Ketua Apeksi Bima Arya Bicara tentang Jejaring Kota
Di forum Apeksi, Bima menyatakan mereka fokus kepada sinergi dan kolaborasi. Tren ini semakin kuat, tetapi memang ini sangat tergantung kepada para wali kota untuk paham tentang kota berjejaring, aktif, dan terlibat.
Kota-kota di Indonesia memiliki tantangan tak mudah menghadapi fenomena urbanisasi. Seperti kota Jakarta dengan masifnya pertumbuhan dan pembangunan infrastruktur, pusat bisnis dan pemerintahan, menjadi magnet bagi masyarakat kota dan desa luar Jakarta berbondong datang mengadu nasib.
Para pendatang yang ingin mengadu nasib ini memberikan dampak pada kota penyanga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Kota-kota itu harus ikut tumbuh melayani kebutuhan, seperti tempat tinggal. Banyak dari para perantau, untuk memiliki atau membeli rumah atau menyewa apartemen di Jakarta, merupakan hal yang sangat sulit untuk dijangkau, kecuali mereka yang memiliki penghasilan besar.
Tinggal atau memiliki rumah di kota-kota penyanga menjadi pilihan masuk akal. Apalagi, saat ini semakin banyak pembangunan perumahan di kota-kota tersebut. Namun, ternyata pemenuhan kebutuhan tempat tinggal menjadi pekerja rumah atau bahkan menimbulkan masalah bagi pemerintah daerah untuk memutar otak memenuhi kebutuhan turunan lainnya.
Menurut Wali Kota Bogor sekaligus Ketua Apeksi, Bima Arya, dalam wawancara khusus pada Selasa (21/6/2022), setidaknya ada dua permasalahan besar di Jabodetabek, yaitu transportasi publik dan lingkungan. Kebutuhan transportasi tidak hanya untuk pergerakan di dalam kota, tetapi juga lintas kota aglomerasi. Penataan transportasi publik saat ini masih dinilai belum maksimal sehingga menyebabkan warga memilih kendaraan pribadi. Dampaknya pun bisa dilihat dan dirasakan, yaitu kemacetan.
Aglomerasi Jabodetabek belum menjadi kota berjejaring yang kuat.
Baca juga : Air Tanah Solusi Krisis Air Bersih Perkotaan
Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Perhubungan, dampak pergerakan mobilitas tinggi kendaraan di enam kota metropolitan mengakibatkan pemborosan bahan bakar minyak (BBM) sebanyak 2,2 juta liter per hari sehingga berdampak menjadi layanan kerugian ekonomi senilai Rp 71,4 triliun per tahun.
Dilihat dampaknya terhadap lingkungan pun sangat merugikan. Mobilitas tinggi kendaraan menjadi penyumbang terbesar kedua emisi gas rumah kaca dari sektor energi di Indonesia. Belum lagi dampak kerugian waktu yang harus dibayar warga karena terjebak macet. Waktu tempuh kecepatan rata-rata kendaraan dan angkutan umum perkotaan pada jam puncak kemacetan di semua jaringan jalan minimal 30 kilometer per jam.
Di Kota Bogor, kata Bima, melihat dampak kemacetan itu tentu akan sangat merugikan jika tidak ada penataan transportasi publik. Kehadiran BisKita melalui program pembelian layanan atau buy the service (BTS) dari Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek, ”kota hujan” dirasakan sangat bermanfaat dan Kota Bogor berada dalam jalur yang tepat dalam layanan kebutuhan transportasi publik. Meski demikian, transportasi publik di Kota Bogor masih banyak yang harus terus dibenahi.
Program penataan transportasi publik juga sudah sudah dilakukan oleh Jakarta melalui Trans Jakarta. Bima meyakini, jika program penataan itu di lakukan atau menjadi program prioritas kepala daerah di Jabodetabek, akan membantu menekan angka kemacetan.
Baca juga : Pertumbuhan 270,2 Juta Jiwa dan Tuntutan Perubahan Desain Perkotaan
Tidak hanya simpul transportasi dalam kota, perlu pula pembenahan simpul transportasi lintas kota. Kereta rel listrik yang menghubungkan kota aglomerasi masih perlu ditingkatkan dengan simpul transportasi lainnya dengan MRT dan LRT, serta kebijakan kuat agar warga tidak menggunakan kendaraan pribadi.
”Aglomerasi Jabodetabek belum menjadi kota berjejaring yang kuat. Persoalan transportasi dan lingkungan, masing-masing kota masih berjalan dan bergerak sendiri padahal sudah ada rencana induk pembangunan Jabodetabek. Namun, itu tidak mengambarkan kesamaan visi. Transportasi sudah lebih baik, tetapi ini masih harus perlu dibenahi dan ditingkatkan di wilayah Jabodetabek. Kota satelit atau kota penyanga berkembang menjadi kawasan pemukiman bagi warga yang bekerja di Jakarta. Kita merasakan banget ketika macet,” ujar Bima, Selasa (21/6/2022).
Bima menilai, keberadaan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur tidak efektif menjalankan program rencana pembangunan kota. BKSP seharusnya memiliki kekuatan untuk mengikat pemerintah daerah dalam kesamaan perencanaan dan alokasi anggaran. Dengan demikian, permasalahan yang bersinggungan dengan kota aglomerasi bisa diatasi bersama.
”Perlu ada Lembaga atau otorita khusus di Jabodetabek. Seperti permasalahan banjir atau Sungai Ciliwung, misalnya. Ini perlu penanganan khusus dari hulu dan hilir yang kuat. Perlu ada kolaborasi kerja dari semua pemerintah daerah mengatasi Sungai Ciliwung. Intinya perlu ada kewenanagan yang jelas,” ujar Bima.
Baca juga: Berpacu Menyelamatkan Kota-kota Pesisir
Sungai Ciliwung hanya satu dari permasalahan yang timbul. Jika menelisik lagi lebih dalam maka banyak turunan permasalahan lingkungan di perkotaan. Pertumbuhan jumlah penduduk akhirnya akan merembet ke masalah lingkungan lainnya seperti ketersedian air bersih, sanitasi, polusi, ruang hijau berkurang, bahkan merambat ke masalah pemenuhan pangan warga kota, hingga ke persoalan sosial.
Oleh karena itu, kata Bima, tanpa diiringi perencanaan rencana induk penataan kota secara komprehensif antar lembaga, pemerintah daerah, hingga keterlibatan aktif warga, akibat pertumbuhan jumlah penduduk kota akan menjadi beban berat untuk diatasi.
”Tidak ada namanya desa kumuh, yang ada itu kota menjadi kumuh,” ujar Bima.
Menurut Bima, selain di Jabodetabek, fenomena urbanisasi terjadi juga di kota-kota besar lainya di Pulau Jawa. Karakteristik permasalahan pun tidak jauh berbeda. ”Populasi terus naik. Kota masih jadi sumber harapan, opsi utama untuk memperbaiki kehidupan. Realitasnya, infrastruktur di Indonesia belum merata. Ketimpangan bukan hanya antara kota dan desa, tetapi juga kota dengan kota,” lanjutnya.
Berdasarkan data BPS 2020, jumlah penduduk di Pulau Jawa mencapai 151,59 juta jiwa atau 56,1 persen penduduk dari total jumlah penduduk seluruh Indonesia. Bahkan, diprediksi pada 2030 penduduk perkotaan akan meningkat drastis.
Baca juga: Era Baru Membangun Infrastruktur Perkotaan
”Di sini kita perlu penguatan di bidang perencanaan, penganggaran, kewenangan. Otonomi daerah harus menjadi peluang kota-kota bergerak bersama untuk berjejaring mengatasi sejumlah permasalahan yang dirasakan bersama,” kata Bima.
Dari permasalahan yang menjerat kota-kota di Indonesia, bukannya tidak ada upaya dan perubahan. Menurut Bima, setidaknya dalam lima tahun terakhir ada tren yang baik dalam kota berjejaring, ada peningkatan kolaborasi antarkota. Semakin banyak yang menyadari membentuk kota berjejaring untuk peningkatan kapasitas, berjeraring sumber pendanaan, hingga mengatasi permasalah.
”Di forum Apeksi kami fokus kepada sinergi dan kolaborasi. Tren ini semakin kuat, tapi memang ini sangat tergantung kepada para wali kota untuk paham tentang kota berjejaring, aktif, dan terlibat. Bagi yang tidak hanya konvensional saja,” kata Bima.
Apeksi mulai mencanangkan beberapa agenda dalam hal isu perkotaan. Salah satunya, mengagas Youth City Changer dalam rapat kerja nasional pada 7 Agustus 2022 di Padang, Sumatera Barat. Anak muda seluruh kota di indonesia akan dikumpulkan untuk membangun jejaring kreativitas dan kolaborasi di kota-kota. Tidak hanya kepada sesama anak muda untuk membangun jejaring, tetapi juga pemerintah daerah.
Youth City Changer, anak-anak muda harus mendesain perencanaan program untuk memecahkan persolanan yang ada di kota mereka masing-masing, seperti di bidang pendidikan, budaya, sosial, atau membangun semangat kolaborasi untuk berkarya.
”Kami, Pemkot Bogor, misalnya, memfasilitasi anak muda seperti Bogor Creative Center. Ini menjadi bagian dari jaringan kota kreatif dan bagian Indonesia Creative Network. Ini pintu masuk mereka untuk terbuka wawasan dan pengalamannya untuk melihat dinamika dan kolaborasi dengan kota lain,” kata Bima.
Selain itu, lanjut Bima, pergerakan kota berjejaring saat ini juga banyak yang sudah terlembagakan dengan melibatkan banyak kota di Indonesia seperti heritage city, jaringan kota pusaka yang bergerak bersama menjaga warisan budaya dan pusaka.
Baca juga : Sepiring Nasi untuk Kota yang Selalu Lapar
Di luar Apeksi ada jaringan kota peduli sanitas, seperti Akopsi (Asosiasi Kabupaten/Kota Peduli Sanitasi). Organisasi daerah itu hadir karena kepedulian dalam pembangunan sanitasi sebagai hal vital dalam pembangunan daerah. Organisasi ini lahir atas inisiasi kepada daerah. Setidaknya ada 492 daerah kota kabupaten bergabung dalam organisasi ini.
”Ini tren yang baik. Saat ini ada tema beragam dalam membangun kolaborasi dan berjejaring dengan melibatkan lintas sektor di beberapa kota. Banyak juga keterlibatan anak muda. Mereka harus difasilitasi dan terus didorong, karena masa depan kota ada di tangan mereka,” lanjut Bima.