Penutupan Jalur Putar Balik Jangan Sampai Pindahkan Titik Kemacetan Jakarta
Indeks kemacetan Ibu Kota meningkat sampai 48 persen seiring landainya pandemi Covid-19. Dinas Perhubungan DKI Jakarta akan menutup 27 jalur putar balik sebagai salah satu solusi mengurangi kemacetan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga mengharapkan tidak timbul masalah baru dari rencana penutupan 27 U-turn atau jalur putar balik di Jakarta. Harapan tersebut berkaca dari pengalaman pribadi bergesernya kemacetan dari satu lokasi ke lokasi lain.
Sutarya (30) melaju dengan sepeda motornya di Jalan Pejompongan Raya, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Ia hendak putar balik ke Jalan Gatot Subroto untuk pulang ke rumah di Palmerah Utara, Minggu (12/2/2023) sore.
Warga Palmerah ini tak bisa memutar di samping Menara BNI, Pejompongan, karena dua jalur putar balik telah ditutup. Satu tertutup tiang dan rantai besi, sedangkan satunya lagi dipalang beton pembatas jalan.
Sepeda motornya baru dapat memutar di Jalan Penjernihan I, tepatnya di depan Alfamidi. Ada seorang ”pak ogah” di sana yang sigap menahan laju kendaraan agar Sutarya bisa putar balik. Tak pelak, satu-satunya jalur putar balik yang tersisa di Jalan Penjernihan I ini menimbulkan kemacetan karena laju kendaraan tersendat menuju Senayan, Semanggi, dan Slipi atau sebaliknya ke Karet.
”Tidak masalah kalau putar balik Palmerah Utara ditutup. Masih ada (jalur) putar balik lain di depannya, sebelum pasar. Tapi, di Pejompongan bisa macet sampai perempatan lampu merah SPBU Penjernihan,” kata Sutarya.
Jalur putar balik di Jalan Palmerah Utara masih diakses kendaraan dari arah Semanggi/Cawang dan Jalan Tentara Pelajar/Jalan Nasional menuju Palmerah atau ke Jati Baru/Tanah Abang dan ke Jalan Gatot Subroto/Jalan Pejompongan Raya. Padahal, sudah terpasang tanda rambu dilarang belok dan putar balik serta beton pembatas jalan.
Namun, larangan itu tidak dihiraukan kendaraan dan ”pak ogah” yang mengatur putar balik. Jalur putar balik ini tetap dipilih karena lebih dekat ke jalan utama ketimbang lima lokasi lain di sepanjang jalan ke arah Pasar Palmerah.
Perlu pembatasan kendaraan, bukan mobilitasnya, untuk urai kemacetan. Pembatasan ini harus menyeluruh, tidak sepotong-sepotong, supaya tak ada masalah baru.
Solusi
Indeks kemacetan Ibu Kota meningkat sampai 48 persen seiring landainya pandemi Covid-19. Dinas Perhubungan DKI Jakarta akan menutup 27 jalur putar balik sebagai salah satu solusi mengurangi kemacetan.
Noviati (25), warga Cilandak, Jakarta Selatan, tak setuju dengan rencana penutupan putaran balik. Menurut dia, hal itu tidak akan mengurai kemacetan, tetapi memindahkan macet dari putaran balik di lokasi A yang ditutup ke lokasi B sebagai putaran balik baru.
”Akhirnya lalu lintas padat di titik B. Contohnya, putaran balik di Jalan Raya Pasar Minggu banyak yang ditutup. Ujung-ujungnya kendaraan putar balik sebelum Kalibata, macetnya pindah ke situ,” ucap Noviati.
Karyawan swasta ini berharap ada alternatif lain yang lebih cocok, misalnya pembangunan jalan layang Tapal Kuda Lenteng Agung dan Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Jalan layang itu menghapus pelintasan sebidang kereta api sekaligus meminimalkan kecelakaan, mengamankan perjalanan kereta api, serta mengurai kemacetan.
”Sama saja tutup (jalur) putar balik, tapi masih banyak orang pakai kendaraan pribadi. Lebih baik tingkatkan lagi akses angkutan umum,” katanya.
Berbeda dengan Yudi (29), pengguna Transjakarta. Warga Cawang, Jakarta Timur, ini setuju dengan penutupan jalur putar balik asalkan tak timbul masalah lain. Salah satunya, membuat pengguna kendaraan menerobos jalur Transjakarta yang steril agar cepat sampai ke tujuan.
”Masih ada saja yang terobos jalur bus karena pengguna kendaraan pribadi selalu cari alternatif lain untuk sampai ke tujuannya,” ujar Yudi.
Ketua Forum Studi Transportasi Antar-perguruan Tinggi Universitas Indonesia Andyka Kusuma menyarankan adanya pemodelan lalu lintas sebelum penutupan jalur putar balik dan implementasi satu arah. Penerapannya pun dalam satu kawasan agar tak memindahkan kemacetan dari satu tempat ke tempat lain.
”Perlu pembatasan kendaraan, bukan mobilitasnya, untuk urai kemacetan. Pembatasan ini harus menyeluruh, tidak sepotong-sepotong, supaya tak ada masalah baru. Lihat kawasan dan akses-akses supaya berkeadilan bagi semua pengguna jalan,” kata Andyka.