Menteri ATR/BPN: Saya Tidak Segan Copot Pegawai yang Terlibat Mafia Tanah
Moral buruk sumber daya manusia di lingkungan ATR/BPN merusak program kementerian yang positif untuk mengurangi konflik agraria.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional atau ATR/BPN Hadi Tjahjanto memastikan akan menindak tegas pegawainya yang ketahuan bermain dengan mafia tanah. Pernyataan ini disampaikan menanggapi banyaknya pegawai di lembaganya yang terlibat kasus di wilayah Jakarta dan Bekasi.
Hadi yang baru dilantik Presiden Joko Widodo sebagai menteri pada 15 Juni 2022 meminta Inspektorat Jenderal Kementerian ATR/BPN untuk mengawasi secara ketat sistem penanganan kasus pertanahan hingga kinerja dari para pegawainya. Sebab, ia tidak menolerir pelanggaran yang dilakukan pegawainya, di jajaran kementerian hingga kantor wilayah.
”Saya harapkan tidak ada lagi yang masuk angin. Apabila terjadi pelanggaran, saya tidak akan segan-segan mencopot, memproses hukum dan pecat,” kata Hadi tegas dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (18/7/2022).
Hal itu ia utarakan saat menanggapi pengungkapan kasus mafia tanah yang melibatkan 13 pegawai BPN, di Jagakarsa, Jakarta Selatan; Cilincing, Jakarta Utara; Babelan, Bekasi; dan kasus dengan keluarga figur publik Nirina Zubir.
”Sebanyak 13 pegawai BPN tersebut terdiri dari 7 aparatur sipil negara (ASN) dan 6 pegawai tidak tetap,” ujar Hengki.
Faktor profesionalisme dan kemandirian (moralitas) manusia petugas BPN perlu terus dibenahi dan diawasi.
Di antara tersangka pegawai BPN kini sudah ditangkap, yaitu ASN berinisial PS dan MB. PS yang kini menjabat Koordinator Substansi Penataan Pertanahan BPN Kota Administrasi Jakarta Utara menerbitkan sertifikat dengan warkat palsu dan tanpa melalui prosedur yang benar saat menjadi Ketua Ajudikasi Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di BPN Jakarta Selatan.
Pejabat BPN lainnya berinisial MB ditangkap atas keterlibatan kasus mafia tanah di Jakarta Utara. MB disebut menerima uang ratusan juta rupiah dari pendana untuk menerbitkan sertifikat tanah tanpa prosedur yang benar. Padahal, program PTSL seharusnya gratis.
Polda Metro Jaya menetapkan pegawai kantor wilayah BPN itu sebagai tersangka bersama 17 pihak lainnya. Tersangka di luar pegawai BPN itu adalah 2 ASN pemerintah daerah, 2 kepala desa, dan 1 orang penyedia jasa perbankan. Lalu, 12 orang masyarakat sipil, baik yang memiliki dana maupun membuat keterangan palsu untuk mendukung perebutan kepemilikan tanah.
Para tersangka ini dijerat dengan Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Lalu, Pasal 263, Pasal 264, dan Pasal 266, serta Pasal 372 KUHP. Kemudian, Pasal 3, 4 dan 5 UI RI Nomor 8 Tahun 2012 dan atau Pasal 170 dan 167 Ayat (1) KUHP.
Terbilang ada 12 korban dari kasus mafia tanah itu. Mereka tidak hanya warga sipil, tetapi juga pemerintah yang memiliki hak penguasaan tanah.
Nurhasan Ismail, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), menanggapi, publik kini tinggal menunggu langkah konkret dari Menteri ATR/BPN untuk menindak bawahannya yang melanggar tersebut.
”Faktor profesionalisme dan kemandirian (moralitas) manusia petugas BPN perlu terus dibenahi dan diawasi,” ujarnya saat dihubungi hari ini.
Moralitas sumber daya manusia di lingkungan ATR/BPN yang masih buruk menurut dia membuat semua program kementerian yang positif untuk menekan konflik agraria dan pertanahan menjadi rusak. Program yang menurut Nurhasan sudah baik itu, antara lain, adalah PTSL dan digitalisasi sertifikat tanah yang tengah berjalan.
”PTSL sudah standar mekanismenya, yaitu harus sistematis, cermat, dan tepat. Demikian juga dengan program digitalisasi, tetapi itu tetap memerlukan peranan manusia yang terbuka terjadinya penyimpangan selama manusianya tidak profesional dan mandiri,”ujarnya.
Modus baru
Program PTSL untuk membantu warga pengguna hak tanah dalam memiliki sertifikat kepemilikan, menurut polisi, memang menjadi salah satu target baru mafia tanah. Mereka kini tidak lagi menggunakan modus lama, seperti mengalihkan hak kepemilikan dengan memalsukan sertifikat tanah secara diam-diam, melalui proses jual beli. Mereka memanfaatkan celah saat sertifikat belum dipegang penguasa lahan.
Hengki menyebutkan, setidaknya ada empat modus baru yang mereka terapkan. Pertama, para mafia tanah bekerja sama dengan oknum pegawai pemerintah daerah mencari tanah-tanah yang belum diurus sertifikatnya. Setelah menemukan target, para pelaku bekerja sama membuat dokumen bukti kepemilikan tanah palsu sebagai pembanding atas dokumen yang dimiliki korban.
Mafia juga mengajak pegawai BPN membuat gambar ukur atau peta bidang palsu atas tanah yang belum bersertifikat tersebut. ”Dibuat pembanding dan ini terhadap tanah yang belum bersertifikat. Lalu dibuat girik palsu, akta palsu, akta peralihan, dan diajukan penerbitan sertifikat. Jadi, yang terjadi penguasaan lahan secara tidak sah,” tutur Hengki.
Modus kedua adalah para mafia tanah memanfaatkan program PTSL yang digulirkan oleh Presiden Joko Widodo sejak 2018. ”Sertifikat sebenarnya sudah jadi, tetapi seolah-olah sudah diberikan kepada korban. Ada figur peran pengganti. Jadi, apabila dicek administrasi, sudah diserahkan kepada pemohon,” ujar Hengki.
Setelah proses administrasi penyerahan tersebut selesai, para pelaku akan mengubah data identitas kepemilikan dan luas bidang tanah dari sertifikat tersebut. Dalam modus ini, korbannya pemohon PTSL atau penguasa tanah yang lahannya diserobot.
Modus ketiga, para mafia tanah mampu mengakses secara ilegal data kepemilikan tanah yang tercatat di sistem Komputerisasi Kerja Pertanahan (KKP) Kementerian ATR/BPN. Mereka melakukan input data, melakukan otentikasi, dan validasi perubahan data lahan secara ilegal.
”Ini masih kami lidik karena banyak korban yang tidak sadar ternyata tanahnya sudah diambil alih oleh mafia tanah,” ucapnya.