Pangkas U-Turn atau Atur Jam Kerja? Warga Menanti Dilibatkan
Tahun 2022 ini, dua solusi untuk mengurangi kemacetan jalan diwacanakan. Kajian untuk menggolkan wacana itu harus mempertimbangkan manfaatnya bagi masyarakat.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Dua pemangku kebijakan di DKI Jakarta tahun 2022 ini mewacanakan dua solusi untuk mengurangi kemacetan jalan. Kajian untuk menggolkan wacana itu harus melibatkan masyarakat agar tidak menimbulkan masalah baru bagi warga terdampak.
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, yang baru dilantik pada pertengahan Oktober ini, mengusulkan pengurangan titik-titik putaran balik atau u-turn dan membuat rute satu arah di jalanan Ibu Kota. Solusi ini dipilih karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI memiliki kewenangan mengatur jalan-jalan di dalam Jakarta.
Seminggu setelah dilantik menjadi Direktur Lalu Lintas (Dirlantas) Polda Metro Jaya, Juli silam, Komisaris Besar Latif Usman mewacanakan pengaturan jam masuk kantor. Berbeda dengan usulan Heru yang terbatas pada manajemen lalu lintas, Latif lebih berani karena ikut menarik kepentingan pemerintah pusat dan publik secara meluas.
Terkait rencana pengurangan u-turn, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, mereka sedang mengkaji hal tersebut untuk menghasilkan manajemen dan rekayasa lalu lintas secara keseluruhan. Usulan ini juga sudah didiskusikan bersama Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya.
”Tujuannya bagaimana titik-titik kemacetan dan kepadatan lalu lintas yang disebabkan putar balik tadi itu bisa kita minimalkan,” ujarnya (Kompas.id, 20/10/2022).
Dari pengamatan Kompas, putaran balik tidak hanya ada di antara dua jalan dengan arus berlawanan. Putaran balik umum dijumpai di seberang pintu masuk kawasan bisnis dan hunian, serta persimpangan jalan. Fasilitas putaran balik kerap membuat kecepatan kendaraan yang melintas menuju titik itu melambat.
Pengaturan jam kerja dengan membuat alternatif jam masuk kantor bagi karyawan juga bertujuan mengurangi kepadatan jalan yang terkonsentrasi di jam sibuk, seperti pada pukul 06.00-09.00, kemudian pada sore hari di atas pukul 15.00.
Terkait kajian wacana pengaturan jam kerja, Latif mengatakan, pihaknya sudah mengajak semua pemangku kepentingan untuk mendiskusikan hal tersebut. Asosiasi pekerja dan perusahaan, pemilik gedung, operator angkutan, lembaga, dan instansi terkait, termasuk Pemprov DKI sudah diajak diskusi.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada Agustus lalu sudah mulai diajak berdiskusi tentang pengaturan jam masuk kerja bagi aparatur sipil negara di Jakarta. Mereka setuju untuk berkolaborasi. Jika sudah sepakat semua, kajian itu akan dilegislasi dalam bentuk peraturan gubernur DKI.
”Responsnya baik semua dalam menanggapi ini,” ucap mantan Dirlantas Polda Jawa Timur tersebut.
Padahal, perwakilan pemberi kerja swasta dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sudah mengajukan keberatan dengan wacana tersebut. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Anton J Supit menyampaikan, penyeragaman jam masuk dan pulang kantor perlu dikaji lebih mendalam karena beberapa sektor industri tertentu ada kaitannya dengan jam kerja di luar negeri.
”Ini seperti bursa efek atau kegiatan ekspor impor, yang melibatkan berbagai institusi, seperti perbankan dan bea cukai,” kata Anton, menjelaskan salah satu dari poin keberatan mereka.
Agar tidak ada pro-kontra, (pembuat kebijakan) harus bersinergi. Jangan masing-masing buat kebijakan enggak bersinergi, berbeda pendapat, akhirnya masyarakat yang dirugikan.
Latif mengaku telah melibatkan masyarakat. Hal ini krusial, terutama di Jakarta yang jumlah warga bekerjanya tinggi. Mengutip laman statistik.jakarta.go.id, ada sekitar 4,7 juta pekerja formal dan informal sampai Agustus 2021.
Ini belum termasuk pekerja dari kota-kota satelit di Jakarta yang datang setiap pagi dan membuat 7 juta orang, menurut data kepolisian, memadati jalanan Jakarta.
Keberpihakan pada warga
Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch, Edison Siahaan, menanggapi dua wacana tersebut dan menilai wacana pengurangan putaran balik lebih mudah penerapannya di Jakarta.
”Saya di 2019 juga pernah usulkan ini. Lebih baik pihak penanggung jawab membuat sistem satu arah di Jakarta biar berputar sehingga tidak banyak persimpangan dan lampu merah (lampu pengatur lalu lintas). Ini lebih mudah dan efektif daripada perubahan jam kerja,” ujarnya per telepon.
Meski demikian, apa pun idenya, pembuat kebijakan perlu membuat kajian yang matang, termasuk dengan melibatkan semua pihak yang akan bersinggungan dengan apa pun aturan barunya. Pelibatan masyarakat dalam pembuatan aturan lalu lintas juga telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
”Agar tidak ada pro-kontra, (pembuat kebijakan) harus bersinergi. Jangan masing-masing buat kebijakan enggak bersinergi, berbeda pendapat, akhirnya masyarakat yang dirugikan,” kata Edison.
Said Iqbal, Presiden Partai Buruh, juga mengutarakan agar kebijakan lalu lintas memperhatikan obyek yang diatur, yaitu masyarakat pengguna jalan. Ia berharap solusi kemacetan tidak mengorbankan aktivitas perekonomian yang dijalani para pekerja.
Menurut dia, optimalisasi transportasi publik tetap menjadi solusi paling baik. ”Dengan kebijakan apa pun, pasti kemacetan tetap ada selama produksi mobil dan sepeda motor tidak dikontrol, dengan tidak diimbangi pengembangan rasio ruas jalan dan sistem mass public transportation,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Ia berharap Pemprov DKI memperluas sistem transportasi publik massal yang terkoneksi dan terintegrasi, meliputi Transjakarta, LRT, MRT, dan meng-cover area Jabodetabek. ”Sebaiknya sabar sedikit agar pembangunan ini dituntaskan dulu,” katanya.