Masyarakat Ibu Kota menaruh harapan besar Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dapat memenuhi kebutuhan mereka akan air bersih.
Oleh
MB DEWI PANCAWATI/LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
Harapan masyarakat Jakarta untuk dapat menikmati aliran air bersih dari jaringan pipa yang terungkap dalam Jajak Pendapat Kompas yang digelar pada 11-13 Oktober lalu. Sebagian besar responden (71,6 persen) meyakini Pemprov DKI Jakarta, dalam hal ini Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), PAM Jaya, mampu mencapai target menjangkau seluruh wilayah Jakarta dengan saluran pipa air bersih pada 2030.
Harapan dan keyakinan warga Jakarta tersebut tentu akan menjadi pemacu semangat bagi pemprov untuk segera melakukan pembenahan terhadap tata kelola air perpipaan mengingat problem krisis air bersih di Ibu Kota masih belum tuntas. Apalagi awal tahun depan pengelolaan air bersih perpipaan akan dikelola secara mandiri oleh PAM Jaya setelah masa kontrak dengan dua perusahaan swasta berakhir Januari 2023.
Hampir 25 tahun masa kerja sama berakhir, penyediaan air bersih warga Jakarta belum merata. Hingga Oktober 2022, cakupan pelayanan PAM Jaya baru 65,85 persen dari seluruh DKI. Cakupan itu terdiri dari 913.913 pelanggan, panjang pipa 12.075 kilometer, kapasitas produksi 20.082 liter per detik, dan kehilangan air atau nonrevenue water 46,47 persen.
Problem air bersih perpipaan di wilayah DKI Jakarta masih seputar akses atau keterjangkauan yang belum merata di semua wilayah. Padahal pengembangan sektor air minum di Jakarta sudah dimulai sejak Juni 1995 ketika Presiden Soeharto mengeluarkan petunjuk tentang perlunya sebuah skema kerja sama pemerintah-swasta untuk mengelola air bersih.
Namun, kerja sama dengan dua perusahaan swasta, yakni PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) yang menyuplai air bersih wilayah barat dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) yang menyediakan air bersih wilayah Timur yang dimulai tahun 1998, juga tidak menyelesaikan masalah, justru memunculkan isu swastanisasi dalam pengelolaannya.
Bahkan, tahun 2012 setelah 14 tahun kontrak kerja sama dengan operator swasta tersebut berjalan, lembaga bantuan hukum dan sejumlah elemen masyarakat pernah mengajukan gugatan warga negara (citizen law suit) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Warga meminta kontrak kerja sama antara Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta dan dua operator swasta tersebut dihentikan. Perjanjian kerja sama itu dinilai merugikan negara dan masyarakat.
Sayangnya, tahun 2016 upaya gugatan warga terhadap pengelolaan air bersih perpipaan Jakarta tersebut terpatahkan setelah majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memenangkan warga.
Seiring berjalannya waktu, naik turun dan tarik ulur isu swastanisasi air serta pengambilalihan pengelolaan air bersih oleh Pemprov terus bergulir, hingga masa kerja sama tersebut hampir berakhir dan telah sampai pada masa transisi pengakhiran kerja sama sejak 1 Agustus 2022.
Air tanah
Selain akses, problem air bersih perpipaan juga tertangkap dari keluhan pelanggan terkait kuantitas, kualitas, dan kontinuitas yang biasanya seputar keluhan air kecil, air mati, pipa bocor, dan kejernihan air. Kebocoran pipa juga menjadi hal yang sangat serius karena berkontribusi terhadap kehilangan air yang cukup mengkhawatirkan. Kehilangan air di PAM Jaya sudah mendekati 50 persen pada Oktober 2022 (46,47 persen). Sementara target kehilangan air pada 2022 sebesar 29,49 persen.
Kehilangan air juga menjadi masalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) pada umumnya di seluruh Indonesia. Tahun 2019 secara nasional tercatat rata-rata terjadi kehilangan air sebesar 33,16 persen. Selain disebabkan oleh kebocoran pipa dan limpahan tangki reservoir, faktor nonfisik, seperti konsumsi tak resmi, ketidakakuratan meter air, dan kesalahan penanganan data juga menyumbang kehilangan air yang menimbulkan kerugian finansial.
Di sisi lain, masifnya penggunaan air tanah masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah daerah untuk menguranginya dan mengganti dengan air bersih perpipaan. Hasil Jajak Pendapat Kompas menemukan lebih dari separuh responden (57 persen) sudah menggunakan air perpipaan dari PDAM sebagai sumber air untuk aktivitas mandi, cuci, kakus (MCK). Namun masih ada 41 persen responden yang tergantung pada air tanah.
Kondisi sebaliknya terpotret dari hasil Jajak Pendapat Kompas lima tahun lampau, yaitu pada Agustus 2017. Dengan kisaran jumlah responden yang sama, penggunaan air tanah sebagai sumber air masih lebih tinggi dibandingkan penggunaan air perpipaan. Hal ini menunjukkan semakin bertumbuhnya kesadaran untuk mengurangi penggunaan air tanah.
Terpotret juga pada jajak pendapat tahun ini, sepertiga responden mengaku mengetahui dampak negatif jika terus menggunakan air tanah dan sudah melakukan upaya untuk menguranginya. Namun dua pertiga lainnya masih perlu ditumbuhkan kesadarannya dalam memanfaatkan air tanah.
Oleh karena itu, sosialisasi dampak negatif penggunaan air tanah dan peralihan dari air tanah ke air perpipaan harus lebih gencar dilakukan. Karena dari segi biaya berlangganan, enam dari 10 responden semua golongan status sosial mengaku biaya berlangganan air PDAM sudah sesuai dengan kualitasnya. Sebanyak 15,1 persen menyebut tidak mahal, tetapi ada sekitar 23 persen yang berpendapat masih terlalu mahal.
Kesadaran masyarakat mengurangi air tanah yang mulai tumbuh dan keyakinan bahwa pemerintah daerah bisa mencapai target penyediaan air bersih perpipaan secara merata, disertai dengan upaya konservasi air menumbuhkan harapan, masyarakat di Ibu Kota tak lagi mengalami krisis air bersih.