Kajian Penertiban Minimarket demi Lindungi Pedagang Kecil
Perputaran roda ekonomi secara mikro akan berdampak positif dan besar untuk ekonomi kerakyatan. Oleh karena itu, perlu ada perlindungan bagi pelaku usaha kecil.
BOGOR, KOMPAS — Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, akan mengkaji keberadaan minimarket yang dinilai melanggar peruntukan tata ruang kota. Pemerintah daerah harus dilibatkan dalam perizinan usaha minimarket agar melindungi pelaku usaha kecil.
Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, keberadaan minimarket jangan sampai melanggar tata ruang kota yang tidak sesuai peruntukan dan berpengaruh, bahkan mematikan, pedagang lainnya.
”Kami akan mengkaji dan memetakan terkait keberadaan minimarket ini. Kami akan tertibkan jika melanggar tata ruang. Jika sudah sesuai tata ruang, tapi ada permasalahan izin, kami tutup dengan imbauan mengurus perizinannya. Ada sekitar 200 (minimarket) yang bermasalah,” ujar Bima, Senin (23/5/2022).
Baca juga: Moratorium Perizinan Minimarket untuk Lindungi Pedagang Kecil
Berdasarkan data Dinas Koperasi, UMKM, Perdagangan, dan Perindustrian Kota Bogor, ada 520 minimarket. Dari total 520 itu, setidaknya ada 222 minimarket yang dinilai berdekatan dengan jarak sekitar 300 meter atau memiliki permasalahan perizinan.
Menurut Bima, ada kelemahan dalam sistem online single submission (OSS). Pemerintah daerah tidak bisa langsung mengawasi perizinan minimarket karena pengusaha mengurus unit usahanya beroperasi secara daring ke sistem yang terhubung ke pemerintah pusat.
”Ini bisa menimbulkan persoalan. Jika bisa terdeteksi pasti kami tidak izinkan. Itu tidak terdeteksi oleh bagian perizinan satu pintu, maka itu akan lolos. Jika di OSS ada ruang pemda untuk mengawasi dan tidak setuju, ada waktu pemda mengawasi dan mengecek kawasan yang dipakai usaha sudah sesuai peruntukannya atau tidak,” ucap Bima.
Kepala Dinas Koperasi, UMKM, Perdagangan, dan Perindustrian (Diskopukmdagin) Kota Bogor Ganjar Gunawan menuturkan, ada kesulitan mengawasi perizinan minimarket karena pengurusan izin disetujui secara daring oleh pemerintah pusat.
Sementara itu, regulasi atau aturan izin pusat perbelanjaan berubah setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lalu, ada Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggara Bidang Perdagangan dan PP No 5/2021 tentang Penyelenggara Perizinan Usaha yang Berisiko.
”Ada permendag yang mengatur pusat toko swalayan dan pusat perbelanjaan. Sejak UU No 11/2020 Cipta Kerja terbit, Diskopukmdagin di daerah itu susah pengawasannya dari sisi mana. UU Cipta Kerja seakan menarik perizinan ke pusat. Daerah masih kesulitan dalam melakukan pengawasan,” ujar Ganjar.
Toko swalayan dan pusat perbelanjaan, menurut PP No 5/2021, masuk kategori dengan usaha rendah dan usaha dengan risiko rendah hanya mendaftarkan nomor induk berusaha (NIB) melalui sistem online single submission (OSS).
Melalui mekanisme daring, OSS terkoneksi ke Sistem Informasi Bangunan Gedung (SIM BG) di dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Kemudian, terkoneksi juga ke Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) di daerah masing-masing.
Begitu pula terkait usaha minimarket yang berdekatan dan urutan perizinan, pelaku usaha mengajukan NIB ke sistem OSS yang terkoneksi langsung ke Sim BG untuk penentuan lokasi, ada persyaratan kesesuaian pemanfaatan ruang.
”Ini menjadi dinamika di daerah-daerah karena OSS ini susah diawasi. Bagaimana dinas perdagangan mengontrol OSS? Ini, kan, secara daring,” kata Ganjar.
Oleh karena itu, kata Ganjar, dari 222 minimarket hasil pengawasan, pihaknya tidak bisa memberikan sanksi lantaran perizinan telah dilalui sesuai prosedur.
Ketua DPRD Kota Bogor Atang Trisnanto menilai, perlu ada pembatasan pendirian minimarket di Kota Bogor agar persaingan usaha bisa lebih sehat, terutama bagi pedagang kecil.
Hantaman pandemi Covid-19 memang memukul semua sektor. Meski begitu, jangan sampai melepas perhatian kepada pedagang kecil dan usaha menengah kecil mikro (UMKM). Mereka perlu terus didorong sehingga pemulihan dan kebangkitan (recovery) ekonomi menjadi rata di semua lapisan masyarakat serta berbagai jenis usaha.
Pertumbuhan jumlah minimarket, khususnya minimarket berjejaring, perlu dibarengi dengan peraturan pembatasan di suatu wilayah berdasarkan jarak efektif dan tata kelola kota. Oleh karena itu, perlu moratorium perizinan minimarket di Kota Bogor yang memiliki payung hukum mengatur penertiban dan keberadaan minimarket.
”Kalau jaraknya tidak sampai 300 meter sudah ada tiga sampai empat minimarket menjadi crowded dan bisa memancing persaingan usaha yang tidak sehat. Jadi, saya kira, wacana moratorium bagus dan layak didukung, terutama untuk memastikan pedagang kecil juga tetap hidup,” ujar Atang.
Atang juga menilai perlu dukungan sistem bagi para pelaku UMKM dan warung kelontong agar tetap berdaya dan ekonomi meningkat. Sebab, dengan berdirinya minimarket di tengah permukiman masyarakat atau di setiap sudut ruang, maka para pelaku usaha, seperti warung kelontong, terancam keberadaannya.
Bima melanjutkan, pihaknya terus berupaya dan mendorong pelaku usaha kecil, pedagang, atau UMKM semakin berdaya saing melalui penguatan program pelatihan daan pemodalan salah satu melalui Bogor Hits.
Selain itu, Pemkot Bogor juga memastikan dan memperkuat melalui model relokasi dan revitalisasi terpusat bagi pedagang atau para PKL lama diberikan ruang di Suryakancana, Taman Sempur, dan Malabar.
”Kami mendorong pula UMKM untuk berkembang di destinasi baru, seperti agrowisata. Kita berikan kesempatan (pelaku usaha kecil) untuk naik kelas melalui masuk ke platform Bogor Hitz. Di situ kita berikan modal, pelatihan, dan penetrasi pasar,” ujar Bima.
Standar pelayanan
Pengajar senior kajian pengembangan perkotaan (KPP) Universitas Indonesia, Komara Djaja, mengatakan, munculnya minimarket menjadi isu urban perkotaan karena tidak lepas dari perkembangan kebutuhan dan peningkatan konsumen yang menginginkan standar pelayanan, kebersihan, keamanan, hingga kenyamanan saat berbelanja.
Standar itu kemudian ditangkap oleh pelaku usaha dengan kemunculan minimarket hingga toko besar di mal. Oleh karena itu, pemerintah memiliki peran penting agar pelaku usaha kecil tidak tergerus atau mati dengan kemunculan minimarket atau pasar modern itu dengan memberikan akses luas untuk naik kelas agar setidaknya mendekati standar pelayanan dan peningkatan kebutuhan konsumen.
Perputaran roda ekonomi secara mikro akan berdampak positif dan besar untuk ekonomi kerakyatan. Oleh karena itu, perlu ada perlindungan bagi pelaku usaha kecil.
”Pemerintah daerah harus melakukan kajian atau riset terkait keberadaan minimarket. Jangan sampai konsumen perkotaan yang terus meningkat dirugikan. Namun, kita perlu juga agar pelaku usaha kecil terlindungi dan naik kelas untuk memberikan standar pelayanan di tengah meningkatnya konsumen. Ini semua perlu ada kajian agar konsumen dan pelaku usaha kecil sama-sama terlindungi,” ujar Komara.
Selain itu, pemerintah juga perlu memikirkan nasib para karyawan di minimarket jika tempat mereka mencari rezeki itu tutup. Pemutusan hubungan kerja (PHK) karena dampak dari penutupan unit usaha minimarket justru akan menambah jumlah pengangguran.
”Ini juga perlu perhatian, dari tempat kerja mereka itu dapat jaminan sosial atau tidak. Perlindungan para pekerja ini perlu diperhatikan. Jangan-jangan para pekerja itu tidak ada perlindungan jaminan sosial oleh perusahaan,” ujar Komara.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menjelaskan, ekspansi minimarket di satu sisi menyerap tenaga kerja lokal dan mendorong pertumbuhan sektor perdagangan ritel.
Namun, ada ekses negatif yang perlu diantisipasi, seperti jarak minimarket terlalu berdekatan atau minimarket yang dekat dengan toko kelontong tradisional. Hal itu akan membuat toko kelontong tersisih.
Baca juga: Alun-alun Kota Bogor Tak Sekadar Ada
”Ada korelasi antara ekspansi ritel modern dan tutupnya berbagai jenis toko kelontong meski penambahan konsumen ritel terus meningkat. Kalau di jalan arteri tidak masalah, tapi beberapa ritel modern masuk sampai ke level kecamatan dan sangat dekat dengan pasar tradisional, misalnya. Regulasi untuk mengatur jarak antar-ritel modern perlu diperjelas dan dipertegas,” ujar Bhima.
Menurut Bhima, seharusnya untuk usaha ritel modern tidak bisa langsung sentralisasi perizinan di pusat. Tetap perlu rekomendasi izin daerah karena yang mengetahui dampak langsung ke masyarakat yaitu pemda.