Faktor pandemi berdampak pada berkurangnya tingkat kemacetan di Jakarta versi TomTom Traffic Index. Bus Transjakarta yang sudah beroperasi 18 tahun dengan 13 koridor dan 247 rute (2019), menjadi moda favorit warga.
Oleh
MB DEWI PANCAWATI/LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Perbaikan pelayanan transportasi publik yang belum optimal mendorong masyarakat enggan meninggalkan kendaraan pribadi untuk beraktivitas di DKI Jakarta. Hal ini menjadi salah satu faktor yang turut menyumbang problem kemacetan.
Diakui atau tidak, kemacetan di DKI masih menjadi problem perkotaan yang belum terselesaikan, meski berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mengatasinya. Salah satu upaya adalah perbaikan pelayanan angkutan umum massal yang mendapat apresiasi warga.
Namun, di balik apresiasi tersebut, warga masih merasakan persoalan kemacetan belum teratasi sepenuhnya. Setidaknya penilaian ini terungkap dari suara warga Jakarta hasil Jajak Pendapat Kompas pada medio Juni 2022 yang lalu.
Sebanyak 17,4 persen warga menyatakan, masalah kemacetan dan transportasi adalah persoalan mendesak kedua yang harus diselesaikan di DKI setelah masalah-masalah sosial. Enam dari 10 responden menyebutkan, kemacetan masih menjadi pemandangan sehari-hari di Jakarta.
Setelah Jakarta sempat lengang imbas kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) akibat pandemi Covid-19, kini ketika kondisi membalik, lalu lintas Ibu Kota kembali normal seperti sebelum pandemi. Bahkan, 10 persen warga menilai kemacetan yang terjadi semakin parah. Namun, ada sekitar 30 persen warga yang merasakan kemacetan sudah berkurang.
Berkurangnya tingkat kemacetan selaras dengan hasil TomTom Traffic Index. Berdasarkan pantauan lembaga asal Inggris yang menilai tingkat kemacetan lalu lintas kota-kota di dunia, pada tahun 2021, Jakarta sudah keluar dari 10 kota termacet di dunia. Posisi Jakarta turun ke peringkat ke-46 dan tingkat kemacetan terlihat menurun menjadi 34 persen. Data menunjukkan, waktu perjalanan rata-rata berkurang 2 menit per hari.
Tak dapat dimungkiri, faktor pandemi berdampak pada berkurangnya tingkat kemacetan di Jakarta versi TomTom Traffic Index. Di samping itu, upaya Pemprov DKI untuk memperbaiki dan menata transportasi publik massal, seperti bus Transjakarta, yang dioperasikan PT Transportasi Jakarta, dan kereta rel listrik, yang dioperasikan PT Kereta Commuter Jabodetabek (KCJ), turut mendorong warga menggunakan moda transportasi umum untuk beraktivitas sehingga mengurangi kemacetan.
Bus Transjakarta, yang sudah beroperasi 18 tahun di 13 koridor dan 247 rute (2019), menjadi moda transportasi umum favorit warga. Sebanyak 21,7 persen responden mengandalkan moda tersebut untuk aktivitas sehari-hari di Ibu Kota.
Sementara KRL yang menjadi andalan sekitar 7 persen responden juga terus berbenah meningkatkan pelayanan. Hingga Maret 2021, KCJ mempunyai 1.196 unit KRL yang beroperasi melayani 80 stasiun di wilayah Jabodetabek dengan jangkauan rute mencapai 418,5 km. Moda angkutan umum massal tersebut diminati warga karena dinilai tepat waktu, tarif terjangkau, dan pelayanan yang semakin baik dengan jumlah banyak, aman, dan nyaman.
Meski animo masyarakat dalam memanfaatkan transportasi publik terlihat membaik, kendaraan pribadi masih mendominasi jalanan Ibu Kota, khususnya sepeda motor. Berdasarkan data Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), jumlah sepeda motor di DKI Jakarta meningkat 97 persen pada tahun 2020 dibandingkan tahun 2019, dari 8,2 juta unit menjadi 16,1 juta unit. Sementara jumlah mobil penumpang trennya juga terus meningkat. Tak ayal kemacetan terus terjadi. Padahal untuk kendaraan roda empat sudah dibatasi aksesnya dengan kebijakan ganjil genap.
Kepadatan lalu lintas di Jakarta juga disumbang masuknya komuter dari wilayah Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek). Survei Komuter Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 menunjukkan, 63,3 persen komuter yang bergerak di Jabodetabek menggunakan sepeda motor untuk menuju tempat beraktivitas, paling banyak dibandingkan dengan pengguna moda angkutan lainnya.
Meski transportasi umum sudah lebih baik, pilihan menggunakan kendaraan pribadi terutama sepeda motor untuk beraktivitas di Jakarta dilandasi beberapa pertimbangan. Hasil Jajak Pendapat Kompas memotret, hampir sepertiga responden beralasan mencari yang praktis dalam memilih moda transportasi, di samping menghemat ongkos seperti disampaikan 17,1 persen responden lainnya.
Hasil riset Kompas lewat simulasi ongkos dan jarak dari empat titik kawasan berkepadatan penduduk tinggi (lebih dari 12.000 jiwa per kilometer persegi) yang tersebar di Bodetabek menuju Monumen Nasional (Monas) atau pusat Jakarta, menunjukkan biaya perjalanan dengan angkutan umum massal hampir sama dengan biaya naik sepeda motor, hanya lebih mahal 1-4 persen. Namun, waktu tempuh kendaraan umum 55-62 persen lebih lama ketimbang sepeda motor. Dengan durasi perjalanan lebih singkat, sepeda motor dipilih oleh lebih banyak komuter (Kompas, 4/2/2022).
Permudah akses
Pertimbangan warga yang masih memilih menggunakan kendaraan pribadi tersebut bisa menjadi masukan bagi pemerintah untuk meningkatkan pelayanan transportasi umum massal. Bagaimana supaya mendekatkan dan memudahkan masyarakat mengakses transportasi umum massal tersebut.
Integrasi berbagai angkutan umum yang lebih optimal menjadi salah satu solusi yang bisa dipertimbangkan dengan biaya yang terjangkau tentunya. Dari hasil jajak pendapat, hanya 4 persen responden yang mengaku memilih transportasi publik karena sudah saling terintegrasi antarmoda.
Untuk mengoptimalkan layanan transportasi publik, pada 15 Juni 2022, PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) bersama PT KCJ merespons dengan melakukan kolaborasi strategis yang meliputi sistem integrasi antarmoda, pengembangan usaha transportasi terpadu, dan pengembangan kawasan berorientasi transit. Integrasi layanan KRL dan Transjakarta ini akan semakin memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk bertransportasi.
Disamping itu, kepuasan mayoritas warga (64,7 persen) atas upaya Pemprov DKI memperbaiki transportasi publik di Jakarta bisa menjadi semangat untuk meningkatkan layanan transportasi yang semakin baik dan optimal supaya masyarakat benar-benar meninggalkan kendaraan pribadi sehingga kemacetan bisa diatasi.