Kekerasan Pelajar dan Tantangan Pembangunan Manusia
Remaja merupakan penentu pembangunan manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Tak cukup sehat fisiknya, remaja juga harus memiliki keterampilan hidup sehat.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
DOKUMENTASI HUMAS POLRESTA BOGOR
Kepolisian Resor Kota Bogor menangkap dua pelaku pembacokan terhadap pelajar AS (16). Mereka dihadirkan dalam jumpa pers, Selasa (14/3/2023). AS menjadi korban pembacokan saat hendak menyeberang jalan di Ciparigi, Bogor Utara, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/3/2023).
Remaja merupakan penentu pembangunan manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Tak cukup sehat fisiknya, remaja juga harus memiliki keterampilan hidup sehat.
Keterampilan hidup sehat, antara lain, meliputi kemampuan mengenali karakter diri sendiri, mampu berempati, menentukan pilihan terbaik, menyelesaikan masalah secara konstruktif, berpikir kritis dan kreatif, kemampuan interpersonal yang baik, termasuk pengendalian emosi dan stres. Intinya, remaja yang sehat baik secara psikologi maupun sosial.
Namun, kita dibuat miris melihat fenomenakekerasan pelajar yang berujung pada kematian empat pelajar di Bogor dan Tegal baru-baru ini (Kompas, 15/3/2023 dan Kompas.id, 13/3/2023). Meski peristiwa tersebut tak mencerminkan perilaku remaja secara umum, kita jadi bertanya, ada apa dengan remaja kita. Apalagi, peristiwa tersebut bukan yang pertama kali. Tawuran antar-pelajar sering terjadi selama ini, tak jarang berujung jatuhnya korban jiwa.
Sasaran pertama yang dinilai bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan pelajar tersebut biasanya lembaga pendidikan. Sekolah dinilai gagal mendidik para siswa, dan untuk mencegah peristiwa itu terulang sekolah harus menandatangani pakta integritas hingga ancaman sekolah ditutup jika dinilai gagal membina siswanya.
Padahal, sebagaimana pemikiran Ki Hajar Dewantara, pilar pendidikan anak tidak hanya sekolah, tetapi yang pertama-tama adalah keluarga dan kemudian masyarakat. Di atas itu semua, negara mempunyai tanggung jawab menciptakan ekosistem yang mendukung pendidikan anak, baik di keluarga, masyarakat, maupun sekolah.
Pilar pendidikan anak tidak hanya sekolah, tetapi yang pertama-tama adalah keluarga dan kemudian masyarakat.
Upaya mengatasi masalah ini merupakan tanggung jawab bersama semua pemangku kepentingan. Kekerasan pelajar tidak muncul begitu saja ketika anak duduk di bangku sekolah, tetapi merupakan buah pendidikan di keluarga dan juga masyarakat. Sekolah bisa menjadi arena reproduksi kekerasan jika gagal mengantisipasi melalui pendidikan membangun dan mengembangkan karakter anak. Bagaimana anak akan mempunyai keterampilan hidup sehat jika tidak mendapat contoh dan pendidikan yang baik dari lingkungan sekitarnya, baik keluarga, masyarakat, maupun sekolah.
Karena itu, pendekatan hukum yang diberlakukan bagi pelajar pelaku kekerasan, mulai dari sanksi berupa skors hingga ancaman masuk ”daftar hitam” sebagai efek jera tidak akan efektif selama lingkungan sekitar pelajar tersebut tidak mendukung. Bahwa pelajar pelaku kekerasan tersebut harus mendapat saksi karena tindakannya masuk kategori kriminal, benar, tetapi harus disertai pula dengan upaya mengatasi akar masalah perilaku pelajar yang menyimpang tersebut.
Upaya menyeluruh dari para pemangku kepentingan terkait menjadi kunci untuk mendukung agar remaja mempunyai keterampilan hidup sehat. Ini merupakan prasyarat utama sekaligus tantangan dalam pembangunan manusia, karena remaja yang berkualitas akan menentukan terwujudnya sumber daya manusia yang unggul.