Tempat Duduk Penumpang Angkot antara Laki-laki dan Perempuan Akan Dipisahkan
Untuk mencegah pelecehan seksual di dalam angkot, Dishub DKI Jakarta menyiapkan petunjuk teknis pemisahan tempat duduk penumpang perempuan dan laki-laki di angkot. Pekan ini kebijakan itu ditargetkan bisa diterapkan.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual di angkutan kota atau angkot, Dinas Perhubungan DKI Jakarta akan mengatur pemisahan tempat duduk antara penumpang perempuan dan penumpang laki-laki. Petunjuk teknis untuk pelaksanaan aturan ini ditargetkan terbit pekan ini.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (11/7/2022), menjelaskan, kebijakan itu diambil karena ada pelecehan seksual di dalam angkot. ”Kami harus melakukan mitigasi-mitigasi sehingga kejadian serupa bisa diminimalisasi, bahkan dihilangkan,” ucap Syafrin.
Pencegahan di angkutan umum di Jakarta, kata Syafrin, sudah dilakukan. Seperti yang dilakukan di Transjakarta, manajemen melakukan pembatasan secara fisik di dalam bus, baik di dalam bus yang melayani koridor utama maupun bus rapid transit (BRT) dan di bus yang melayani rute non-BRT. Apalagi, Transjakarta mengoperasikan sejumlah bus, baik bus besar maupun bus medium, sehingga pemisahan ruang di dalam bus bisa dilakukan.
”Namun, pemisahan ruang seperti di Transjakarta, yaitu dengan penumpang perempuan di depan dan penumpang laki-laki di belakang, tidak memungkinkan dilakukan di angkot. Hal itu karena kapasitas angkotnya itu sendiri,” ujar Syafrin.
Untuk pencegahan pelecehan seksual di angkot, lanjut Syafrin, yang bisa dilakukan adalah dengan mengatur tempat duduk penumpang. Penumpang perempuan akan diarahkan untuk duduk di kursi sebelah kiri yang berkapasitas empat kursi, sedangkan penumpang laki-laki akan diarahkan untuk duduk di kursi sisi kanan yang berkapasitas enam kursi.
”Minggu ini kami akan mengeluarkan petunjuk teknis terkait dengan pelaksanaan standar pelayanan minimum untuk layanan angkutan kota sehingga untuk angkot di Jakarta, tentu layanannya adalah tempat duduknya ada dua baris di sisi kiri dan sisi kanan. Nantinya di dalam petunjuk pelaksanaan, (kami) akan mengarahkan seluruh operator mikrotrans dan angkot untuk penumpang yang wanita diprioritaskan duduk di sisi sebelah kiri, sementara yang pria akan diarahkan untuk duduk di sisi sebelah kanan,” kata Syafrin.
Dengan begitu, ujar Syafrin, akan ada pemisahan secara fisik, tidak lagi bercampur. Dengan pengaturan demikian, pramudi atau sopir akan dengan mudah mengawasi melalui kaca spion di tengah.
”Sopir akan memantau jika terjadi pergerakan atau sesuatu yang bisa dicurigai oleh pramudi sehingga dia bisa berhenti dan melaporkan kepada jajaran atau petugas yang dekat dengan layanan rutenya, ” kata Syafrin.
Ia memastikan, begitu petunjuk teknis terbit, Dishub DKI akan melakukan sosialisasi kepada seluruh operator angkot, baik yang sudah tergabung dalam manajemen Transjakarta dan berubah nama menjadi mikrotrans maupun kepada angkot yang belum bergabung dengan Transjakarta. Kebijakan pemisahan itu akan menjadi kebijakan yang wajib dilaksanakan.
”Yang sudah bergabung di mikrotrans ada 2.100 unit, di luar itu ada 4.000-an unit,” kata Syafrin.
Terpisah, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) DKI Jakarta Yusa Cahya Permana menilai, kebijakan itu harus dievaluasi kembali. Kebijakan itu patut dipertanyakan dasar aturan, tujuannya, dan maksudnya.
”Dari sisi respons, sebenarnya bagus, ada masalah, lalu ditanggapi. Dari sisi keamanan, dengan adanya pelecehan kemudian ditanggapi itu bagus. Namun, kenapa dari sisi kejahatan lain, seperti penodongan dan pencopetan yang lebih sering terjadi, tidak mendapat respons seperti ini?” kata Yusa.
Untuk pencegahan pelecehan seksual yang diambil Dishub DKI, menurut Yusa, justru akan menimbulkan risiko keselamatan pada pelayanan angkutan umum. Hal itu karena sopir mendapat tambahan beban untuk ikut mengawasi sambil mengendarai angkot.
Yusa juga berpandangan, kebijakan pemisahan ini hanya didasarkan pola pikir bahwa pelecehan hanya bisa dilakukan dengan sentuhan badan. Padahal, pemisahan fisik melalui pengaturan tempat duduk itu tidak menyelesaikan yang sifatnya nonfisik, seperti pandangan mata.
”Di luar negeri, definisi pelecehan itu bisa cewek ke cewek, bisa cowok ke cowok, juga bisa cewek ke cowok. Pola pikirnya harus didasarkan pada hal itu,” kata Yusa.
Terkait pencegahan pelecehan seksual di kereta api jarak jauh, PT KAI pernah merilis upaya pencegahan dengan memasukkan pelaku pelecehan seksual ke dalam daftar hitam (black list) untuk naik kereta api.
EVP Corporate Secretary KAI Asdo Artriviyanto mengatakan, kebijakan itu diterapkan KAI untuk memberikan efek jera dan mencegah pelaku melakukan hal serupa di kemudian hari.