Sebagian warga Jakarta lebih memilih angkutan umum lain daripada angkot konvensional. Angkot konvensional dinilai tidak nyaman, tidak aman, dan tidak memiliki tarif dan waktu keberangkatan yang pasti.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sebagian warga Jakarta cenderung tidak memilih angkutan kota atau angkot konvensional untuk bepergian sehari-hari. Mereka memilih transportasi umum yang dinilai lebih nyaman, aman, dan memiliki jadwal yang pasti.
Fadhila (17), siswi SMA yang sedang menunggu angkot di samping pasar Palmerah, Jakarta Barat, mengatakan, ia selalu memilih angkot JakLingko untuk berangkat dan pulang sekolah. Meski harus menunggu cukup lama, ia tetap memilih angkot JakLingko sebagai tumpangannya.
Ia menilai angkot JakLingko lebih bersih dan nyaman dibandingkan angkot konvensional. Selain itu, ia pernah punya pengalaman menjadi korban kejahatan ketika dulu naik angkot konvensional sehingga kapok.
"(Angkot) JakLingko lebih aman. Aku rasa karena ada CCTV (kamera pengawas) yang mengawasi seisi angkot, jadi orang tidak bisa berbuat jahat," ujarnya, Selasa (8/11/2022).
Karena itu, Fadhila pun rela menunggu angkot berkode Jak 14 dengan rute Tanah Abang-Meruya selama 40 menit. Padahal, selama menunggu itu, ada 16 angkot konvensional M11 yang melayani rute yang sama melintas.
Hal sama juga dilakukan karyawati bernama Idha (27). Dia selalu menunggu angkot JakLinko berkode Jak11 dengan rute Tanah Abang-Kebayoran Lama di halte JakLingko dekat stasiun Tanah Abang. Ia bisa menunggu 30 menit hingga satu jam untuk mendapatkan kesempatan naik angkot Jak11.
Padahal, angkot konvensional dengan rute yang sama (berkode M09) selalu kosong. Tetapi, Idha tetap memilih angkot JakLingko dengan alasan memiliki tarif yang lebih pasti dibandingkan dengan angkot konvensional.
Tarif angkot JakLingko di semua rute saat ini masih gratis. Sedangkan, tarif angkot konvensional per rute rata-rata Rp 6.000 hingga Rp 10.000. Padahal, anjuran dari Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), tarif angkot konvensional adalah Rp 6.000.
"Pernah saya naik angkot biasa (M09) tapi turun di daerah Grogol Utara, dimintai Rp 10.000. Padahal, itu cuma dekat, tetap saja dimintai harga penuh. Kalau JakLingko, mau saya naik bolak-balik, rute mana pun, tetap gratis. Makanya, saya akan naik angkot biasa kalau kepepet saja," ujar Idha.
Andi (43), sopir angkot M11, mengatakan, harga yang ia tetapkan tergantung dari mana penumpang naik. Apabila penumpang naik dari dekat dengan titik awal rute dan turun dekat dengan titik akhir rute, maka tarifnya dihitung penuh, yakni Rp 7.000. Sedangkan, kalau penumpang hanya naik setengah rute atau kurang dari itu, maka bayarannya adalah Rp 4.000 atau Rp 5.000.
Akan tetapi, Andi mengakui, penghitungan tarif ini memang terkadang tidak tentu. Beberapa penyesuaian harga harus diperhitungkan sopir untuk bisa mendapatkan target setoran.
Menurut Andi, kebanyakan penumpang cenderung memilih angkot JakLingko dan transportasi daring daripada angkot konvensional. Belum lagi, ia harus bersaing dengan angkot lain untuk mendapatkan penumpang.
Biasanya, penumpang akan naik angkot konvensional apabila angkot JakLingko sudah sulit didapatkan. Pada jam-jam sibuk, seperti pukul 17.00, Andi pasti mendapatkan penumpang. Namun, di luar jam sibuk itu, ia mengaku kesulitan mendapatkan penumpang.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menjelaskan, penumpang tidak mau menggunakan angkot konvensional karena faktor kenyamanan, keamanan, dan kepastian. Ketiga hal itu menunjukan mutu dari suatu kualitas transportasi umum.
Angkot konvensional tidak menunjang ketiga faktor tersebut. Menurut Djoko, harusnya ada sebuah evaluasi yang dilakukan para pengusaha angkot konvensional terkait hal itu.
Djoko mengatakan, jika tidak ada perkembangan atau perbaikan yang signifikan, ke depannya angkot konvensional akan ditinggalkan dan tergeser oleh angkutan umum yang lain. Hal pertama yang harus diubah adalah soal kepastian tarif dan waktu berangkat.
Masalahnya, tarif angkot konvensional tidak pasti dan keberangkatannya bisa memakan waktu yang lama. "Angkot kalau ngetem sambil menunggu penumpang bisa sampai setengah jam. Ini lama sekali. Sedangkan, (angkot) JakLingko begitu penumpang naik, langsung jalan," ujarnya.