Air Tanah Solusi Krisis Air Bersih Perkotaan
Pada peringatan Hari Air Sedunia, UN Water mengingatkan kawasan perkotaan kini nyata didera kelangkaan air bersih. Bendera merah krisis air itu dibarengi rekomendasi penggunaan air tanah, terutama bagi warga rentan.
Pada 22 Maret lalu, seiring peringatan Hari Air Sedunia, pesan bahwa krisis air bersih sedang terjadi kembali bergema. Bagi sebagian kaum urban, pesan itu terasa tidak relevan. Faktanya, di mana-mana mudah mendapatkan air kemasan. Di rumah, sumur pompa masih menggelontorkan air untuk berbagai keperluan. Tak dinyana, ketergantungan pada air kemasan itu menjadi salah satu indikasi peringatan krisis air bersih tengah melanda.
UN Water menyatakan, air adalah cairan yang paling melimpah di bumi, tetapi sebagian besar adalah air asin. Air tawar hanya tersedia kurang dari 1 persen dari semua air di bumi, setara sekitar 15,9 juta kilometer kubik. Cadangan air tawar ini dalam bentuk cair, beku, juga uap.
Pengambilan air tawar dari sungai, danau, akuifer, atau lapisan di dalam tanah yang menyimpan air, serta waduk buatan yang disebut sumber air biru telah meningkat pesat selama beberapa abad terakhir. Sebagai perbandingan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2021 mencatat, konsumsi air tawar global sekitar 600 kilometer kubik per tahun pada 1900 dan menjadi 3.880 kilometer kubik tahun pada 2017.
Pertumbuhan penduduk dan berkembangnya kawasan perkotaan dibarengi meluasnya area pertanian dan peternakan yang diiringi membengkaknya berbagai kawasan industri membuat konsumsi air bersih meningkat. UN Water memperkirakan hingga 30 tahun ke depan, laju kenaikan pengambilan air bersih 1 persen per tahun.
Baca juga: Pekerja Perkotaan, antara Paksaan Mundur dan Revolusi ”Kerah Baru”
Perburuan air bersih diyakini akan semakin sengit di masa depan. Saat ini saja, lebih dari 4 miliar jiwa dari 7,8 miliar penduduk dunia mengalami kesulitan mengakses air bersih minimal satu bulan dalam setahun. World Economic Forum menyatakan, krisis air bersih termasuk salah satu risiko yang wajib diwaspadai sejak 2012. Berbagai konflik sosial, bahkan perang bersenjata, dapat dikaitkan dengan isu perebutan sumber air bersih.
Banyak pengambil keputusan di bidang air tidak memiliki gagasan yang jelas tentang air tanah meski perannya penting dalam siklus air.
Di saat sungai, danau, dan sumber air tawar dari air permukaan kian tercemar akibat berbagai aktivitas manusia, air tanah pun makin dilirik untuk memenuhi kebutuhan populasi penduduk dunia yang terus bertambah.
Audrey Azoulay, Direktur Jenderal Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dalam laporan UN Water memaparkan, hampir 50 persen populasi perkotaan dunia kini bergantung pada sumber air bawah tanah. Namun, semakin banyak akuifer, kini turut tercemar, dieksploitasi berlebihan, dan mengering akibat ulah manusia.
”Banyak pengambil keputusan di bidang air tidak memiliki gagasan yang jelas tentang air tanah meski perannya penting dalam siklus air,” kata Azoulay.
Ketua UN Water dan Presiden Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian Gilbert F Houngbo menyatakan, UN Water kini berkampanye agar ada rambu-rambu jelas dalam pemanfaatan air tanah. Rambu-rambu itu mencakup penggunaan air tanah harus bisa diakses sebesar-besarnya demi kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat rentan, dan memastikan siklus air berjalan baik sehingga akuifer selalu terisi kembali, juga bebas dari pencemaran.
Selama ini, seperti dipahami masyarakat awam di kota-kota besar di Indonesia, penggunaan air tanah oleh masyarakat dan korporasi dituding menjadi salah satu penyebab penurunan muka tanah. Di Jakarta, pengendalian penggunaan air tanah mulai digalakkan demi mencegah percepatan penurunan muka tanah.
Akan tetapi, pelayanan air perpipaan maksimal baru mencapai 50-60 persen wilayah DKI. Itu pun dengan kualitas berbeda-beda sehingga sebagian pihak masih enggan berlangganan air perpipaan itu. Masyarakat dan perusahaan atau industri pun masih banyak yang tanpa mengikuti aturan berlaku tetap menyedot air tanah dengan sumur pompa dengan kedalaman belasan hingga ratusan meter.
Baca juga: Sepiring Nasi untuk Kota yang Selalu Lapar
Selain konsumsi air di permukiman, sektor industri yang mencakup pertambangan, pembangkit listrik, dan banyak lagi, berandil besar dalam eksploitasi air tanah. Air tanah juga telah menjadi komoditas bernilai jual tinggi. Banyak perusahaan mengemas bahan baku tersebut, lalu mendistribusikannya ke seantero negeri, bahkan ke luar negeri, tentu mengeruk keuntungan besar dari sana.
UN Water mengamati ada persaingan ketat hingga perselisihan tajam antara masyarakat suatu daerah dengan pemerintah lokal dan perusahaan atau industri, termasuk usaha air kemasan, terkait hak atas sumber air tanah. Hal ini dikarenakan warga di dekat pusat industri justru tidak mendapat akses air bersih yang memadai.
Data yang diterima UN Water, dari tahun ke tahun ada peningkatan penggunaan air bersih pada berbagai industri. Terkait air kemasan, pada 2020 ada 72 persen perusahaan minuman yang mengakui menggunakan air tanah dengan produksinya. Dari jumlah tersebut, 26 persen melaporkan pengambilan air tanah mereka hampir sama dengan tahun sebelumnya (2019), 42 persen lebih rendah, dan 18 persen meningkat. Kenyataannya, entah seberapa besar yang benar-benar disedot.
UN Water juga menunjukkan wilayah Asia-Pasifik adalah abstraktor air tanah terbesar di dunia. Kebetulan di kawasan ini juga menjadi pusat pertumbuhan perkotaan dengan jumlah penduduk saat ini mencapai 4,7 miliar jiwa atau lebih dari 65 persen penduduk Bumi. Di banyak kota eksisting ataupun kota-kota baru di Asia, pertumbuhan permukiman diikuti pertumbuhan industri dan agrikultur yang semuanya rakus menyerap air bersih.
Baca juga: Berpacu Menyelamatkan Kota-kota Pesisir
Asia memiliki sekitar 3,7 juta kilometer kubik air tanah pada kedalaman rata-rata 85 meter. Pengambil air tanah terbesar di Asia, yaitu Bangladesh, China, India, Indonesia, Iran, Pakistan, dan Turki. Ketujuh negara ini menyumbang sekitar 60 persen dari total pengambilan air tanah dunia. Meskipun tersedia melimpah, mulai muncul tanda-tanda penipisan cadangan air tanah dan memicu kekhawatiran atas keberlanjutan penggunaannya di berbagai wilayah di Asia Tengah, China, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
Infrastruktur kunci
Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dalam laporan riset resminya pada akhir Februari 2022 turut menyoroti tentang kota, permukiman, dan infrastruktur kunci yang terkait dengan krisis air bersih. IPCC menyebutkan, agar berdaya lenting tinggi, kota-kota harus mulai fokus membangun infrastruktur kunci ramah lingkungan sebagai penyedia energi, air bersih, pangan, sanitasi, sistem transportasi publik, layanan kesehatan, dan komunikasi.
Khusus untuk infrastruktur air bersih, UN Water menyebutkan, penggunaan air tanah yang tepat dapat membantu mengatasi kemiskinan perkotaan. Akses ke air tanah memungkinkan terwujud dengan biaya sambungan yang lebih rendah. Namun, banyak masyarakat miskin perkotaan yang tinggal di daerah pinggiran atau di lokasi yang tidak memiliki status hukum jelas. Menyikapi hal ini, pengelola kota justru sering kali menghambat penyediaan infrastruktur publik, termasuk air dan listrik ke wilayah tersebut.
Pada masa kini, PBB mendorong agar masyarakat miskin perkotaan dibantu dengan revitalisasi kawasan yang manusiawi. Revitalisasi tersebut diiringi pemenuhan infrastruktur kunci, termasuk air bersih, khususnya air tanah dari sumber terdekat sehingga biaya menjadi lebih murah.
Baik dalam cakupan kecil, seperti di kantong-kantong masyarakat miskin urban maupun dalam skala besar mencakup seluruh kota, penggunaan air tanah untuk sumber air bersih bisa diterapkan. Penggunaan air tanah ini dapat sebagai sumber satu-satunya, jika yang tersedia hanya itu, atau bisa bersamaan dengan pemanfaatan air permukaan, seperti pengolahan air sungai dan waduk.
Khusus untuk air tanah, peta hidrogeologi dari beberapa peneliti yang dikutip UN Water menunjukkan pola dan batas zona formasi akuifer bergantian dengan zona formasi yang tidak mampu menghasilkan air dalam jumlah yang signifikan. Peta akuifer dengan kandungan air memadai ini yang seharusnya dimiliki dan menjadi dasar perhitungan serta penentuan kebijakan penyediaan air bersih perkotaan.
Baca juga: Kota Sepeda Amsterdam Setelah 50 Tahun
Tidaklah aneh jika suatu kota bukan berdiri di atas akuifer penghasil air yang berlimpah. Untuk itu, pengelolaan air bersih dari air tanah perlu bekerja sama dengan daerah sekitar yang memiliki akuifer di bawah tanahnya.
Dengan mengetahui akuifer yang cadangan airnya berlimpah, dapat ditentukan mekanisme abstraksi sekaligus pengelolaan air di permukaan untuk pengisian kembali akuifer tersebut. Jika hal ini tidak dilakukan, akuifer bisa terkuras dan menyisakan ruang kosong. Ketika beban di permukaan meningkat, lapisan tanah berongga yang ditinggalkan oleh air itu berpotensi runtuh atau memadat yang berarti terjadi penurunan tanah.
Pengelolaan siklus air yang buruk juga bisa membuat air tercemarlah yang mengisi akuifer kosong atau makin memberikan tempat bagi intrusi air laut ke daratan.
Dalam tataran ideal, penggunaan air tanah dan air permukaan secara terpadu dapat meningkatkan keamanan pasokan air. Hal ini telah berhasil diterapkan di sejumlah kota di dunia. UN Water mengambil contoh di Delhi, India. Delhi mulai menangkap volume air sungai berlebih di musim hujan untuk mengisi ulang akuifer yang selama ini digunakan untuk memasok air minum ke kota.
Untuk mengakses dan menggunakan sumber daya air tanah secara berkelanjutan, kerja sama dan kemitraan dengan banyak pemangku kepentingan lainnya jelas sangat dibutuhkan. Pihak swasta pun tidak terlarang untuk digandeng. Yang penting, ada aturan hukum serta kebijakan ketatagunaan air tanah yang jelas.
Selamat Hari Air Sedunia!
Baca juga: Catatan Urban