Emosi Terganggu karena Orangtua Bercerai, Seorang Pelajar Tega Membacok Pelajar Lain
Polisi kesulitan menangkap pelaku ASR karena kerap berpindah-pindah kota, seperti dari Cianjur, Jakarta, lalu ke Yogyakarta. Diduga ada seseorang yang menyembunyikan keberadaan ASR dari kejaran polisi.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Setelah buron hampir dua bulan, Kepolisian Resor Kota Bogor menangkap ASR (17), pelaku pembacokan maut di lampu lalu lintas Pomad di Jalan Raya Jakarta-Bogor. Aksi nekat ASR diduga karena emosinya terganggu setelah orangtuanya bercerai.
ASR (17) merupakan pelaku utama pembacokan maut kepada siswa SMK Bina Warga 1, AS (16), di traffic light atau lampu lalu lintas Pomad di Jalan Raya Jakarta-Bogor, Parigi, Bogor Utara, pada Jumat (10/3/2023) silam. Adapun dua pelaku lain yang juga rekannya, yaitu MA (17) dan SA (18), ditangkap pada Senin (13/3/2023) atau tiga hari setelah peristiwa pembacokan. MA ditangkap di Lebak, Banten, sedangkan SA (18) ditangkap di Babakan Madang, Kabupaten Bogor. MA dan SA sudah diadili dan dijatuhi vonis 8 tahun penjara.
”Kami menangkap pelaku ASR di Yogyakarta, Kamis (12/5/2023) dini hari, di sebuah warung mi di Bantul. ASR, pelaku utama, sudah berada di Bogor. Saat ini masih kami dalami siapa yang menyembunyikan pelaku,” kata Kepala Kepolisian Resor Kota Bogor Komisaris Besar Bismo Teguh Prakoso, Jumat (12/5/2023).
Tindakan kekerasan jalanan oleh tiga pelajar itu berawal dari tantangan di media sosial. Ketiganya berboncengan menyusur jalan dengan membawa senjata tajam dan menyasar secara acak pelajar yang mereka temui di jalan. Salah satu pelajar yang menjadi korban, AS, tewas akibat terkena bacokan, Padahal, AS tidak pernah terlibat dalam aksi provokasi melalui media sosial.
”ASR duduk di belakang dan membacok korban (AS) yang saat itu hendak menyeberang. MA, pemilik senjata tajam, mengendarai motor dan SA duduk di tengah yang membuang barang bukti,” ujar Bismo.
Polisi kesulitan menangkap ASR karena kerap berpindah-pindah kota, seperti dari Cianjur, Jakarta, lalu ke Yogyakarta. Diduga ada seseorang yang menyembunyikan keberadaan ASR dari kejaran polisi. Dari informasi, pihak keluarga diduga tidak terlibat menyembunyikan ASR.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Bogor Komisaris Rizka Fadhilla menyatakan, di Yogyakarta pelaku mengganti nama menjadi Dian untuk menutupi identitas dan perbuatannya. Untuk bertahan hidup, ASR menjadi pengamen, lalu bekerja di warung Indomie. Saat ditangkap, pemilik warung Indomie tidak mengetahui bahwa Dian atau ASR seorang buronan kasus pembacokan.
Dalam pelariannya, kata Rizka, ASR sempat mendatangi seorang dukun di Cianjur agar tidak tertangkap polisi. ”Dari Cianjur ke Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, menuju Yogyakarta. Selain menghindari polisi, dia lari ke Yogyakarta juga karena menggelapkan uang temannya Rp 1 juta untuk pembayaran seragam,” ujar Rizka.
Dari hasil pemeriksaan sementara dan hasil pendampingan psikologi, ASR nekat membacok pelaku karena merasa tidak ada perhatian oleh keluarga. Sejak orangtuanya bercerai, ASR menjadi emosial dan secara kejiwaan terpukul dan terganggu. ASR jarang pulang dan banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya.
Berdasarkan catatan polisi, sebelum melakukan tindakan pembacokan, ASR pernah ditahan oleh Polres Bogor karena terlibat dalam kasus penjambretan dan pencurian.
Akibat tindak kekerasan yang dilakukannya, ASR dijerat menggunakan Pasal 76c juncto Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.
Perhatian
Kasus kekerasan pelajar ini sempat menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Bogor. Pelaksana Tugas Bupati Bogor Iwan Setiawan mengatakan, kasus kekerasan pelajar menjadi atensi dan perlu keterlibatan semua pihak agar tidak ada anak-anak menjadi korban sia-sia.
”Hal ini jangan dianggap kecil, satu nyawa sangat berharga. Harus ada kesepakatan pakta integritas sekolah-sekolah tersebut. Tak hanya itu, bila mana pembinaan sekolah kepada anak-anak tidak bisa, kami rekomendasikan kepada provinsi (Jawa Barat) untuk tutup sekolah itu,” kata Iwan.
Pengawasan dengan totalitas, menurut Iwan, harus dilakukan semua pihak, termasuk pihak sekolah, karena terkesan ada pembiaran tindakan kekerasan. Satgas di sekolah juga dinilai tidak maksimal. Kendati sekolah tahu dan ada sanksi pelajar dikeluarkan dari sekolah, itu belum memutus mata rantai kekerasan.
Iwan menilai, senioritas di dunia pendidikan masih terjadi. Oknum senior atau alumni kerap ikut berkumpul bersama pelajar aktif sehingga berpotensi mendoktrin pelajar terkait rivalitas dengan sekolah tertentu.
”Saat ini, selesai (pelaku ditangkap), tetapi di lapangan ke depan bagaimana? Dikhawatirkan akan ada lagi muncul tindak kekerasan karena masih ada rivalitas itu,” kata Iwan.
Pemkab Bogor, kata Iwan, akan memperkuat kerja sama dengan Polri dan TNI untuk menekan kekerasan pelajar dan mendeteksi sekolah-sekolah yang kerap tawuran. Wilayah seperti Sukaraja, Cibinong, Citeureup Gunung Putri, Cileungsi, dan beberapa daerah lainnya menjadi peta kawasan rawan kekerasan pelajar. Selain itu, forum komunikasi pimpinan daerah juga akan dikerahkan untuk aktif ke lapangan memberikan edukasi.
Intervensi lainnya, lanjut Iwan, saat ini pihaknya akan berdiskusi dengan Polres Bogor untuk mengeluarkan surat dan memasukkan pelajar yang pernah terlibat tawuran ke ”daftar hitam”. Langkah ini diharapkan bisa memberikan efek jera kepada pelajar jika melakukan tindakan kekerasan.
”Bisa dari SKCK (surat keterangan catatan kepolisian) atau surat kelakuan baik untuk efek jera. Ini ancaman bagi pelajar. Jika ingin mencari pekerjaan, mereka bisa tidak diterima karena pernah berbuat melawan hukum. Saya setuju harus tegas,” ujarnya.
Terpisah, Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, tindakan hukum tegas harus diterapkan kepada pelaku kekerasan. Ia menilai, meski masih berstatus pelajar atau ada yang di bawah umur, tindakan sadis kalangan pelajar itu dinilai di luar batas.
”Hukuman sesuai aturan. Harus tegas karena sudah sadis, ini bukan lagi kategori kenakalan remaja,” kata Bima.
Ia mengusulkan, pemerintah kota/kabupaten diberikan kewenangan lebih oleh pemerintah provinsi untuk mengatur kebijakan sekolah-sekolah yang bermasalah, terutama pada jenjang sekolah menengah atas (SMA).
”Ada kewenangan bagi pemkab/kota untuk menindak tegas. Jika ada kewenangan itu, saya tutup sekolah, tidak boleh terima murid,” kata Bima.