Taman Kota Intan, Pintu Masuk Wisata Sejarah Kota Tua
PKL Kota Tua, Jakarta Barat, direlokasi ke tempat yang terpisah dengan kawasan wisata Kota Tua. Kebijakan ini terkesan dipaksakan, lantaran karakter PKL cenderung mendekati kerumunan.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
Lagu ”Bed of Rouses” yang dilantunkan penuh tenaga jadi penghibur sejumlah pedagang kuliner dan oleh-oleh di Taman Kota Intan, Taman Sari, Jakarta Barat, Selasa (12/7/2022) siang. Lagu band kawakan Amerika Serikat Bon Jovi itu dimainkan oleh sejumlah personel band Akustik Kota Tua dari panggung hiburan yang berjarak sekitar 500 meter dari kawasan wisata Kota Tua, Jakarta.
Kehadiran panggung hiburan di Taman Kota Intan menandai kembalinya aktivitas pedagang kuliner dan oleh-oleh Kota Tua di kawasan yang selama empat tahun terakhir relatif mati suri. Para pedagang, siang itu, sibuk bersih-bersih dan menata etalase untuk memulai kembali aktivitas berdagang di sana.
Para pedagang itu merupakan pedagang kaki lima (PKL) yang selama bertahun-tahun menghabiskan waktu berdagang di tepi jalan, emperan, dan sudut-sudut kawasan wisata Kota Tua Jakarta. Mereka baru direlokasi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk berpindah tempat jualan ke kawasan yang dikenal dengan Lokasi Binaan (Lokbin) Usaha Kecil dan Menengah Kota Intan, pada Senin (11/7/2022).
”Berdagang itu di mana saja bisa. Tidak masalah. Asal ada yang beli,” kata Sulaiman (45), pedagang nasi goreng, Selasa siang.
Lelaki asal Padang, Sumatera Barat, itu, tak keberatan dengan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merelokasi dirinya bersama ratusan PKL lain ke kawasan Lokbin Kota Intan. Dia hanya berharap pemerintah menata secara baik kawasan wisata Kota Tua agar wisatawan yang berkunjung nanti mampir ke kios pedagang yang kini ditata terpisah.
Kios yang disiapkan pemerintah daerah dinilai layak karena tersedia tempat parkir, panggung hiburan musik, serta biaya sewa yang murah. Setiap pedagang tiap bulan hanya membayar biaya sewa kios Rp 120.000 dan biaya pengunaan listrik sebesar Rp 10.000.
”Selama ini yang jadi masalah itu, tempat ini sepi pembeli,” katanya.
Kembali berdagang di Lokbin Kota Intan sudah pernah dijajal lelaki lima anak itu pada 2017. Dia hanya bertahan beberapa bulan dan kemudian memutuskan kembali berjualan di sekitar Stasiun Jakarta Kota.
Keputusannya kembali ke Kota Tua ditempuh karena Lokbin Kota Intan sepi. Ratusan pedagang yang saat itu berjualan di sana pun, perlahan-lahan menghilang, lalu kembali muncul di area sekitar Kota Tua.
Relokasi pedagang ke Kota Intan ini jadi dilema. Pedagang di sana harap-harap cemas karena Kota Intan letaknya cukup jauh dari Kawasan Kota Tua. Jarak tempuh dari Kota Tua ke lapak para pedagang sekitar 500 meter. Butuh waktu lebih dari lima menit dari Museum Fatahillah untuk tiba di sana.
Penataan Kota Tua
Dihubungi terpisah, Kepala Suku Dinas Perindustrian Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah (PPKUKM) Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Barat Iqbal Idham Ramid mengatakan, relokasi PKL merupakan bagian dari rangkaian besar kegiatan Pemprov DKI dalam menata kawasan Kota Tua. Penataan itu tak hanya soal PKL, tetapi di sana ada juga pembangunan fisik yang dilakukan secara besar-besaran di kawasan Taman Sari.
”Pedestrian, MRT, dan stasiun sedang dibangun. Pemprov DKI ingin menjadikan kawasan Kota Tua sebagai kawasan destinasi wisata. Tidak hanya destinasi wisata berstandar lokal, tetapi berskala nasional, bahkan internasional,” kata Iqbal.
Untuk wewujudkan Kota Tua sebagai destinasi wisata berstandar tinggi, penataan di sana diikuti dengan penataan PKL. Penataan dilakukan berdasarkan zonasi, yakni zona merah atau bebas PKL dan zona hijau atau zona yang boleh diokupansi PKL.
Bebas PKL
Zona hijau ditentukan berada di dua lokasi, yakni di Lokbin Kota Intan dan Gedung Cipta Niaga. Lokbin Kota Intan merupakan lokasi milik Pemprov DKI Jakarta. Sementara itu, Gedung Cipta Niaga dikelola oleh pihak swasta.
Sebelum ada penataan, PKL Kota Tua tersebar di beberapa lokasi, seperti di Jalan Kunir, Museum Bank Mandiri, hingga stasiun kereta. Semua tempat itu kini bebas dari okupansi PKL.
”Semua PKL kami ajak dan imbau agar berdagang di Lokbin Kota Intan. Sosialisasi untuk kegiatan ini bukan hanya kemarin, melainkan dari 2020 konsep ini sudah kami gaungkan,” ucap Iqbal.
Pintu utama
Lokbin Kota Intan diresmikan pada 2017 di masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat. Lokasi yang memiliki 456 kios dan mampu menampung 12 bus berukuran besar, 70 kendaraan pribadi, dan 700 sepeda motor itu, awalnya memang disiapkan untuk relokasi PKL, tetapi pelaksanaannya saat itu tak maksimal karena sepi pengunjung.
”Di 2022 ini, kondisinya sudah berbeda. Sekarang pembangunan infrastrukturnya sudah mengarah lebih baik. Aksesibilitas ke Lokbin Kota Intan, ke depannya, menjadi pintu utama untuk masuk ke kawasan Kota Tua. Parkir, segala macam mulai dari sana,” ujar Iqbal.
Pedagang juga diminta tak cemas atau khawatir dagangan mereka bakal sepi pembeli. Pemerintah daerah bakal menjadikan Taman Kota Intan sebagai salah satu destinasi wisata kuliner di Jakarta Barat. Panggung hiburan musik dan beragam kesenian lain juga bakal digelar secara rutin dan terjadwal untuk meramaikan Taman Kota Intan.
Pengamat tata kota Nirwono Yoga mengatakan, Dinas PPKUKM harus memastikan jumlah keselurahan PKL yang saat ini berjualan di wilayah Kota Tua. ”Data sangat penting sebagai acuan pengembangan ke depan. Data ini, selama lima tahun ke depan, misalnya, tidak akan ada lagi PKL yang baru,” kata Nirwono.
Data jumlah PKL itu juga perlu diidentifikasi untuk mengetahui jumlah PKL yang berjualan makanan dan minuman. PKL dengan dagangan jenis ini kemudian ditempatkan di daerah sekitar lokasi Kota Tua, seperti di dalam bangunan museum, stasiun, atau tempat-tempat lain yang tidak mengganggu visual Kota Tua.
Penempatan PKL di sekitar Kota Tua dibutuhkan untuk memudahkan pengunjung saat membutuhkan makanan dan minuman. Sementara itu, konsep penataan yang tengah dilakukan saat ini dinilai seperti mengucilkan para PKL. Penataan ini juga dinilai tidak akan menyelesaikan masalah PKL di Kota Tua.
Ini karena PKL merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan atau menjadi satu kesatuan dengan kawasan wisata. Jika konsep penataan seperti ini terus dilanjutkan, bakal muncul PKL baru atau ilegal yang cenderung mendekati Kota Tua.
”Prinsipnya ada gula ada semut. Penataan harus dilihat dulu, kerumunan ada di mana, PKL-nya di mana. Tidak bisa dipaksakan,” kata Nirwono.