Kemacetan Jakarta akibat populasi kendaraan bermotor pribadi yang tinggi dan penggunaan angkutan umum belum efektif. Penjabat Gubernur DKI perlu mengambil peran mengatasi hal ini demi tercipta kualitas kota lebih baik.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·5 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Sepeda motor memenuhi jalur bus Transjakarta untuk menghindari kemacetan di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, Senin (18/7/2022). Sejumlah ruas jalan di Jakarta dan sekitarnya terpantau macet di hari pertama masuk sekolah.
Di tengah upaya Pemerintah Provinsi DKI membenahi dan memperluas jaringan angkutan umum serta memperbaiki kualitas layanan, kemacetan masih menghantui. Warga banyak yang masih memilih naik kendaraan bermotor pribadi dibandingkan dengan angkutan umum. Isu ini menjadi salah satu persoalan yang dihadapi Jakarta. Penjabat Gubernur DKI Jakarta yang akan segera bertugas perlu mengambil peran untuk mengatasi isu tersebut.
”Saya tinggal di Serua, Tangerang Selatan, Banten. Angkutan lanjutan dari stasiun ke rumah dan sebaliknya tidak ada. Kalau ada, saya mesti jalan kaki agak jauh untuk mencapainya dan itu lama sekali menunggunya,” kata M Raditya (30), karyawan swasta yang berkantor di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Alhasil, ia memilih menembus Jakarta dengan sepeda motornya. ”Dengan kenaikan harga bahan bakar minyak, sekarang setiap minggu saya habis Rp 90.000 untuk bensin dan sebulan Rp 360.000. Namun, saya tidak perlu kesulitan menunggu angkutan umum,” ujar Raditya.
Bertempat tinggal di wilayah itu, akses angkutan umum terdekat adalah stasiun kereta komuter atau stasiun MRT. Namun, untuk menuju kedua titik itu, ia perlu angkutan seperti ojek daring atau kendaraannya sendiri. Angkutan umum yang lewat sangat kurang dan perlu waktu puluhan menit untuk menunggu.
”Saya masih harus keluar biaya ojek atau parkir kalau mau naik kereta,” katanya.
KOMPAS/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono saat menjawab pertanyaan media di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (23/9/2022).
Diakui Raditya, ia juga tidak menyukai kemacetan yang terjadi. Namun, daripada terlambat atau harus mengeluarkan biaya lebih banyak karena ia adalah staf lapangan yang harus berkeliling, menggunakan kendaraan pribadi menjadi pilihan.
Adam (30), warga Cinere, Depok, Jawa Barat, juga sama saja. Untuk menuju kantornya di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, ia memilih naik sepeda motor.
”Sudah terbiasa. Lagi pula, kalau naik angkutan umum, ribet. Angkutan dari rumah ke halte Lebak Bulus atau sebaliknya suka ngetem dan lama. Waktu saya habis,” ujar Adam yang setiap minggu menghabiskan Rp 100.000 untuk membeli bensin.
Sosok-sosok komuter dengan kendaraan pribadi seperti Raditya ataupun Adam itulah yang dipaparkan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo di Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta, Senin (3/10/2022), yang menyesaki Jakarta. Mereka dinilai sebagai penyumbang munculnya masalah klasik Jakarta, yaitu kemacetan.
Ini menunjukkan peningkatan ketergantungan pada kendaraan bermotor pribadi, terutama sepeda motor. (Syafrin Liputo)
Dalam paparan yang bersumber dari kajian SITRAMP dan JUTPI I dan II itu diketahui, bila pada 2010 angka perjalanan total per hari 45 juta perjalanan dan pada 2018 sudah meningkat hampir dua kali lipat, yaitu menjadi 88 juta perjalanan per hari.
Bila dirinci, penggunaan mobil untuk berkomuter di DKI Jakarta pada 2010 sebesar 14,7 persen, sepeda motor 61,2 persen, dan angkutan umum 22,7 persen. Pada 2018, penggunaan mobil naik menjadi 21,5 persen, sepeda motor naik menjadi 68,3 persen, sementara penggunaan angkutan umum justru turun drastis ke 6,9 persen.
Bandingkan dengan penggunaan mobil pada 2002 untuk berkomuter di DKI Jakarta waktu itu 14,7 persen dan sepeda motor 27,5 persen. Penggunaan angkutan umum masih tinggi waktu itu, yaitu 52,7 persen.
”Ini menunjukkan peningkatan ketergantungan pada kendaraan bermotor pribadi, terutama sepeda motor,” kata Syafrin.
Penggunaan angkutan umum yang rendah di DKI Jakarta juga bisa dilihat dari angka-angka penumpang yang terlayani dari semua moda angkutan yang bergerak di DKI Jakarta. Total pergerakan masyarakat dengan angkutan umum (moda share) di DKI Jakarta sebelum pandemi adalah 11,9 persen.
Dalam Forum Group Discussion (FGD) yang digelar Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) pada 29 September 2022, Syafrin memaparkan, penggunaan kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda motor menjadi penyumbang kemacetan.
Itu bisa dilihat juga dari populasi kendaraan bermotor roda dua di Jakarta lebih kurang 12,8 juta unit, sementara di Jabodetabek angkanya sudah 19 juta unit.
Populasi kendaraan roda empat di Jakarta 2,6 juta unit. ”Di Jabodetabek tentu lebih tinggi dari itu,” kata Syafrin.
Melihat dampak tingginya populasi kendaraan pribadi di Jakarta, pengamat transportasi dari Universitas Bina Nusantara, Damantoro, mengatakan, kebijakan pembatasan kendaraan sudah pasti diperlukan. Kebijakan pembatasan itu di antaranya penerapan jalan berbayar elektronik (ERP) dan tarif parkir tinggi.
KOMPAS/NELI TRIANA
Excecutive Director Center for Infrastructure Studies of Indonesia Damantoro
Ini menjadi strategi untuk mendorong (push strategy) para pengguna kendaraan pribadi beralih ke kendaraan umum. Untuk menarik para pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum, tentu saja perlu disediakan kantung parkir di ujung-ujung simpul angkutan umum. Selain itu, juga menyiapkan angkutan umum yang aman, nyaman, berkeselamatan, dan saling terintegrasi.
Menurut Manuara Siahaan, anggota Komisi B yang juga anggota Bapemperda DPRD DKI Jakarta, penyediaan kantong-kantong parkir itu sangatlah kurang. Itu juga yang menimbulkan keengganan masyarakat meninggalkan kendaraan pribadinya dan menggunakan angkutan umum.
Wisnubroto Sarosa, Direktur PMO Tim Koordinasi Penataan Ruang Jabodetabek-Punjur Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dalam FGD DTKJ, menjelaskan, kemacetan yang terjadi di DKI Jakarta yang disumbang dari kegiatan para komuter dari luar DKI Jakarta harus diurai.
Menurut dia, perlu ada kerja sama antardaerah di wilayah Jabodetabek untuk saling mengintegrasikan angkutan umum. ”Kata kuncinya ada pada jaringan. Jaringan angkutan umum itu harus menggurita. Selama jaringan tidak bisa meng-cover yang lebih banyak, maka orang masih memilih kendaraan roda dua atau roda empat,” ujarnya.
Selain itu, ia juga sepakat, strategi push (mendorong) dan pull (menarik) dalam mengurai kemacetan di Jakarta perlu segera diterapkan.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Kepadatan lalu lintas di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Kamis (28/4/2022).
Syafrin menambahkan, untuk mengurai kemacetan yang disumbang dari wilayah penyangga, DKI Jakarta berkoordinasi dengan wilayah penyangga melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ). Yang kembali dikerjakan DKI Jakarta di antaranya Transjakarta sudah mengoperasionalkan layanan Transjakarta ke Bekasi dan ke wilayah tetangga lainnya.
Layanan Transjakarta ke Depok juga sudah dilakukan secara bertahap. Adapun sisi jumlah kendaraan yang dioperasikan disesuaikan dengan permintaan yang ada, melihat perkembangan ridership.
”Ini upaya kita. Sebelumnya mereka juga sudah menggunakan layanan Transjakarta ini, tetapi pandemi mengubah semuanya dan kita sekarang mulai masuk kembali ke layanan semula sebelum pandemi Covid-19,” kata Syafrin.
Syafrin pun berharap, masyarakat Jabodetabek yang tadinya menggunakan angkutan umum, karena pandemi kembali ke sepeda motor, untuk kembali lagi menggunakan angkutan umum. Saat ini sepenuhnya mulai dioperasionalkan.
”Kami mengimbau kepada masyarakat, sekarang waktunya menggunakan transportasi publik yang sudah di-deliver pemerintah yang lebih efisien dan tentu lebih sehat karena tentu ketika mereka ada di jalan dengan terbuka mereka bisa menghirup polutan. Ini sangat berbahaya bagi yang bersangkutan,” kata Syafrin.
Gilbert Simanjuntak, anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, mengatakan, mengurai kemacetan Jakarta menjadi pekerjaan rumah yang mesti dikerjakan Penjabat Gubernur DKI Jakarta. Salah satunya dengan memperluas jaringan angkutan umum perkotaan, seperti LRT Jakarta.