Pemprov DKI Jakarta terus mengupayakan peningkatan layanan transportasi publik, termasuk pada aspek pembayaran melalui kebijakan tarif terintegrasi JakLingko.
Oleh
Eren Marsyukrilla / Litbang Kompas
·4 menit baca
Di tengah dominasi penggunaan kendaraan pribadi sebagai moda transportasi untuk beraktivitas di ibu kota, berbagai langkah strategis dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk terus meningkatkan layanan angkutan umum. Peningkatan kualitas halte maupun unit armada angkutan yang pengelolaannya berbasis terintegrasi menjadi hal yang dalam beberapa waktu terakhir masif dilakukan.
Dalam sejumlah aspek mendasar tersebut, pengelolaan transportasi umum itu pun mendapat apresiasi tinggi dari warga ibu kota. Hasil Jajak Pendapat Kompas pada pertengahan November lalu kepada 504 responden yang berdomisili di Jakarta dan wilayah penyangga di sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), merekam, mayoritas atau tak kurang dari 88,6 persen responden menilai pelayanan angkutan umum pada aspek kebersihan dan kenyamanan sudah semakin baik.
Adapun terkait pembenahan pada aspek ketepatan waktu, tarif dan metode pembayaran mendapatkan apresiasi dari setidaknya tiga per lima bagian responden. Selain pengembangan sarana fisik, Pemprov DKI Jakarta memang cukup banyak mentransformasi tata kelola transportasi sampai dengan urusan terkait tarif dan cara pembayaran.
Terintegrasi
Tanggal 7 Oktober 2022 lalu, Pemprov DKI Jakarta resmi memberlakukan kebijakan tarif terintegrasi JakLingko. Langkah tersebut merupakan wujud dari komitmen untuk menghadirkan transportasi publik yang saling terhubung dengan biaya lebih terjangkau.
Keputusan mengenai tarif terintegrasi itu tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 733/2022 tentang Besaran Paket Tarif Layanan Angkutan Umum Massal. Skema tarif integrasi berlaku dengan ketentuan tarif dasar Rp 2.500 pada awal perjalanan dan Rp 250 untuk tiap kilometer. Adapun tarif maksimal yang dikenakan sebesar Rp 10.000 dalam satu kali perjalanan.
Penggunaan tarif terintegrasi dapat diakses melalui aplikasi daring JakLingko. Pada platform itu, bagi penumpang yang membeli tiket dengan rute perjalanan lintas moda maka secara otomatis tarif batas atas akan diterapkan. Apabila hanya menggunakan satu moda, penumpang akan dikenakan besaran tarif sesuai dengan masing-masing moda.
Besaran tarif batas maksimal itu tentu menjadi tawaran menarik bagi pengguna kendaraan pribadi saat terjadi pembengkakan pengeluaran untuk biaya mobilitas akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Hasil jajak pendapat menangkap sekitar separuh responden mengaku menghabiskan biaya transportasi per hari kurang dari Rp 20.000. Sementara, sepertiga responden lainnya menyatakan pengeluaran setiap hari untuk keperluan perjalanan berkisar Rp 20.000 hingga Rp 40.000.
Di tengah beragamnya pilihan cara pembayaran angkutan umum, JakLingko yang memberikan berbagai fitur menarik yang menguntungkan pengguna justru semestinya dapat lebih populer digunakan.
Penerapan kebijakan tarif yang terintegrasi ini sebetulnya merupakan langkah lanjutan dari konsepsi besar keterhubungan atau JakLingko untuk setiap moda transportasi umum yang ada di Jakarta, mulai dari bus transjakarta, Kereta Rel Listrik (KRL), Moda Raya Terpadu (MRT),
Lintas Rel Terpadu (LRT), dan hingga mikrotrans atau yang lebih jamak dikenal dengan angkot. Dengan demikian, esensi integrasi yang diterapkan bukan lagi hanya adanya koneksi pada perilaku berpindah moda, namun juga lebih diefektifkan dengan sistem pembayaran yang juga terintegrasi.
Sosialisasi
Sistem pembayaran yang saling terhubung menjadi angin segar bagi mewujudnya transportasi massal yang ideal dengan biaya lebih murah serta mengefektifkan mobilitas. Namun di tengah gaung besar kemanfaatan itu, setelah lebih dari sebulan kebijakan tarif intergrasi diluncurkan, tampaknya masih belum cukup tersosialisasi dengan optimal.
Kondisi itu terbaca dari besarnya proporsi ketidaktahuan publik terkait informasi tarif terintegrasi angkutan umum di Jakarta. Lebih dari 61,3 persen responden jajak pendapat mengaku belum mengetahui adanya pemberlakuan kebijakan tarif terintegrasi JakLingko. Selebihnya sekitar seperlima bagian responden mengaku tahu namun belum pernah menggunakan layanan tarif terintegrasi itu. Hanya sekitar 17 persen responden yang mengaku tahu dan sudah memiliki pengalaman menggunakan tarif terintegrasi tersebut.
Meskipun demikian, persepsi positif terhadap kebijakan tarif terintegrasi dengan nilai kemanfaatan yang berdampak langsung bagi penumpang, menarik perhatian masyarakat. Tak kurang dari 69,3 persen responden mengaku tertarik menggunakan angkutan umum dengan sistem pembayaran yang terintegrasi dan biaya yang lebih murah tersebut.
Melihat hal tersebut, pengenalan kebijakan tarif terintegrasi juga perlu didorong dan dioptimalkan, termasuk secara bersamaan juga turut mempopulerkan penggunaan aplikasi daring JakLingko. Di tengah beragamnya pilihan cara pembayaran angkutan umum, JakLingko yang memberikan berbagai fitur menarik yang menguntungkan pengguna justru semestinya dapat lebih populer digunakan.
Sejauh ini berdasarkan hasil survei, penggunaan aplikasi JakLingko sebagai alat pembayaran saat mengakses transportasi umum belum cukup diminati oleh warga Jakarta. Sebagian besar (43,3 persen) pengguna angkutan umum justru lebih memilih uang elektronik untuk transaksi pembayaran tiket perjalanan.
Dalam proporsi yang tak kalah besar, sekitar 39,8 persen responden lainnya, mengaku justru masih nyaman dengan pembayaran uang tunai saat berpergian menggunakan angkutan umum. Sementara, penumpang angkutan umum yang mengaku telah mengakses aplikasi JakLingko hanya sekitar 2,3 persen.
Segenap upaya untuk mentransformasi kualitas pelayanan transportasi umum tentunya perlu mendapatkan dukungan dari masyarakat. Di luar penerapan kebijakan tarif dan berbagai aspek lainnya oleh Pemprov DKI Jakarta, memupuk kesadaran publik untuk dapat mengubah pola bermobilisasi dengan berorientasi angkutan umum juga menjadi tantangan tersendiri yang harus dijawab.