Pengemudi Mikrolet Protes Penambahan Armada Transjakarta di Stasiun Tebet
Pengemudi mikrolet memrotes penambahan armada bus Transjakarta di Stasiun Tebet, Jakarta Selatan, karena dianggap mengancam keberadaan mereka. Padahal, armada tambahan itu mengakselerasi integrasi antarmoda di Jakarta.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Sejumlah sopir mikrolet meminta pihak PT Transjakarta untuk tidak menambah armada bus di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, dengan alasan mengganggu penghasilan mereka. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diimbau membuat terobosan agar armada mikrolet dapat terintegrasi dengan sistem angkutan umum, salah satunya dengan meningkatkan standar kualitas dan pelayanan.
Pengemudi angkutan umum mikrolet nomor 44 rute Tebet-Kuningan, Rivaldi Mahendra (31), menjelaskan, ia dan pengemudi lainnya menuntut agar pihak PT Transjakarta menarik kembali dua bus tambahan yang beroperasi dari Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. Hal tersebut karena setelah kedatangan tambahan bus tersebut, penghasilan mereka berkurang.
Tidak hanya itu, mereka mengaku bahwa penambahan armada tersebut membuat jalanan sekitar Stasiun Tebet semakin macet.
”Kami protes karena semakin banyak bus Transjakarta yang beroperasi, awalnya hanya 12 bus, tetapi dalam sebulan lalu bertambah dua menjadi sekitar 14 bus. Padahal, sudah ada perjanjian bahwa jumlah armada yang ada di sana hanya 12 unit saja,” ucapnya saat ditemui seusai demonstrasi di Jakarta, Rabu (10/5/2023).
Menurut para pengemudi, pada awalnya hanya ada 12 armada milik Transjakarta yang beroperasi di sana. Sebanyak 12 armada tersebut terbagi dalam enam armada bus kecil (minitrans) dengan kapasitas 40-50 penumpang, dan enam armada bus besar dengan kapasitas 100-200 penumpang. Penambahan dua bus besar membuat total armada yang beroperasi di sana menjadi 14 bus.
Ia menambahkan, sesuai pemaparan yang pernah mereka saksikan bersama pihak Transjakarta dan Dinas Perhubungan (Dishub), penambahan unit bus besar di lokasi tersebut harus dilakukan dengan mengurangi beberapa bus kecil. Hal itu agar adanya kehadiran armada baru tidak mengganggu penghasilan para sopir mikrolet.
”Penambahan ini tidak sesuai dengan yang mereka sampaikan kepada kami,” ucapnya.
Dari pantauan di lapangan pada pukul 12.00 tadi, puluhan sopir mikrolet nomor 44 memarkirkan mobilnya di pinggir jalan depan pintu masuk Stasiun Tebet arah barat sehingga menyebabkan kemacetan. Mereka akhirnya membubarkan diri seusai mediasi dengan pihak Transjakarta, Dishub DKI Jakarta, dan Kepolisian Sektor Tebet.
”Tuntutan kami akhirnya dipenuhi, dua bus itu sudah ditarik,” katanya.
Direktur Operasi dan Keselamatan PT Transjakarta Daud Joseph menjelaskan, pihaknya terus mencari solusi bersama agar upaya integrasi antarmoda tetap berjalan dengan baik. Komunikasi dengan para pengemudi dan pihak Dishub pun dilakukan agar memberikan hasil terbaik bagi semua pihak.
Penambahan armada penting agar integrasi antarmoda berjalan baik dan masyarakat semakin memiliki banyak pilihan untuk transportasi publik yang kualitasnya baik.
Pihak Transjakarta menjelaskan bahwa penambahan moda transportasi tersebut merupakan bagian dari upaya integrasi moda transportasi berbasis rel dengan bus yang ada di Jakarta. Sebagai informasi, ada beberapa layanan Transjakarta yang beroperasi dan terintegrasi dengan Stasiun Tebet, yakni nomor 6D rute Stasiun Tebet-Bundaran Senayan dan nomor 6C dengan rute Stasiun Tebet-Karet via Patra Kuningan.
”Kami sudah komunikasi terkait dengan penyesuaian armada, rute dan layanan yang dilakukan. Kami sudah komunikasi pula dengan pihak mikrolet untuk menemukan solusi bersama,” katanya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Masyarakat Transportasi Indonesia Deddy Herlambang menyebut permasalahan seperti itu umum terjadi karena adanya persinggungan antara trayek mikrolet dan trayek Transjakarta. Meski demikian, ia mendukung penuh rencana penambahan armada di stasiun-stasiun kereta di Jakarta karena akan memberikan pilihan yang beragam bagi masyarakat untuk bepergian.
Permasalahan tersebut dapat dipecahkan dengan mengajak para pengemudi ataupun pengusaha mikrolet untuk tergabung dalam moda Transportasi angkutan umum milik Transjakarta, JakLingko. Upaya ini merupakan cara awal yang bisa diambil pemerintah untuk meminimalkan perselisihan yang kerap terjadi tersebut.
”Namun, upaya untuk mengajak mereka kerap buntu karena ada yang tidak ingin bergabung dengan berbagai alasan dan juga aspek badan usaha yang mungkin tidak terpenuhi,” ucapnya.
Bila upaya ini buntu, pemerintah perlu membuat aturan tegas dengan menaikkan standar minimal pelayanan dan operasional bagi mikrolet. Pembaruan aturan ini tidak hanya meliputi kelayakan kendaraan, tetapi juga operasional di lapangan dan sikap pengemudi dalam bekerja. Sebagai awal, pemerintah dapat membuat aturan yang membuat pelayanan di mikrolet mampu setara dengan yang ditawarkan oleh JakLingko.
”Selama ini mikrolet mungkin belum banyak dilirik karena standarnya masih belum memenuhi keinginan masyarakat. Perlu ada aturan peningkatan standar agar upaya integrasi antarmoda berjalan baik dan masyarakat mendapatkan pelayanan transportasi publik yang baik juga,” ujarnya.