalam kasus penjambretan dan pencurian.
Baca juga: Emosi Terganggu karena Orangtua Bercerai, Seorang Pelajar Tega Membacok Pelajar Lain
Dari data Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dalam kurun waktu 2020-2022 secara nasional, tercatat kasus anak berhadapan dengan hukum berjumlah 2.338 anak pelaku yang terdiri dari laki-laki sebanyak 2.271 anak dan perempuan sebanyak 67 anak yang ditangani oleh BPHN melalui 619 organisasi bantuan hukum (OBH) yang terakreditasi oleh BPHN.
Adapun tiga kasus teratas yang banyak melibatkan anak berhadapan dengan hukum, yaitu pencurian 838 kasus, penyalahgunaan narkotika 341 kasus, dan kasus lain-lain semisal pornografi, perundungan, hingga kecelakaan lalu lintas.
Reproduksi sosial kriminalitas
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, mengatakan, kriminalitas saat ini mengalami reproduksi sosial karena para pelaku kejahatan tidak lagi orang dewasa dan orang dari kalangan ekonomi menengah ke bawah yang melakukan kejahatan karena faktor ekonomi.
”Dari beberapa kasus menunjukkan, pelaku kriminalitas ternyata tidak lagi didominasi orang dewasa, tetapi sudah dilakukan oleh anak muda atau remaja dari latar belakang sosial. Lalu, kriminalitas dilakukan oleh kalangan menengah dan atas. Akses kemewahan dan faktor kecukupan ekonomi mendorong anak muda ini untuk bebas melakukan apa pun bahkan berujung pada tindakan kriminal,” kata Rakhmat.
Reproduksi sosial ini, kata Rakhmat, tak lepas dari perkembangan teknologi informasi seperti media sosial yang menyuguhkan berbagai informasi tanpa batas. Anak-anak muda menjadikan itu sebagai ruang, meniru, dan mempraktikkan, mengakses, hingga menjangkau konten yang ada di dalam media sosial.
Seperti kasus remaja 15 tahun yang mudahnya mengakses media sosial untuk memesan prostitusi daring. Tanpa pengawasan, bermodal uang lebih, dan kemudahan akses untuk menjangkau konten di media sosial, remaja itu kapan saja dan di mana saja bisa memesan prostitusi daring.
Melalui media sosial pula, pelajar ASR terhasut tantangan berkelahi atau tawuran sehingga dalam aksinya tanpa pikir panjang membacok pelajar lainnya. Melalui media sosial, semua begitu mudah. Sadar atau tidak media sosial sudah menjadi sumber kehidupan generasi muda.
Potret keluarga perkotaan
Selain media sosial, ada faktor internal yang sangat mempengaruhi perilaku dan mental anak muda, yaitu hilangnya peran keluarga. Keluarga tidak lagi menjadi ruang membangun keharmonisan dan kehangatan secara psikologis dan sosial. Fungsi edukasi di keluarga mulai terkikis bahkan hilang. Anak-anak menjadi kering di lingkungan keluarga.
Hilangnya peran keluarga membuat para remaja mencari ruang ekspresi dan eksistensi di lingkungan pertemanan dan media sosial. Mirisnya ruang itu ternyata semakin mendeterminasi dan menjerumuskan mereka ke dalam lubang hitam. Tanpa adanya kontrol, batasan moral dan religius serta kelonggaran pengawasan membawa mereka pada tindakan yang menjurus ke tindak kriminal.
”Ada yang luput diperhatikan dalam pembangunan manusia dan kota, yaitu menciptakan lingkungan yang harmonis dan humanis terutama menguatkan peran keluarga,” ujar Rakhmat.
Dinamika kehidupan dan pekerjaan di kota besar Jabodetabek menuntut para pekerja atau orangtua untuk mengejar karier, jabatan, hingga ekonomi. Tidak ada yang salah dari tuntutan itu.
Namun, dari tuntutan itu, banyak orangtua mengorbankan waktu untuk keluarga, khususnya anak-anak. Belum lagi permasalahan orangtua seperti pertengkaran hingga perceraian memperkeruh kondisi keluarga dan tak jarang berdampak pada psikologis anak-anak.
”Bayangkan jika bapak-ibu kerja, pulang sampai rumah sudah malam. Belum lagi bekerja di Jakarta tetapi tinggal di Bodetabek. Anak sekolah tambah les. Interaksi dan komunikasi menjadi kurang. Praktis waktu efektif berkumpul Sabtu-Minggu,” katanya.
Anak-anak yang berhadapan hukum tak bisa sepenuhnya disalahkan karena ada faktor yang melatarbelakangi tindakan kriminal. Hal ini menjadi kritik dan perhatian semua pihak, terutama pemangku kebijakan, dalam melihat permasalahan keluarga di perkotaan dan menciptakan lingkungan sosial yang humanis. Kota yang sehat adalah kota yang dibangun melalui pendekatan humanis.