Warga Jakarta Masih Beradaptasi Hadapi Penutupan Putar Balik Arah Jalan
Rencana Pemerintah provinsi DKI Jakarta menutup 27 titik putar balik mengundang ragam reaksi dari warga. Bahkan, salah satu yang telah dipasangi pembatas beton terpaksa dibongkar kembali, imbas protes dari warga.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga DKI Jakarta belum terbiasa menghadapi penutupan 27 titik putar balik arah jalan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengurai kemacetan lalu lintas. Dinas Perhubungan DKI Jakarta secara bertahap menutup titik putar balik yang selama ini memicu kemacetan di sejumlah wilayah di Jakarta.
Protes warga di sekitar Jalan Pangeran Antasari, tepatnya di simpang Jalan H Naim II dengan Jalan H. Naim III, Jakarta Selatan, berakhir dengan pembongkaran pembatas beton yang telah terpasang. ”Kamis kemarin (30/3/2023), sempat dipasangi pembatas, tetapi banyak warga yang protes,” kata Ipul, warga yang turut menjadi ”pak ogah” di kawasan tersebut, Minggu (2/4/2023).
Menurut Ipul, penutupan titik putar balik arah jalan itu menyulitkan warga yang tinggal di sekitar Jalan H Naim II dan Jalan H Naim III. Mereka harus mencari titik putar balik alternatif yang berjarak 1,1 kilometer.
Keluhan serupa diungkapkan Suhaery, pengemudi ojek daring yang sering melewati Jalan Pangeran Antasari. Menurut Suhaery, titik putar balik alternatif terlalu jauh sekaligus membuat kemacetan berpindah.
Hal tersebut diperparah kompleks sekolah terpadu di dekat titik putar balik alternatif. Banyak mobil penjemput parkir menggunakan bahu jalan sehingga arus lalu lintas menuju titik putar alternatif menjadi tersendat dan cenderung macet.
”Karena banyak warga yang protes, kalau enggak salah, pembatasnya hanya terpasang sekitar tiga jam (13.00-16.00), kemudian diangkut kembali oleh Dishub DKI,” ujarnya.
Reaksi positif
Sementara itu, ruas jalan lain yang telah dipasang pembatas beton, yakni Jalan Raya Bogor, Kramat Jati, Jakarta Timur, juga mengundang sejumlah reaksi.
Fendi, penjaga toko di seberang Pasar Kramat Jati, mengakui ada perubahan positif. Arus lalu lintas di depan tokonya kini menjadi lebih lancar sejak titik putar balik ditutup. Dia juga merasa tidak keberatan karena titik putar balik alternatif hanya berada sekitar 200 meter tepatnya di depan gerbang masuk Jalan RS Polri.
”Sebenarnya kepadatan lalu lintas tidak terlalu berbeda. Tetapi, kesemrawutan depan pasar menjadi berkurang,” kata Fendi.
Dukungan serupa juga diungkapkan Windra, pengguna bus Transjakarta yang kerap naik dari Halte Pasar Kramat Jati. Menurut Windra, penutupan titik putar balik tersebut membuat bus Transjakarta yang ditumpanginya bisa berjalan lebih lancar.
Dalam rencana yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI, penutupan titik putar balik arah dari 27 ruas jalan tersebut akan dilakukan secara berkala. Dua titik putar balik Jalan Raya Pasar Minggu, yakni Perumahan Satuan Brimob Polda Metro Jaya dan Halte H Samali masuk dalam rencana. Hingga Minggu (2/4) sore, dua titik putar balik yang saling berjarak 600 meter ini belum dipasang pembatas beton.
Zulkifli, warga di dekat kompleks Sat Brimopda, merasa penutupan jalan akan kurang efektif. Jika datang dari arah Pancoran, Zulkifli harus memutar ke titik alternatif di sekitar Pasar Minggu. Dengan menempuh jarak sekitar 1,6 kilometer lagi, Zulkifli yakin kemacetan akan semakin parah di kawasan tersebut.
”Apalagi di kawasan Pasar Minggu itu memang sudah padat. Ada stasiun serta pintu pelintasan,” ujar Zulkifli.
Pemprov DKI juga akan menutup titik putar balik arah Jalan Ciledug Raya di sekitar Cipulir, Jakarta Selatan, untuk mengatasi kemacetan di kawasan tersebut. Lokasi lain yang cukup memicu kemacetan di Jalan Ciledug Raya dari kampus Universitas Budi Luhur adalah pertigaan Jalan Masjid Darul Falah, Petukangan Utara.
Dihubungi terpisah, pemerhati masalah transportasi, Budiyanto, mengatakan, penting bagi pemerintah melakukan kajian dan komunikasi sebelum menerapkan kebijakan publik. Uji coba dan evaluasi secara diperlukan sehingga konflik dengan masyarakat bisa terhindarkan.
Di sisi lain, masukan dari masyarakat juga harus didengarkan oleh pemerintah. Apalagi masukan dari masyarakat telah diatur dalam Pasal 256 Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009. Setiap warga negara berhak untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan lalu lintas dengan cara memberikan masukan, pendapat, dan saran dengan cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
”Harus memperhitungkan karakter lalu lintas pada ruas penggal jalan serta pada periode tertentu. Masukan dari masyarakat terkait ini juga perlu didengarkan,” kata Budiyanto.
Berdasarkan data, Direktorat Lalu Lintas (Dirlantas) Polda Metro Jaya pada masa pandemi Covid-19 indeks kemacetan di Jakarta hanya 34 persen. Namun, pasca-pandemi Covid-19 indeks kemacetan di Jakarta pada 2022 naik mencapai 48 persen. Angka itu hampir mendekati indeks kemacetan sebelum pandemi pada 2019, yaitu 53 persen.
Indeks di atas 40 persen itu dinilai sudah masuk dalam kategori tidak nyaman berkendara. Jumlah perjalanan per hari rata-rata mencapai 22 juta pergerakan dari berangkat, pulang, dan aktivitas tambahan lainnya.
Menurut, Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Latif Usman aktivitas warga yang kembali normal membuat produktivitas kembali tinggi dan meningkatkan sektor ekonomi. Namun, dampak lainnya volume kendaraan semakin tinggi pula di jalan.
”Ada sejumlah jalur putar balik kendaraan yang tidak pada tempatnya atau tidak layak lagi jadi tempat putar balik. Kebijakan penutupan oleh Pemprov DKI Jakarta sudah melalui kajian, evaluasi, dan masukan dari Dirlantas Polda Metro Jaya,” ujar Latif (Kompas, 11/2/2023).