Setelah pandemi turun dan orang bisa berkegiatan di luar rumah, angkot dan angkudes telanjur hilang. Ada jalur-jalur yang mati. Waktu tunggu kendaraan umum semakin lama. Terminal-terminal pun sepi tidak seperti dulu.
Oleh
VITA PRIYAMBADA
·5 menit baca
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA
Angkot-angkot ngetem mencari penumpang di Jalan Margonda, Depok, Jawa Barat, Sabtu (13/7/2019).
Perkembangan teknologi membawa perubahan dalam kehidupan, bisa positif bisa negatif. Salah satu yang terdampak adalah bidang transportasi dengan munculnya transportasi daring sepeda motor dan mobil.
Ke kantor, ke sekolah, ke mal, ke rumah, menggunakan gawai. Cukup menunggu di satu titik, pemesan pun dijemput. Tidak perlu berjalan ke halte atau ke tempat perhentian kendaraan umum. Banyak juga yang membeli sepeda motor pribadi. Praktis.
Pada awal pandemi, ketika kegiatan ke luar rumah sangat dibatasi, angkutan umum kecil yang biasa disebut angkot dan angkutan desa (angkudes) hampir tidak ada penumpang. Banyak yang akhirnya tidak jalan.
Setelah pandemi berkurang dan orang diperbolehkan berkegiatan di luar rumah, angkot dan angkudes telanjur menghilang. Ada jalur-jalur yang mati. Akibatnya, waktu tunggu kendaraan umum semakin lama. Terminal-terminal pun sepi, tidak seperti dulu.
Saat saya dalam perjalanan dari Kota Malang ke Kabupaten, sedikit sekali ketemu angkutan perdesaan. Yang ada pun jarang memenuhi trayek antarterminal karena belum sampai tujuan sudah balik arah.
Saya yang sejak dulu terbiasa mengandalkan kendaraan umum mau tidak mau melanjutkan perjalanan menggunakan transportasi daring dengan ongkos lebih mahal. Saya yakin hal ini tidak hanya terjadi di Malang, tetapi juga di banyak daerah lain. Hal ini pernah saya alami jauh sebelum pandemi saat naik angkot di Mojokerto.
Waktu tunggu sampai angkot benar-benar keluar terminal lama dan terminal dalam keadaan sepi. Sungguh memprihatinkan nasib angkot dan angkudes.
Vita PriyambadaKompleks Perhubungan, Jatiwaringin, Jakarta 13620
Potensi Risiko 1
Mulai 1 Juli 2022 membeli Pertalite dan solar wajib melalui aplikasi MyPertamina. Tujuannya agar subsidi BBM tepat sasaran.
Bukankah ada pesan di media sosial bahwa ada potensi risiko jika mengaktifkan HP ketika sedang mengisi BBM? Apakah pemerintah sudah mempertimbangkan dampaknya masak-masak?
Akan lebih praktis jika pembeli cukup menunjukkan STNK. Bukankah di situ tertulis berapa isi bahan bakar, tinggal pilih yang di bawah 2.000 cc.
Paul SutaryonoCimanggis, Depok 16452
Potensi Risiko 2
Pengendara sepeda motor dan mobil mengantre untuk mengisi BBM di SPBU Manahan, Solo, Jawa Tengah, Rabu (18/12/2019).
Untuk membeli solar subsidi dan Pertalite, masyarakat harus mengakses aplikasi MyPertamina. Kabarnya untuk mencegah pembelian oleh pemilik kendaraan (mobil, motor) yang tidak berhak mendapatkan BBM bersubsidi.
Tidak semua orang memiliki ponsel dan melek teknologi. Banyak yang untuk makan saja masih kesulitan, misalnya petani dan nelayan. Mereka menggunakan solar subsidi untuk mata pencarian.
Tidak semua orang juga punya internet karena tidak perlu membeli paket internet. Bukankah di area SPBU ada larangan penggunaan ponsel?
Bagaimana jika SPBU potensi risiko jadi kenyataan karena mengaktifkan ponsel? Siapa bertanggung jawab?
Bukankah penggunaan aplikasi juga memakan waktu sehingga berpotensi memperpanjang antrean? Seharusnya bisa cepat mengisi solar, jadi molor karena harus membuka aplikasi. Belum lagi kalau lagi susah sinyal.
Tolong kami, pemerintah.
Boyke NainggolanJl Mawar Merah, Perumnas Klender, Jakarta Timur 13460
Hemat BBM
Upaya pemerintah membatasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan semakin meroketnya harga minyak dunia akibat perang Ukraina dengan Rusia.
Masyarakat harus mengerti bahwa keadaan sulit ini dirasakan oleh semua warga dunia. Langkah pemerintah membatasi subsidi harus didukung semua pihak agar tepat guna, tepat sasaran. Untuk itu perlu dibangun sistem aplikasi digital yang pas.
Mulai 1 Juli 2022, masyarakat pengguna BBM subsidi bensin Pertalite dan solar subsidi harus mendaftar di aplikasi MyPertamina.
Pemohon harus memasukkan data diri, lengkap dengan data kendaraan yang dimiliki. Dengan demikian, yang berwenang dapat menggolongkan jenis BBM yang sesuai.
Pihak berwenang tentunya perlu membuat aturan penggolongan BBM subsidi yang jelas agar rakyat paham. Hal ini mengingat tingkat edukasi masyarakat yang masih sangat beragam. Perlu cara yang mudah, cepat, dan tidak menimbulkan masalah, apalagi jika memakai aplikasi di area pengisian BBM.
Cara yang paling mudah adalah memakai kartu bayar, semacam e-toll. Sistem ini sudah dikenal, pengawasan pun mudah dan cepat. Data pengguna dan volume BBM bisa tercatat aman.
Pertamina, selaku operator SPBU, dapat bekerja sama dengan bank pemerintah atau swasta menerbitkan kartu bayar e-BBM (semacam e-toll) yang dibedakan warna kartunya, hijau untuk BBM subsidi dan merah untuk BBM nonsubsidi. Data lengkap diserahkan kepada bank yang dipilih pemohon.
Pihak bank menerbitkan kartu e-BBM setelah mencocokkan data diri pemohon sesuai dengan data bank atau kepolisian. Tercetak di kartu e-BBM, jenis kendaraan dan nomor polisinya.
Petugas SPBU dapat dengan mudah melihat dari warna kartu e-BBM, jika hijau diarahkan ke unit pompa BBM subsidi, jika merah ke unit BBM nonsubsidi.
Kartu e-BBM melekat pada mobil, pengemudi dapat mengisi BBM sesuai golongan ataupun mengisi dana (top-up) melalui aplikasi daring atau via ATM.
Dengan peranti card reader, kartu e-BBM dapat dipakai mencetak bukti volume pengisian BBM atau sebagai sarana pembayaran.
Memang tidak mudah memulainya. Namun, belajar dari awal penggunaan e-toll, kini masyarakat juga merasakan manfaatnya.
FX WibisonoJl Kumudasmoro Utara, Semarang 50148
Ganjil Genap
ARIS SETIAWAN YODI UNTUK KOMPAS
Kendaraan berpelat nomor ganjil yang mencoba masuk Pintu Tol Kuncir II saat pemberlakuan ganjil-genap, Senin (16/4/2018). Papan rambu elektronik tidak terus menerus memberikan informasi pemberlakuan ganjil - genap
Aturan ganjil genap di sebagian besar ruas jalan DKI Jakarta pada jam tertentu perlu ditinjau karena sampai saat ini tidak menyelesaikan masalah kemacetan.
Menurut pengamatan kami, baik pada tanggal ganjil maupun genap, jalanan tetap saja macet seperti sebelum ada peraturan ganjil genap.
Malah aturan ini bisa menambah kemacetan karena banyak orang yang mampu membeli kendaraan lebih dari satu agar tetap bisa beraktivitas saat ganjil genap.