Mafia Tanah di Kantor Pertanahan Lebak, Sembilan Saksi Diperiksa
Kasus korupsi di Kantor Pertanahan Lebak bukan yang pertama. Pada November 2021, polisi menetapkan dua pegawai Kantor Pertanahan Lebak sebagai tersangka dugaan kasus korupsi.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·2 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Kejaksaan Tinggi Banten memeriksa sembilan orang terkait dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau gratifikasi pengurusan tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Lebak tahun 2018-2021. Diduga ada kongkalikong antara aparatur sipil negara dan calo tanah dengan modus pemberian uang untuk pendaftaran hak atas tanah di Lebak melalui rekening bank swasta sebesar Rp 15 miliar.
Jaksa menyelidiki kasus tersebut berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Banten Nomor PRINT-1061/M.6/Fd.1/09/2022 pada 28 September 2022. Penyidik pada Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Banten menemukan dua alat bukti dan telah memeriksa sembilan orang dari Kantor Pertanahan Lebak dan swasta.
”Calo tanah memberikan uang kepada aparatur sipil negara melalui dua rekening bank swasta. Perkiraan dana yang masuk mencapai Rp 15 miliar,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Banten Ivan Siahaan pada Kamis (29/9/2022).
Saat ini, tim penyidik masih mengembangkan temuan alat bukti dan juga mendalami keterangan saksi-saksi.
Kasus korupsi di Kantor Pertanahan Lebak bukan yang pertama. Pada November 2021, polisi menetapkan dua pegawai Kantor Pertanahan Lebak sebagai tersangka dugaan kasus korupsi.
RY (50) dan PR (41) menjadi tersangka setelah operasi tangkap tangan oleh penyidik dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Banten, Jumat (12/11/2021). Penyidik juga menyita tiga amplop berisi uang senilai Rp 36 juta.
Kasus pertanahan lain di Banten adalah bekas kepala desa hingga bekas kepala urusan keuangandi Desa Cikupa yang bersekongkol menarik pungutan liar pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) di Desa Cikupa, Kabupaten Tangerang. Korbannya sebanyak 1.316 orang dengan total kerugian Rp 2 miliar selama beraksi pada tahun 2020-2021.
Korupsi di ”Tanah Para Jawara” seakan langgeng. Pelakunya mulai dari level desa hingga pejabat daerah.
Mantan Gubernur Banten Wahidin Halim menyebutkan, korupsi di Banten rumit karena sudah berurat dan berakar. Upayanya ketika menjabat dengan menaikkan tunjangan kinerja dan honor tak ampuh karena korupsi tetap ada.
”Eselon 2 dan 3 sudah ada perubahan, tetapi sekarang bergeser ke eselon 4 dan staf. Sebenarnya korupsi seperti sindikat. Yang terlibat tidak hanya orang dalam, tetapi juga bekerja sama dengan orang luar,” tuturnya.